Nindi ingat betul siapa lelaki yang kini duduk di atas sofa ruang tamunya. Kontur wajah itu bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan meski waktu melahapnya dalam kecepatan tak terhitung. Dahulu sekali, Nindi ingin bertemu dengan lelaki itu lagi. Namun sekarang, ia tahu bahwa perasaan itu hanyalah sebuah euforia sesaatnya kala itu.
Namanya masih sama, Rama. Ramayana Karma. Ia masih tampak bagai pangeran setelah sekian lama. Tapi perasaan putri purnama untuknya sudah hilang entah kemana.
"Gue baru ngeberesin rumahnya, baru mau nyari pembantu juga, lusa sih palingan baru bisa disewa" Nindi memulai percapakan santai sambil meletakan dua cangkir teh di meja.
"Gak apa-apa sih, gue Cuma lagi nyari suasana baru aja, sumpek di tempat lama" jawab Rama sambil mengangkat cangkirnya.
"Ya udah, lo mau milih kamar yang mana?" tanya Nindi sambil berdiri. "Di atas ada tiga kamar, satunya gue pake, sisanya di bawah empat, kamar mandi di dalem"
"Kayaknya yang di atas aja deh, biar sepi hehehe" Rama terkekeh sendiri dengan keputusannya lalu ikut berdiri dan mulai mengikuti Nindi yang kini menaiki tangga. Mereka mulai melihat-lihat kamar di lantai atas, dan pilihan Rama jatuh pada kamar paling ujung yang ada di lantai itu. Sedangkan kamar Nindi tepat berada di samping tangga.
"Jadi fix nih? Kamar atas?" tanya Nindi meyakinkan dan Rama mengangguk mengiyakan.
"Besok gak apa-apa kan kalau gue udah mau pindah ke sini, lagian kan kamarnya dah lo bersihin"
"Ya gak papa sih, cuman paling belum ada pembantu aja, eh btw dari tadi kita ngomongnya gue-elo ngerasa gak sopan ini, heheh" celetuk Nindi tiba-tiba. Rama juga ikut terkekeh.
"Iya juga ya, sokab banget sih gue, gue ngerasa kita seumuran kali ya"
"Dari mana lo tahu kita seumuran?" tanya Nindi penasaran, padahal dia yakin belum mengenalkan dirinya pada Rama.
"Lo Nindi kan? Anindita? Sahabatnya Shinta?"
Nindi terpaku, ternyata bukan hanya dirinya yang mengingat Rama. Lelaki dengan rahang tegas dan mata cerah itu juga mengingatnya. Nindi tersenyum, tidak ada yang berubah di antara mereka. Semuanya masih sama, masih seperti tidak terjadi apa-apa.
"Iya bener, gue kira lo gak kenal gue, tapi gue udah lama lost contact sama Shinta"
Tidak ada percapakan lain selain Rama yang meminta kontak Nindi dan berjanji akan datang keesokan harinya. Lelaki itu pergi setelah menyapa teman lama. Dan Nindi merasa dia seharusnya tidak menerima Rama menyewa kamar di rumahnya.
Ramayana Karma akan terus mengingatkannya pada luka lama. Alasan kenapa ia dan sahabatnya tidak lagi bertegur sapa. Alasan kenapa ia menjadi seperti sekarang, menjalani hidupnya dengan penuh kepura-puraan.
Nindi menutup pintu rumah, kembali pada keheningan.
***
Cahaya matahari mengintip sedikit dari balik tirai kamar tidur Rama, membuat ruangan itu berwarna keemasan. Kamar itu sejak tadi ribut oleh celotehan Yovan dan Bayu yang sibuk mondar-mandir membereskan barang-barang Rama—pemilik apartemen itu--yang malah asik menonton televisi. Tampak tidak terganggu sedikitpun.
"Ram, durhaka lo sama kita" celetuk Bayu saat mendudukan pantatnya di atas sofa di samping Rama.
"Bang kalau mau nolongin tuh sampe beres jangan setengah-setengah, katanya mau bantuin gue move on, masa minta bantuin pindah-pindah aja ngeluh sih" jawab Rama.
"Capek goblok, lagian kok Cuma gue sama si Yovan doang sih? Lo gak minta tolong mas Juna?"
Rama menggeleng, "Mas Juna sibuk kerja"
KAMU SEDANG MEMBACA
PURNAMA [Buku Pertama Trilogi Iblis Dan Pangeran]
Romance"Aku mencintaimu seperti mencintai purnama. Sayang, hanya karma yang bisa membuatmu memahaminya" Gadis itu diberi nama Purnama. Sesuai namanya, ia tumbuh sepucat bulan penuh itu. Bersinar terang dalam kepucatan yang indah. Sang bulan bertemu seo...