Tembok putih.
Tempat tidur putih.
Sprai putih.
Meja putih.
Pintu putih.
Baju tidur putih.
Dan cahaya putih.
Ruangan yang ukurannya 6×8 meter ini dipenuhi nuansa putih. Tak ada warna selain warna putih kecuali ikan mas dalam akuarium kaca bulat. Perabot di ruangan ini hanya terdapat satu tempat tidur dan satu meja.
Setiap saat seseorang akan mengetuk pintu putih yang berada di sudut ruangan. Kadang kudengar suara tangis di baliknya. Kadang juga suara memohon. Ralat. Bukan kadang malah kerap kali aku mendengarnya. Suara-suara yang entah berasal dari siapa. Aku tak pernah melihatnya. Di ruangan ini tak ada cela bahkan tidak memiliki ventilasi udara. Keadaan di luar tak pernah kulihat. Tapi anehnya aku merasa baik-baik saja dalam sini. Tak ingin keluar namun juga tak ingin tetap tinggal.
Aku tidur di sini. Di kasur putih dengan kerangka tempat tidur putih. Aku tidur jika aku mengantuk. Aku bangun jika aku ingin bangun. Tak ada bantuan Matahari kapan aku harus tidur dan kapan aku harus bangun. Semua kulakukan sesuka hatiku. Tak ada sinar mentari yang menyambut di sela-sela tirai, tak ada bunyi alarm jam yang menyambar, tak ada siapa-siapa selain aku.
Astaga aku lupa! Aku tidak menghitung ikan mas dalam akuarium itu. Padahal dia juga bersamaku di sini. Berdua. Di ruangan putih ini. Dia temanku selama aku di sini. Kami berdua seperti sama-sama terjebak di ruangan yang sama.
Kakiku perlahan turun dari tempat tidur dan merasakan dinginnya lantai putih. Aku berjalan ke meja yang di atasnya diletakkan akuarium berisi ikan mas itu. Aku tersenyum selagi mengangkatnya ke dekat wajahku.
Ikan itu berenang ke sana-sini. Lalu berenang menghadap mukaku. Aku sengaja memasang wajah lucu dengan melebarkan mataku lalu menjulingkannya. Ikan itu berenang berbalik. Kabur. Aku terbahak-bahak.
Pikiran jail tercetak di kepalaku. Dengan senyuman licik aku menggoyang-goyangkan akuarium itu hingga airnya menyibak keluar. Ikan mas itu terombang-ambing. Sepertinya mabuk. Aku jadi kasihan padanya.
"Maafkan aku ikan, aku hanya ingin bermain," ucapku memohon maaf. Aku menaruhnya kembali dan duduk sambill menopang dagu melihatnya berenang. "Aku pernah melihatmu sebelumnya," kataku. Lantas aku tertawa. Jelaslah, ikan mas seperti ini sangat banyak bertebaran di mana-mana. Pastilah aku pernah melihatnya. Dasar bodoh.
Tapi maksudku bukan seperti itu. "Aku sepertinya sudah lama memeliharamu. Atau aku baru sedang memeliharamu? Kau mengertikan maksudku?" aku harap ikan itu mengerti dan menjawab pertanyaanku. Tapi sudah jelas dia tidak melakukan apa-apa selain berenang ke sana-sini.
"Kamu sudah punya nama? Hm?" tanganku memutar akuarium itu. "Belum ya?" aku kembali memutarnya berlawanan arah. "Bagaimana kalau Nemo. Lucu kan?" aku mendekatkan wajahku ke akuarium dengan semangat. Ikan itu berenag berbalik. "Nggak mau ya. Bagaimana kalau Miki?" ikan itu kembali berenang berbalik. "Kevin? Rio? Splash? Kino?" setiap nama yang kusebutkan ikan itu malah berenang membelakangiku. Rupanya dia mengerti. "Kamu itu jantan atau betina?" mataku menatapnya sinis. "Tau ah. Inikan ikan aku. Terserah aku mau kasih nama apa. Mulai sekarang aku akan memanggilmu Matcha." aku terkekeh. Ikan itu berenang menghadapku. "Jadi kamu suka nama Matcha? Bilang kek dari tadi."
Setelah memberinya nama aku memberinya makan yang kudapatkan di laci meja. Entah berapa lama aku bermain dengan Matcha, yang pasti sudah cukup lama.
Selain kekurangan ventilasi, di ruangan ini juga tidak terdapat jam dinding. Setiap kegiatan yang kulakukan aku tidak pernah tahu berapa lama aku menjalaninya. Aku juga tidak tahu waktu malam dan waktu siang karena ruangan ini benar-benar tertutup rapat. Seperti sedang berada di dalam lemari freezer. Persis.