Ada jam pasir kecil yang digantung di jendela kamar Nindi. Ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangan. Jika pagi datang dan Nindi membuka jendelanya, jam itu akan bergoyang karena angin. Pasir di dalamnya selalu ada di bagian bawah karena ia selalu digantung. Kalau sedang bosan Nindi selalu memainkan jam pasir itu sambil menatap ke luar jendela.
Saat ini Nindi sedang berdiri di depan jendela itu. Waktu baru menunjukan jam empat pagi dan dunia masih terdiam. Tidak lama lagi, adzan akan berkumandang dari mushola kecil yang terletak jauh di seberang jalan. Dengan cekatan, Nindi membuka kunci jendela. Udara subuh yang segar lalu masuk dan menggantikan setiap aroma yang tertinggal di kamarnya.
Masih sambil menatap jendela, Nindi mulai membuka bajunya. Seakan ingin membersihkan kulitnya yang disembunyikan kain dengan udara yang baru. Matanya menatap kota yang terbentang. Tangannya menelanjangi diri.
Kalau saja dia bisa kembali ke masa lalu
"Mungkin sekarang gue ga akan ada di kota ini"
Ia berbalik, melangkah menuju kamar mandi lalu menghilang disambut suara keran.
***
Rama tidak tahu apa yang dipikirkannya saat memutuskan untuk tidak pulang ke kosan barunya. Entah itu perasaan risih atau rasa bersalah. Malam itu ia melajukan mobilnya ke gedung apartemen lamanya. Ia bermalam di sana, berbaring di atas sofa dengan lampu yang dimatikan. Paginya ia menyesal. Badannya terasa kaku dan kepalanya mendadak sakit.
"Harusnya gue tidur di kamar aja, ngapain sih gue tidur di sofa" gerutunya sambil mencari kopi instan di dapur.
Ia menyalakan kompor listrik untuk memasak air setelah berhasil menemukan satu sachet kopi instan yang tersisa. Rama bukan orang yang suka minum kopi di pagi hari, ia hanya merasa harus mengisi perutnya dengan apapun yang ia temukan di dapurnya. Biasanya ada beberapa mie instan yang bisa dimasak. Tapi karena ia memutuskan untuk pindah dan tidak berencana kembali ke apartemen itu dengan segera, ia menghabiskan semua persediaan mie instannya.
Tiiiiingggg......
Tanda air mendidih sudah terdengar. Rama dengan cekatan mematikan kompor lalu menuangkan air panas pada gelasnya. Setelah menyeduh kopinya ia meninggalkan dapur untuk kembali duduk di ruang tamunya. Tepat saat ia mendaratkan pantatnya di sofa, ponsel yang berada di atas meja berdering. Rama meletakan kopinya di meja lalu mengangkat telpon.
"Halo"
"Halo, ini nomor hape nya Rama bukan ya?" Tanya seseorang di seberang telepon.
"Ia, ini sama Rama, ini siapa ya?" Rama melihat layar ponselnya dan menemukan nomor tak dikenal.
"Oh Ram, ini gue Nindi. Gue cuma mau nanya lo nggak balik ke kosan ya semalem?"
"Ah iya, gue nginep di rumah temen"
"Oh gitu, gue cuma mau bilang kalau lo mau balik ke rumah ada makanan di kulkas, gue ada kerjaan hari ini jadi ga bakal ada di rumah, kalo lo laper dan balik ke sini lo angetin aja lauknya. Maaf banget yah, nanti siang bibi yang bantu-bantu baru dateng"
"Ga apa-apa kok Nin"
"Pokonya sorry banget deh, udah dulu ya"
"Ok"
Sambungan terputus. Ruang tamu itu kembali hening.
Rama tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Saat mendengar suara Nindi yang terdengar berbeda dari semalam ia merasa ada yang salah. Entah kenapa suara yang ia dengar semalam lebih terdengar hidup dari pada yang ia dengar tadi.
Kenapa ia menjadi begitu risau?
Apakah rasa bersalah yang dulu terkubur oleh ketidak peduliannya perlahan tumbuh kembali?
Apakah ia menyalahkan dirinya atas apa jadinya Nindi sekarang?
"Gue mikir apaan sih, gue aja ga tau dia ngapain semalem, hidup-hidup dia bukan urusan gue" gerutunya dengan bosan. Setelah menghabiskan kopinya ia berniat langsung kembali ke kosan. Entah karena semua barangnya sudah disana atau mungkin karena Nindi tidak ada disana.
***
Tbc....
Pendek sekali yah :(
KAMU SEDANG MEMBACA
PURNAMA [Buku Pertama Trilogi Iblis Dan Pangeran]
Romansa"Aku mencintaimu seperti mencintai purnama. Sayang, hanya karma yang bisa membuatmu memahaminya" Gadis itu diberi nama Purnama. Sesuai namanya, ia tumbuh sepucat bulan penuh itu. Bersinar terang dalam kepucatan yang indah. Sang bulan bertemu seo...