Tidak pernah kusangka aku membutuhkan psikolog untuk menghadapi kamu dan orangtuamu.
Semua bermula dari Jumat di penghujung Agustus. Aku bertemu dengannya. Seorang wanita bertubuh mungil yang memperkenalkan diri sebagai Dosen Pembimbing Lapangan mahasiswa KKN di kantorku. Tidak ada yang spesial di perjumpaan kami hari itu. Aku hanya melaksanakan tugasku—seperti yang biasa kulakukan, menyampaikan hal-hal terkait mahasiswa-mahasiswi sang dosen. Permasalahan yang kuterima selama nyaris dua bulan terakhir. Mereka yang melanggar aturan, pun sebaliknya.
Empat hari kemudian—pukul 16.18—beliau menghubungiku. Tidak ada perbedaan; percakapan yang berlangsung selama 8 menit 58 detik tersebut masih berkutat seputar mahasiswa-mahasiswi. Ada satu hal yang kutangkap. Dosen satu ini bukan dosen biasa. Tidak pernah ada dosen yang menyediakan waktu untuk mengonfirmasi perubahan sikap sang mahasiswa kepada pembimbing lapangan dari pihak instansi. Kebanyakan—tidak, lebih tepatnya, semua dosen yang selama ini menemuiku tidak pernah mau peduli. Laporan dariku dianggap angin lalu. Yang satu ini pengecualian. Beliau mendengarkan, pun menanggapi. Lantas, aku teringat siapa sebenarnya beliau.
Salah seorang mahasiswa memberi tahu: dosen Program Studi Psikologi. Pantas saja!
Berselang dua hari setelahnya, kami bertemu lagi. Aku datang terlambat. Sesampainya di ruangan, aku diberi tahu bahwa sang dosen mencariku. Senyumku mengembang. Entah mengapa aku merasa ... tertarik. Aku tidak memiliki alasan. Sama seperti, mengapa aku begitu ringan menerima panggilan via telepon dari beliau, sementara aku dan semua orang tahu bahwa aku tidak pernah mengindahkan nomor yang tidak tersimpan di gawaiku. Tidak peduli mereka menghubungiku berkali-kali. Namun, hari itu, hanya butuh dua kali nada sambung, aku langsung menerima.
Jawabannya kutemukan di hari yang sama; Kamis menjelang pukul sebelas siang. Selepas acara perpisahan mahasiswa KKN di lantai tiga, sang dosen menerima undanganku. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada beliau. Awalnya, bukan personal, masih perihal mahasiswa KKN.
Hingga, tanpa sadar, kami tiba di kalimat,
"Saya pengin kuliah lagi, Bu. Psikologi. Dari dulu saya selalu tertarik dengan psikologi. Itu kenapa skripsi saya psikologi sastra."
"Mbak kuliah jurusan apa?"
Aku menjawab, sastra; angkatan tahun 2011; lulus dua tahun lalu. Kemudian, aku berkisah seputar pekerjaanku. Aku bergabung sejak awal tahun 2015. Satu bulan sebelum pendadaran—sidang skripsi. Tahun ini adalah kontrak ketigaku. Aku nyaman dengan lingkungan tempat aku bekerja, tetapi tak bisa kupungkiri ada banyak tekanan yang kuterima.
"Tekanan seperti apa?"
"Omongan," kataku. "Saya terkadang lelah dengan asumsi orang-orang di sekitar saya." Aku merenung. "Saya penulis, Bu. Satu-satunya yang tetap membuat saya waras di tengah banyaknya tekanan."
"Oh, ya? Bagus, tuh, Mbak." Beliau tersenyum penuh arti. Menyuntik aura positif padaku.
Perbincangan kami berlanjut. Entah beliau menyadari atau tidak, kami bergerak semakin jauh dari mahasiswa KKN. Fokus tak lagi pada mereka, malah membicarakan aku dan beban batinku. Satu yang paling kusukai—mungkin sebab beliau seorang psikolog, beliau benar-benar menjadi pendengar yang baik. Sedikit pun tidak menyela. Berpendapat setelah aku puas memuntahkan apa yang selama ini kupendam seorang diri. Lucunya, tidak ada pertanyaan berarti, tetapi dengan sendirinya aku berbagi.
Ah, apa memang seperti itu jika berbincang dengan seorang psikolog? Aku tidak tahu. Ini pengalaman pertamaku.
"Ada saat-saat di mana saya ingin keluar dari semua ini."
"Sebentar," beliau memperbaiki duduk, "yang dimaksud dengan keluar dari semua ini?" Sepasang bola mata dilapisi contact lenses tersebut menatap lurus ke netraku. Tidak tajam, tetapi terarah jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHAT WE TALK ABOUT WHEN WE TALK ABOUT LOVE
Random"I love the ground under his feet, and the air over his head, and everything he touches, and every word he says. I love all his looks, and all his actions, and him entirely and altogether. ... Because ... love is him. Definitely." Enjoy, J [Hanya se...