Chapter 1 : Villa

215 23 22
                                    

"Ma kenapa Rambut Ralia selalu pendek?"tanya Ralia penasaran.

"Karena kamu masih kecil sayang?" jawab sang mama lembut.

"Jadi kalau Ralia udah besar Ralia boleh dong rambutnya panjang kayak mama?" tanya gadis berumur tujuh tahun itu.

"Boleh dong sayang" Rena lalu mengecup kening putri semata wayangnya itu. "Ya udah sekarang saatnya tidur. Mama matikan lampunya ya?"

"Iya ma, good night " balas Ralia dengan senyum mengembag di wajah mungilnya.

"Good night dear" Mamanya pun pergi dan menutup pintu kamar Ralia.

Alih alih tidur Ralia malah pergi membuka pintu dan keluar untuk duduk di balkon kamarnya. Ia menatap ribuan bintang yang kini menghiasi langit malam itu.

"Apa mama tau Ralia merindukan bintang?" kalimat itu tiba tiba saja meluncur dari bibir kecil gadis itu.

Skip~

*****

"Ralia bangun sayang!" teriak Rena dari luar kamar Ralia "Sebentar lagi kelasmu dimulai"

"Iya ma" balas Ralia malas "Aku udah bangun kok" tambahnya lalu ia menenggelamkan lagi kepalanya ke bantal empuknya.

"Ralia, mama tahu kamu tidur lagi"

"Iya ma iya. Ralia bangun kok" Ralia pun beranjak dari kasurnya dan berjalan gontai menuju kamar mandi di kamarnya.

Tap tap tap...

Langkah kaki Ralia terdengar begitu mendominasi, sendalnya berhasil membuat suatu perpaduan suara dengan lantai keramik rumah ini.

"Pagi ma" Sapa Ralia pada mamanya yang sudah duduk manis di meja makan.

"Pagi juga sayang" wanita paruh baya itu tersenyum sambil mengunyah Roti dan selai coklat di dalam mulutnya.

"Ralia mau omelet bi Lisa" pinta Ralia pada salah satu pembantu rumahnya yang baru saja datang menghidangkan segelas susu untuknya.

"Baik nona cantik" pembantu bernama Lisa itu dengan senang hati mengabulkan permintaan Ralia.

"Makasih bi," senyuman tak luput dari wajah Ralia. "Ma, Ralia kan bentar lagi UN jadi ralia masuk SMA biasa kan ma?" tanya Ralia bersemangat.

"Sayang, sudah berkali kali mama bilang diluar sana itu nggak baik. Anak sekarang itu rusak semua, mama nggak mau kamu salah bergaul Ralia," jelas Rena pada Ralia.

"Tapi ma, Ralia kan pengen punya temen. Ralia selalu aja sendiri dari dulu. Temen Ralia cuma Bi Lisa, Bi Ela, Bi Ana, Pak Tyo dan Pak Jack. Kan Ralia bosen mama" keluh Ralia.

"Kalo kamu bosen mama bisa ganti pembantu kita." jawab Rena singkat, ia tampak rak berselera menanggapi pertanyaan Ralia.

"Jangan dong ma, kan kasihan mereka. Ralia cuma pengen sekolah apa susahnya sih ma.? Ralia janji bakalan jadi anak baik. Ralia nggak akan aneh aneh janji deh, ya ma yaa.. " bujuk Ralia.

"Nanti mama pikirkan lagi" penyataan singkat Rena menumbuhkan secercah harapan di hati Ralia.

"Gitu dong, mama tebaik deh!" senang Ralia.

****

"Kita harus terus waspada my Lord, sst...sst." kata seorang laki laki ber iris kuning menyala pada tuanya diikuti dedisan desisan mirip ular yang mambuatnya menjadi aneh.

"Kau pukir aku tidak pernah waspada!" Bentak seseorang yang dipanggil my Lord itu.

"Ma.. Maaf my Lord" sesalnya, sepertinya ia mengatakan sesuatu yang salah.

"Dia tidak akan berbahaya sebelum waktunya." Ujar seseorang itu yang kini dalam balutan jubah dengan tudung yang sukses menutupi hampir seluruh bagian wajahnya .

******

"Akhirnya gue bisa kesini lagi" Daniel turun dari mobil Jeep hitamnya dan menghirup kuat kuat udara di daerah pegunungan itu. Dia seperti seseorang yang lama tak bernapas.

"Kak, lo mau terus berdiri disitu? Ayo masuk. Jangan lupa bawa kunci mobilnya. Nanti ketinggalan lagi." ajak Baro adik Daniel yang umurnya hanya berbeda setahun darinya.

"Iya iya, cerewet banget sih lo. Papa aja nggak cerewet. Lo mirip siapa sih?" Gerutu Daniel.

Pltak ...

"Eh sialan lo, sakit tau" jitakan Daniel berhasil memebuat Baro bersungut."Sia sia juga kalo gue bales lo. Ah nggak asik lo. Kak" baro tampak tak bersemangat walau sudah dijitak.

Sementara itu Daniel sudah memdahului Baro memasuki Villa milik kakek mereka itu.

"Gue ambil kamar atas!" Ujarnya berkuasa.

"Terserah lo lah. Gue protes juga percuma" tampaknya dia masih kesal dengan kakanya itu.

Dengan santai Daniel naik ke lantai dua. Dan membuka satu satunya kamar di sana. Kamar berukuran super itu bernuansa Putih dengan dinding kaca yang tepat mengadap ke balkon. Pemandangan yang disuguhkan dibalik kaca itu benar benar membuat kamar itu sempurna.

Sreeekkk..
Daniel membuka pintu geser berbahan kaca itu dan keluar menuju balkon. Ia begitu menikmati pemandangan yang tidak bisa dia dapatkan di kota. Daerah Vilanya yang tinggi membuatnya bisa melihat vila vila lain dan hutan disekelilingnya. Sangat asri. Batinya.

Tak berapa lama Daniel memutuskan turun dari kamarnya dan berjalan jalan di daerah sekitar villa. Tak lupa earphone melekat di telinganya dengan mengalunkan alunan irama gitar kesukaanya.

Dia menyusuri jalan setapak yang entah mengarah kemana. Namun ada sesuatu yang membuatnya heran. Yaitu area disekeliling jalan itu yang tampak begitu rapi seperti telah ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai taman.

"Bukanya dulu disini hutan?"ingatnya. "Ah entahlah mungkin seseorang merubahnya untuk tempat wiasata" ia pun tak begitu mngehiraukan keanehan itu lagi.

Krsk..krsk...

Brukkk..

Tiba tiba saja Daniel terperosok kedalam sebuah lubang sedalam tiga meter. Kepalanya terbentur tanah sehingga ia sedikit kehilangan kesadaran. Tak lama ia melihat dengan samar seseorang menengok ke dalam lubang tempat ia terjatuh. Namun ia malah benar benar tak sadarkan diri. Dia pingsan. Darah mengucur deras di bagian belakang kepalannya.

To be continue..

Hay hay, ini cerita baru. Aku lagi ngetes seberapa menariknya cerita ini. Kalau cerita ini menarik. Mohon vote ya.. Mohon komentarnya juga sebagai kritik dan saran supaya cerita ini bisa lebih baik.
Thanks. Buat yg udah baca ya.

The Another RapunzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang