Jika kamu bertanya apa aku bahagia, tanpa ragu aku akan menjawab, "Tentu. Aku sangat, sangat, sangat bahagia."
Satu tahun begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin aku meninggalkanmu. Namun, tepat di bulan ini, pada malam itu, aku memutuskan mundur. Semua masih tampak begitu jelas dalam ingatan. Awalnya, tentu saja berat. Bukan karena aku terbiasa ada kamu—nyatanya aku tidak pernah bersama kamu, tetapi karena wanita itu; ibumu. Aku terbiasa dengannya, mengiakan apa pun keinginannya, berusaha menjadi yang terbaik setiap kali dia membutuhkan.
Lalu, ketika mengetahui ada perempuan lain, alih-alih cemburu sebab gadis itu berhasil membuatmu melabuhkan hati, bukannya padaku yang telah menantimu selama nyaris dua tahun, aku malah memikirkan yang satu ini: ibumu tidak lagi membutuhkanku. Ada dia. Meski tanpa kata, aku tetap dan mau tak mau menyadari posisiku telah tergeserkan. Aku tidak lagi berada dalam lingkup keluargamu.
Kamu mau tahu apa yang terjadi setelahnya?
Aku limbung, kehilangan arah, tidak tahu harus melakukan apa. Menyesal? Tidak juga. Hanya saja ... sedikit banyak aku masih ingin dibutuhkan. Aku masih menginginkan pesan-pesan dari ibumu, perhatiannya, dan apa pun yang selama lebih dari satu tahun terakhir menjadi milikku.
Sampai pada akhirnya aku tahu bukan itu yang sepenuhnya kuinginkan. Berbulan-bulan setelah malam itu, aku belajar mencari tahu. Mendengarkan hati kecilku, mengabaikan egoku yang terluka. Tidak ingat kapan persisnya, aku mulai menanggalkan cincin pemberian orangtuamu. Bukan, bukan cincin tunangan atau apalah itu sebutannya. Ibumu memberiku sebagai hadiah pertambahan usiaku. Sesuatu yang selalu kubanggakan di sana-sini. Wujud dari rasa sayang ibumu padaku—setidaknya itu yang kupikirkan, yang mana luluh kala mengetahui ibumu setega itu melukaiku; menghancurkanku.
Lupakan soal itu! Aku sudah berjanji untuk tidak membaginya padamu, bukan?
Berpuluh hari setelah keputusanku menyimpan barang pemberian ibumu, aku bertemu seseorang. Wanita cantik bertubuh mungil yang membuatku semakin yakin bahwa kamu, ibumu, dan ayahmu tidak sebaik yang kupikirkan. Apa aku akan menyakitimu bila kukatakan bahwa kalian keluarga egois? Bila iya, mari lupakan saja. Lagi. Meski aku membenci, bukan berarti aku ingin melukai kalian.
Intinya, setelah perjumpaanku dengan wanita itu, aku lebih yakin lagi untuk melepas cincin yang satu lagi. Milik ibumu yang diberikan melalui ayahmu. Tahu apa yang terjadi padaku setelahnya? Aku ... bebas! Aku seperti aku yang dulu; seorang perempuan bahagia sebelum mengenal kamu dan keluargamu.
Ketika kukatakan bahagia, aku sungguh-sungguh dengan itu. Tuhan memberiku kejutan. Sesuatu—atau bisa dikatakan lebih dari satu—yang bahkan tidak pernah kuminta secara sungguh-sungguh. Namun, Sang Maha Kuasa begitu berbaik hati menghadiahkan pelangi padaku sesudah badai yang kualami. Hadiah-hadiah yang tak pernah berhenti kusyukuri.
Bukti dari mimpiku, pun pertemuan-pertemuanku dengan orang-orang hebat. Dunia semakin mengakui keberadaanku. Membayangkan saja aku tidak pernah. Namun, begitulah kenyataannya. Saat ini. Tepat satu tahun setelah keputusan besar dalam hidupku—yang melibatkan kamu.
Kini, aku tahu satu hal: selalu ada buah manis di balik rentetan kejadian pahit. Pelangi seusai badai. Pada intinya, Tuhan menginginkan aku bahagia melalui diriku sendiri, sebelum akhirnya mempertemukanku dengan lelaki pilihan-Nya.
[].
KAMU SEDANG MEMBACA
WHAT WE TALK ABOUT WHEN WE TALK ABOUT LOVE
Random"I love the ground under his feet, and the air over his head, and everything he touches, and every word he says. I love all his looks, and all his actions, and him entirely and altogether. ... Because ... love is him. Definitely." Enjoy, J [Hanya se...