Seperti hari-hari biasanya, jam weker begitu antusias bersorak-sorai pagi-pagi yang tak lain hanya untuk membangun seorang gadis kecil yang beranjak remaja untuk berangkat ke sekolah. Dirinya yang tak kalah bersemangatnya dari sebuah jam weker di meja nakas bergegas beranjak dari kasur dan menuju depan cermin yang telah tergantung baju putih abu-abu yang khas. Tangannya mengelus baju itu-lembut, merapikan dasinya-yang memang sudah terpasang-dengan menarik kain pendek yang berada di belakangnya, memperlihatkan kera baju yang mengerut karena terlalu dieratkan dengan dasi.
Itu tak jadi masalah, masalahnya adalah ia terlalu lama berada di hadapan benda itu hingga mengesampingkan waktu yang terus berjalan. Ia tidak menyadari akan hal itu, tubuhnya masih saja berdiri tegap dengan senyum gemilang yang tak pernah surut.
Waktu terus berjalan. Dan akhirnya ia sadar.
Untuk kedua kalinya ia bergegas menarik handuk lalu berlari menuju kamar mandi dan membanting pintu. Ia ceroboh, tentu saja, kenapa? Karena ia menarik handuk yang salah. Ya, handuk yang seharusnya untuk rambut jika sudah keramas, ia menarik handuk yang itu. Bagaimana bisa ia menutup tubuhnya secara keseluruhan dengan handuk itu? Oke, ini barulah sebuah masalah. Tapi bukan masalah besar, beruntung kamar mandinya juga berada di dalam kamarnya. Atau mungkin bisa dikatakan ini bukanlah sebuah masalah.
Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Dirinya tak lagi panik seperti di kamarnya-tadi. Sepiring roti yang sudah di olesi selai kacang dengan secangkir susu coklat tersaji di hadapannya. Dengan tenang ia memakannya, namun wajahnya terus-menerus menampilkan senyuman kegirangan atau senyuman kebahagian, entahlah ia seperti baru kali pertama menggigit sehelai roti seumur hidupnya dengan kebahagiaan hingga air matanya membendung. Dramatis.
Orang tuanya yang menyadari tingkah gadis kecilnya tersebut hanya bisa tersenyum kikuk melihat kejanggalan yang terjadi. Hingga salah satu dari mereka membuka suara.
"Senang banget kamu pagi ini." tegur Ibunya setelah meletakkan secangkir kopi hitam untuk suaminya yang duduk berhadapan dengan gadis kecilnya di meja makan.
Ia menyengir girang yang otomatis membuat matanya menyipit lalu berkata, "Iya dong, Aku kan bentar lagi jadi anak SMA yang resmi." ujarnya dengan wajah yang masih sama.
"Jadi waktu kamu lulus MOS masih belum dibilang anak SMA yang resmi?" sanggah Sang Ayah.
"Hm ... menurutku, Yah, anak SMA yang udah di bilang resmi itu ya ... udah mengikuti pelajaran di kelas sama temen-temen baru, sekolah baru, seragam baru, guru baru, pac-" belum usai menuturkan ucapannya ia langsung melipat bibirnya ke dalam. Kalimat terakhir tidak penting untuk di sebutkan. Ya. Walau banyak yang mengatakan masa SMA adalah masa yang yang paling indah, bukan berarti indah dalam hal percintaan saja, tapi banyak hal yang tak akan cukup di ungkapkan dengan kata-kata.
"Kenapa?" tanya Ayahnya.
"Ng-gak, nggak papa, Yah." katanya terbata-bata, namun berhasil terlihat baik-baik saja.
Sang Ayah menggangguk mengiyakan ucapannya lalu beralih ke koran pagi di genggaman tangannya.
Jemari anak itu mengapit lengkungan mug yang berisi susu coklat kesukaannya kemudian meneguk rakus semua isinya tanpa jeda, lalu di akhiri dengan sendawa kecil. Sendawa kecil yang terus-menerus dan lama-kelamaan menjadi nyaring. Dadanya naik turun. Cegukan.
Sang Ayah yang masih berkutat dengan koran paginya merasa terganggu dengan suara nyaring itu. Ia kemudian melirik anaknya dan melipat koran paginya.
"Makanya pelan-pelan kalau makan." ujar Ayahnya sambil menyodorkan segelas air putih yang langsung di raih oleh Sang anak dan meminumnya.
"Hikk, hikk, hikk." cegukan Sang anak.
Ayahnya tertawa kecil melihat tingkah anaknya. "Uuu gadis kecil yang malang."