3

1.5K 199 21
                                        

Seminggu setelah kejadian itu, dimana Yuki mengungkapkan isi hatinya dan menangis dalam dekapan Maxime. Yuki tidak bisa menatap mata laki-laki itu, sebisa mungkin menghindarinya. Dia terlalu malu, sungguh.

Tapi anehnya, hal itu tidak benar-benar bisa ia lakukan. Nyatanya sesekali Yuki mencuri pandang pada pengawal tampannya.

Seperti sekarang ini contohnya. Mereka berdua berada di meja makan, memakan makanan masing-masing dalam diam.

Yuki melirik Maxime yang malam ini berpenampilan santai, celana jeans selutut berwarna hitam dan kaos putih berlengan panjang. Sederhana tapi memikat. Karena pemikirannya itu Yuki merutuki dirinya sendiri.

Apanya yang memikat!

Ketika melirik untuk yang kesekian kalinya, saat itu juga Maxime ikut menatapnya. Yuki yang terkejut tersedak makanan yang dia kunyah.

Maxime yang melihat Yuki terbatuk-batuk dengan gesit mengambil segelas air putih, laki-laki jangkung itu cepat-cepat menghampiri Yuki yang berada di seberangnya.

"Minum."

Yuki langsung menuruti perintah Maxime. Dengan rakus, setengah dari air putih itu masuk kedalam tenggorokannya. Yuki akhirnya bisa bernafas dengan lega. Dia pikir akan mati karena tersedak. Memalukan.

"Lain kali hati-hati, nggak ada yang minta makanan kamu." nasehat Maxime, diselingi canda.

"Hmm." hanya itu jawaban Yuki. Gadis itu mulai merasakan gugup, terlebih lagi dia baru menyadari posisinya dan Maxime sekarang ini terlalu dekat. Laki-laki itu bersimpuh di sebelahnya, tangan kirinya berada di belakang tubuh Yuki, bertumpu pada sandaran kursi, sedangkan tangan kanannya di meja makan memegang segelas air putih. Posisi itu seakan-akan mengurung Yuki untuk tetap di tempatnya.

"Max?" panggil Yuki dengan mata yang melihat kesegala arah.

"Iya, nona?"

"Elo, terlalu deket. Bisa mundur sedikit."

"Oh." Maxime yang menyadari posisinya beranjak dari tempatnya.

"Maaf nona."

"Hmm, jangan diulangi lagi, gue nggak suka." karena itu bahaya buat jantung gue. Lanjut Yuki dalam hati.

"Baik nona." Maxime mengangguk takzim.

"Bagus. Udah, gue kenyang."

Dalam perjalanannya kekamar Yuki hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia bertingkah begitu memalukan.

"Dasar bego."

Maxime mamandangi punggung Yuki yang semakin jauh di depannya. Seulas senyum tipis menghiasi bibir tipisnya, membuat dua lesung pipinya terlihat manis. Perubahan sikap Yuki terlihat makin jelas, gadis itu tidak lagi menggunakan kata-kata yang kasar, meskipun masih ketus. Tapi ini sudah lebih baik.

Ponsel dalam saku celananya bergetar. Maxime mengambilnya, sederet nama tertera di layar yang berkedip. Cepat-cepat Maxime mengangkat panggilan calon mertuanya itu.

"Halo, Papa. Gimana kabar Papa di sana?"

"..."

"Oh syukurlah kalo begitu. Keadaan di sini baik kok, Pa."

"..."

"Nggak, Papa tenang aja. Aman kok."

"..."

"Hahaha, iya pasti. Kalo dia bikin ulah langsung Maxime hukum."

"..."

"Ok, kalo gitu. I'll see you later, Pa."

 The Thief Of Kiss (cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang