Sekeping Rasa

103 18 1
                                    

Penulis: Julia Rosyad JuliaRosyad9 

***


Hai.
Duh, penasaran sama kamu. Boleh dong minta fotonya?

Chat itu dari Gema. Lelaki yang kukenal di media sosial tujuh bulan lalu. Awalnya, kami hanya saling menyapa, membicarakan hal-hal ringan. Sama sekali tak ada tendensi untuk berlanjut ke hal yang lebih rumit. Terutama untukku.

Gak mau ah, takut.

Takut kenapa?

Takut nanti kamu naksir.

Nggak papa, pengen ngerasain naksir kamu.

Gombalan itu tak pelak membuatku tersenyum sangat lebar. Jika orang bilang cinta itu dari mata turun ke hati, maka bagiku, cinta berawal dari chatting.

Itulah awal mula kedekatan kami. Sejak saat itu, kami semakin dekat dan mengenal satu sama lain.

Gema lelaki humoris, selalu mampu membuatku tertawa. Meski kata-kata yang dia ucapkan bukanlah syair khas pujangga, hatiku selalu berbunga-bunga dibuatnya. Aku juga merasa istimewa.

Cantik

Dia mengomentari foto profil WhatsApp-ku, pertama kalinya kelaki itu melihat wajah asliku. Saat itu aku tersipu, seolah Gema mengatakannya langsung di hadapanku. Desiran hangat itu mengalir ke seluruh tubuh, menciptakan perasaan-perasaan aneh yang menyenangkan.

Masih lebih cantik istrimu, istri yang shalihah, bidadari saja cemburu dibuatnya.

Kamu cemburu, nih?

Oh, Tuhan. Gema membuat hatiku berdebar. Aku tahu ini berlebihan, tapi balasan terakhirnya membuatku berpikir, dia menganggapku bidadari!

Aku ... bidadari yang sedang cemburu!

Senyumku kian melebar, dengan kedua tangan menutupi wajah. Astaga! Aku malu. Aku merasa Gema berada di sini, di hadapanku.

Apakah aku jatuh cinta, Tuhan?

Setelah perkenalan itu, kami jadi sering menghabiskan waktu untuk saling bertukar kabar. Saling menyapa via aksara, tanpa sekali pun bertatap muka. Meski demikian, aku mengaguminya. Jatuh cinta dalam diam.

Tidak ada yang bisa melarang bahkan menolak, ketika Allah telah memilih satu hati untuk jatuh cinta. Begitu pula diriku.

Hatiku tak bisa menolak saat cinta itu menyapa, walau logika menyenta. Hatiku selalu merindu kala logika mengganggu. 

Perdebatan itu muncul karena satu hal; Gema tak lagi sendiri. Dia adalah suami dari perempuan bernama Rindu, juga ayah bagi kedua putranya.

Perasaan itu mendalam tanpa sanggup kutahan, mebuat hatiku tak karuan. Aku gelisah ketika Gema aktif menggunakan media sosialnya, tapi tidak menyapaku. Apalagi, potretnya bersama sang istri bermunculan di beranda.

Ribuan benda keras seolah menghunjam jantungku. Aku sakit. Kemesraan pasangan itu menjelma belati yang menyayat nadi. Cairan bening yang berusaha kubendung di sudut mata pun mulai menitik, kemudian menganak sungai. Derai air mata ini mewakili hati yang terluka.

Aku cemburu pada perempuan itu. Pada istri sah lelaki itu. Aku sudah cukup kesakitan saat mengetahui Gema telah berkeluarga. Foto-foto itu membuat sesak yang kurasa bertambah parah.

Andai saja Gema masih mau bicara denganku, mungkin aku tidak akan sekecewa ini.

Aku marah. Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku menjadi manusia paling bodoh, karena dengan mudahnya aku jatuh cinta pada Gema Pramudya. Dia tampan, dan senyumnya menawan. Namun, seharusnya aku cukup pintar untuk tidak terjerat oleh pesonanya.

Seminggu, dua minggu, satu bulan telah berlalu. Aku menantikan pesannya yang tak kunjung datang. Gema benar-benar mengabaikan aku. Aku pikir, selama ini aku yang salah mengartikan kehadirannya. Tawa yang kami bagi bukanlah hal berarti untuknya.

Tiba-tiba pikiran buruk merajai kepalaku. Mungkin saja ... mungkin saja Gema tidak hanya melakukannya padaku.

Aku tertawa miris. Di sini aku sendiri, meratapi ketololan yang kuperbuat. Jatuh cinta pada sosok yang hanya kutemui di dunia maya? Yang benar saja, Bodoh!

Kuraih ponsel yang teronggok di atas meja dengan amarah yang menggebu. Hatiku lagi-lagi nyeri saat wajahnya muncul di sana, di barisan kontak yang kusimpan. Rindu yang membebat jiwa, menumpulkan logika.

Tausiyah yang disampaikan Ustadzah Theana beberapa saat lalu menyentil nuraniku. Aku mendatanginya, menceritakan kegundahanku.

"Itu salah satu dosa besar yang tidak diketahui sebagian besar manusia, Tyas. Takhbib namanya jika kamu tetap berharap lelaki itu menghubungimu," tuturnya.

"Apa itu takhbib, Ummi?"

Ustadzah Theana tersenyum simpul. "Takhbib itu, perbuatan yang bermaksud menggoda pasangan orang lain, baik istri atau pun suami orang lain, sampai akhirnya mereka memiliki kebencian di hati mereka. Itu adalah perbuatan yang dilaknat Allah. Bahkan Rasulullah angkat tangan atau melepaskan diri dari orang yang melalukannya. Artinya, Rasulullah tidak akan mengakuimu sebagai umatnya jika kamu melakukan takhbib."

"Astaghfirullah... seberat itukah, Ummi?"

"Ya, Tyas, seberat itu. Jadi, lupakanlah dia. Jika kamu mencintainya, cintailah semata-mata karena Allah. Cintai dia dalam diam. Saling menjaga keimanan masing-masing, agar kalian tidak terjerumus pada kesalahan yang akan menjebakmu dalam kubangan dosa. Doakan untuk kebaikan dan kebahagiaannya."

Aku mengangguk, berterima kasih dan bersyukur pada Allah yang telah mengirimkan Ustadzah Theana padaku. Aku disadarkan untuk mengambil keputusan yang benar. Untuk tidak membuat kerusakan dan menyakiti hati banyak orang. Apalagi sampai merusak keimanan Gema dan juga diriku sendiri.

Kusentuh layar ponselku, kupandangi dan kurekam setiap senyum dan gambar wajahnya dalam memoriku. Sebagai akhir dari sebuah perasaan semu. Kuhapus satu nama yang mengisi hatiku. Lelaki yang menyapaku melalui barisan kata. Diwakili oleh deretan aksara. Meretas sunyi mengundang tawa bahagia. Kini rasa itu tak lagi ada, kecuali luka dan kecewa.

Hanya satu kata yang ingin kukatakan padanya. Tapi itu tidaklah mungkin kulakukan. Sebagai jalan pintas, aku hanya menukilkan luahan isi hatiku di dinding media sosialku.

Terima kasih sudah mau menyapa. Kau menemani dan memberiku tawa. Andai kautahu, di dalam hatiku, ada sekeping rasa yang tertinggal. Meski kau tak mau tahu, cukup untukku mengatakan, aku pernah mencintaimu.

Written By: Ayuning Tyas

Aku tersenyum, merasa lega. Cinta tak harus memiliki. Dia akan rela orang yang dicintainya bahagia meski tidak bersama dirinya. Kuseka air mataku. Aku yakin, bahwa cinta yang di tempatkan pada yang benar, tak akan menuai keterpurukan.

TAMAT

Tentang Penulis:

Julia Rosyad, wanita berdarah Jawa-Sunda, terlahir buah kesenangan dari surga 35 tahun silam. Seorang wanita yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Memilih menjadi wanita yang berjihad di rumahnya, dengan menjadi ibu rumah tangga. Wanitayang bahagia saat menerima gaji terbesar di dunia karena utuh berbonus cinta. Wanita yang paling cantik di antara ketiga mujahidnya. Permaisuri lelaki pemilik kunci surga dan ridha tuhannya. Malaikat tanpa sayap yang berjanji mengajaknya bahagia hingga ke surga.

Subang, 03 September 2017

Cerpen Kita SemuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang