Mendung di jelang siang. Senin yang sibuk. Cuaca panas yang sebelumnya, menyisakan debu yang kini berterbangan tertiup angin yang datang bersama awan gelap. Aku berdiri diantara mereka, yaitu gedung-gedung kusam yang tetap nampak gemilang. Gumpalan raksasa diatasku mengangkangi segala kemewahan, melewati semua itu. Aku berani menatap langit yang bersembunyi di balik selimut awan yang terus bergerak. Tatapanku melayang diantara puncak-puncak gedung. Aku ingin mengitari semuanya, mencari sesuatu yang datang tiba-tiba itu, dalang pembuat kekacauan.
Serpihan kaca berserakan dibawah sini. Kilauannya memantulkan langit yang terpecah. Deru nafas kami tak stabil setelah 'hujan' itu, setelah asap dan gelegar itu. Aku dan orang lain terkejut setengah mati. Gemuruhnya masih tersisa, sang asap juga, masih menguasai atap sebuah gedung dan ketakutan orang-orang. Derap sepatu tak beraturan dan suara-suara kepanikan. Wajah-wajah meradang. Seakan semua orang jadi punya tuhan saat ini.
Aku berdiri mematung. Dan patung-patung berhala penjaga gerbang masihkah memiliki otoritas keberuntungan? Tuan yang memahatmu mungkin sudah mati. Dia kira menjadi yang paling tinggi bisa bernafas leluasa. Dunia ini punya timbal balik untuk jiwa yang bernafas dengan uap keserakahan.
Ahh...
Tangan ini berhak mencengkram wajah sok tau diriku. Menghakimi seseorang adalah sikap tercela. Aku tidak ingin mengukir tawa, tetapi aku juga ingin berada disini sebentar lagi. Bagaikan membelah hiruk-pihuk, hanya aku sendiri yang menatap kekacauan itu. Dibalik kacamata ini menjadi jelas, terlihat teror mampir untuk mengalungkan sayapnya yang lelah terbang. Aku mengucapkan selamat datang, karena itu tidak sopan membiarkannya mengatakan 'selamat tinggal'. Masih ada yang terjadi, 'kan? Sepatu putih karyawan kebersihan masih terpasang menemani langkahku yang tak berperasaan.
Api muncul terlambat, merayapi sebuah sisi dari gedung berbentuk bundar mengerucut tersebut, mirip apa yang pernah dibuat Nimrod. Kepulan asap menyebar terhalang awan rendah setelah tak mampu menjangkau langit lebih dekat. Bahkan setelah itu, angin memudarkan konsentrasi asap dan membawanya ke utara.
Seorang wanita terdorong jatuh oleh gerakan massal manusia melarikan diri. Semua orang harus menghindari bangunan yang akan roboh itu, dan penghuni didalamnya keluar berdesakan. Dirinya menangis, kepayahan untuk bangkit dan tak berhasil. Wanita berambut lurus sebahu itu ditinggalkan oleh manusia yang dikuasai kepanikan. Luar biasa. Tidak ada sebuah tangan terulur pun untuknya, sedangkan tubuhnya diguyur rintik-rintik serpihan beton. Debu menyelimuti tangisnya.
Serpihan beton jatuh lebih besar, makin deras, tetapi wanita malang itu tak mampu beranjak. Tangannya menyeret tubuhnya pergi. Beberapa jengkal ia berpindah, ketika sebuah serpihan beton bulat menghantam kepalanya dengan kejam. Wajahnya tersungkur. Darah menyiprat seketika. Orang-orang yang melihat berteriak lebih keras. Dan wanita itu telah hilang, kupikir. Jiwanya sudah terbang. Reruntuhan lain menyusul menghajar tubuh yang tak lagi bergerak itu. Tak butuh lama untuk melihat jasadnya sampai setengah terkubur.
Seperempat tinggi gedung runtuh kedepan. Jasadnya akan hancur. Dan itu terjadi didepan mataku. Gemuruh menakutkan menyebar kencang bersama gulungan debu yang datang menyusul. Mereka sampai kepadaku, namun tetap tak mampu mendorongku menuju satu langkah mundur. Aku melindungi wajah dengan menyilangkan kedua lengan didepannya. Mata memejam. Hanya hidung yang kosong perlindungan. Debu yang dihantarkan angin menyeruak tak terbendung, kurasa memenuhi saluran nafas dalam sekali hentakannya. Ketika beberapa belas detik yang mengumpulkan ketegangan itu berlalu, tersisa diriku yang terbatuk-batuk parah beserta bersin berulang dengan pemendekan interfal yang ekstrim. Sekarang aku merasa kesulitan bernafas.
Suara berdengung sangat mengganggu. Lingkungan menjadi bias oleh debu dan asap. Siluet muncul dalam bentuk seseorang berlari, melewatiku, kemudian hilang. Kepala ini merunduk tak mampu melawan debu. Aku mengintip sekitar dengan membuka sedikit penglihatan. Ada dua lagi siluet muncul hampir bersamaan, melewatiku dari kedua sisi. Itu suara tangis dan kepanikan dari laki-laki dan perempuan, lalu mereka juga menghilang.
Tiba-tiba seseorang memalangkan tangannya menghantam tubuhku, membuat aku terhuyung dan hampir terjatuh jika orang itu tidak meneruskan tindakannya. Tangannya menyentak lenganku untuk ikut dengannya. Aku terseok akibat perbuatannya. Namun hal itu berlalu cepat, karena tidak ada yang butuh bertaruh lebih lama. Semakin dekat adalah meningkatkan bahaya. Makin lama disini, resiko tercipta sempurna. Peduli kepada diri sendiri sambil memperingatkan orang lain. Seolah dia berbisik: "Hidup ini berharga!"
Aku berusaha bangkit, namun seorang lagi menabrakku sangat kasar, mementahkan upayaku yang tinggal sedikit lagi. Aku terjerembab seperti dirinya, tetapi dia dengan sigap bangkit. Siluet itu menghilang meninggalkan tanggung jawabnya. Garis depan sudah hilang dari pantauan mata. Sekarang waktunya mundur. Aku bersama para siluet itu, dan keadaan semakin terang seterang aku mendengar deru nafas, diriku dan orang-orang. Aku sampai pada mereka yang berkumpul. Seseorang berseragam palang merah memapahku. Dia berbicara mengenai kondisiku kepada seseorang ketika aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Ya, bagaimana menjawabnya? Jelas, aku kesulitan bernafas.
Diriku pergi lebih jauh setelah nafas sengal yang kutahu adalah nafasku sendiri itu terdengar menjadi nyaring. Pada awal detik-detik yang tak lagi kupikirkan, aku benar-benar tak mampu menarik nafas. Dan alat bantu nafas. Seseorang melucuti pakaian. Kepanikan yang bergema. Mata menyaksikan saat-saat ketika langit-langit ruangan yang kulihat seperti jatuh menimpaku. Semua berlangsung cepat dan campur-baur.
"Ana!"
Namaku. Siapa yang memanggilnya?
Gaung.
"Apakah hidupmu menyenangkan?"
Aku tersenyum.
Terima kasih. Suatu saat di masa lalu, aku menyadari kehidupan itu menyenangkan.