Epilog

110 18 5
                                    

"Rest assured, it will all end happily."

■■■

Hari demi berlalu, menyisakan kenangan panjang yang tak bisa kembali ke masa itu. Hidup terasa cepat, hingga semuanya akan berakhir. Tak ada lagi bulan dan bintang yang selalu menerangi dan menghiasi malam. Kini terasa gelap.

Hening.

Malam ini, berbagai suara tangisan telah memecahkan kesunyian di rumah sakit. Banyak orang yang menangis. Kenapa?

"Kamu harus bangun!"

"Jangan tinggalkan kita!"

"Kita sayang sama kamu."

"Kita nggak mau kehilangan kamu."

"Maafin gue."

Berbagai suara dengan isakan tangis membuat semakin ramai di ruangan rumah sakit.

"Arnea, maafin gue. Gue tau, gue adalah Kakak yang bodoh. Gue bukan Kakak yang baik buat lo. Dan gue selama ini juga nggak pernah nganggap lo sebagai Adik gue." Nio berucap dengan tangisnya sambil menatap Arnea yang masih terbaring kima. Nio merasa bersalah.

"Ar, lo sahabat gue. Gue nggak mau kehilangan sahabat kayak lo." Chika juga berucap dengan tangisnya yang tak kalah nyaring dengan yang lain.

"Maafin gue, Ar. Gue salah, karena gue yang udah bikin lo kayak gini. Gue nggak ada maksud buat nyelakain lo. Gue nggak sengaja." Fernando yang berada di ruangan itu pun juga menangis dengan perasaan bersalahnya.

Sudah dua bulan Arnea belum bangun dari komanya. Hal itu membuat keluarganya, teman-temannya, dan juga yang lainnya merasa semakin takut. Mereka takut akan kehilangan Arnea. Hanya jika ada keajaiban dari Tuhanlah yang bisa menolong keselamatan hidup Arnea.

■■■

Pagi hari yang selalu cerah, kini menjadi mendung. Langit seperti tidak mendukung di pagi ini. Langit tidak terlihat bahagia. Langit menjadi sedih. Kicauan burung di pagi hari pun tidak terdengar. Semuanya seakan bersedih di hari ini.

Benar sekali. Hari ini adalah hari yang menyedihkan. Siapapun yang mengetahuinya pasti akan ikut bersedih. Mereka telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup mereka.

"APA, DOK? ARNEA MENINGGAL?" Ardonio bertanya dengan rasa tidak percaya. Dia tidak percaya jika Arnea--anaknya--telah meninggal.

"Maaf, Pak. Tapi, kami sudah tidak bisa menolongnya lagi, karena mungkin sudah takdirnya anak Bapak meninggal dalam keadaan seperti ini. Saya turut berdukacita." Dokter meminta maaf pada orangtua Arnea, lalu dia menutupi seluruh tubuh Arnea dengan kain putih yang juga menutupi wajah indahnya.

"ARNEAAA..." Alnia yang mengetahui tentang kematian Arnea pun langsung berteriak sambil menangis memanggil nama anak perempuannya itu.

"Sabar, Ma. Sabar!" Ardonio berusaha menenangkan istrinya agar tidak menangisi kepergian Arnea.

"Arnea, kenapa lo meninggalkan kita duluan? Harusnya gue aja yang mati duluan, karena gue udah jadi Kakak yang jahat buat lo." Nio juga tidak kuasa menahan tangisnya. Dia tidak sanggup melihat kematian Adiknya.

"Nio, kamu jangan tangisi kepergian Adikmu! Kita harus bisa mengikhlaskannya!" Papanya juga mencoba menenangkan Nio.

Sebelum mayat Arnea di bawa ke ruang jenazah, teman-temannya datang melihat Arnea untuk yang terakhir kalinya.

Beside You #WYSCDCFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang