Bab 1 (Part 3) | REM MENDADAK

74 6 10
                                    

"Kalian saling kenal?"

Ada pertanyaan yang menusuk dadaku. Mengejutkan.

Yah. Pertanyaan mengejutkan dada itu keluar dari mulut Nanda. Aku tidak menjawab dan memilih diam.

"Nggak kenal tapi cuma ketemu," Ada jawaban yang kedua kalinya mengejutkan dada, cowok itu menjawab dengan lantang.

Nanda maju ke depan mendekati cowok itu, "Bagus deh, nggak perlu kenalan sama dia,"

Ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, "Kenalin namaku, Nanda."
"Oh, oke." Cowok itu tidak membalas jabat tangan Nanda.

Memang cowo itu sangat arogan dan cuek, hanya tadi pagi saja di bajaj dia bertingkah sok asik denganku−meminta memakai headset bersama. Ingat kan?

Melihat itu pun membuatku menahan tawa dengan menutup mulut mungilku dengan tangan kanan. Aku sungguh akan malu jika menjadi Nanda. Tapi sepertinya aku salah, Nanda mungkin biasa saja karena dia tak punya malu? Nanti kalian akan paham dengan kalimatku, akan banyak kejadian mengherankan lagi di sekolah yang merupakan ulah Nanda, ditunggu saja.

Nia mendekati cowok itu dengan menyipitkan matanya karena dia minus, katanya di uks. Kasihan sekali, kacamatanya di pecahkan oleh Nanda dan kedua csnya. Tunggu dulu, kalau memang Nia tidak kelihatan mengapa tadi ia berteriak setelah melihat cowok itu seolah-olah bisa melihat benar bahwa cowok itulah kenalannya? Astaga, jangan-jangan...

"Benar kan, kamu Ar−?" Nia meraba-raba wajah cowok itu dan perkataannya terpotong karena bunyi bel istirahat selesai.
"Sudah-sudah. Kalian semua masuk kelas, biar saya yang urus ini. Kalian berdua tetap disini ya," Pak Kepala Sekolah menunjuk Nia dan cowok itu. Aku dan Nanda pun keluar dari ruang kepala sekolah.

Ar? Aryo? Arka? Ar siapa namanya? Aku tidak mau tahu namanya, hanya saja perlu untuk mengetahui nama seseorang yang tidak mau ikut membayar bajaj yang ditumpanginya juga.

***

Pulang sekolah sore ini, Dimas tidak membawa motor, Syifa tidak di jemput dan Putri tidak membawa motor padahal biasanya aku pulang bersama Fitri, namun berangkat sekolahku tetap dengan bajaj Bang Saleh. Kami berempat pun berjalan bersama menuju ke halte bus. Rumah kami memang searah, entahlah sudah kehendak Tuhan mungkin kami diperkenalkan dan bersahabat dengan berbagai perbedaan kami.

Kami berempat berjalan beriringan, semua orang yang melihat kami berjalan bersama selalu melihat kami dengan pandangan yang aneh. Wajar saja, mungkin kami terlihat aneh berjalan bersama dengan gaya dan perawakan kita masing-masing. Hampir sampai ke halte bus yang tidak terlalu jauh dari sekolah, aku melihat pemandangan yang mengejutkan. Aku menghentikan langkahku, mereka bertiga terus berjalan di depanku.

Sepertinya aku perlu ke dokter mata, bagaimana tidak. Sore ini kenapa retina mataku bisa membentuk bayangan dari sosok yang tak pernah inginku lihat lagi, "A..Ay..Ayah?"

Bibirku bergetar saat mengucapkan panggilan itu−panggilan yang sudah 6 tahun tak pernah terucap lagi dari bibirku. Sialnya, Dimas, Putri dan Syifa menoleh ke arahku beberapa detik setelah itu.

Apa mereka mendengar ucapanku? Oh, tidak! Kenapa mereka seperti terkejut dan melihatku dengan tatapan seperti itu?

"Ada apa, Nadh kok berhenti?" Adam melirik-lirik depan, belakang, kanan dan kiri untuk mencari tahu apa yang barusan aku lihat.

Aku menghela nafas dan masih terpaku di tempat dengan tatapan kosong, "Tidak apa-apa." Jadi mereka tidak dengar? Syukurlah.
"Ayo, buruan naik itu busnya. Nggak perlu duduk di halte, ayo!" lanjutku.

Aku berlari menuju arah bis yang barusan berhenti di depan kami. Mereka bertiga masih tercengang. Entah ada angin apa, tumben-tumbenan Abang kernetnya menyuruh Pak Supir berhenti depan kami --siswa berseragam, bukannya di depan tempat duduk halte pas. Terimakasih aku bisa menjauh dari sosok yang tidak ingin ku lihat lagi, Semesta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rindu untuk SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang