Berdua

98 8 9
                                    

Supaya kalian bisa masuk dengan sukses ke suasana didalam cerita, mohon nyalakan volumenya dan pakai headset ya, putar video youtubenya. 

____________________________________________________________________________

Seperti gerimis, aku ingin mencintaimu perlahan.

Seperti badai, aku ingin mencintaimu sampai mati.  

~ sedimensenja ~

Sesaat setelah Aku selesai membersihkan diri, Kulihat Mas Huda sibuk dengan ponselnya. Alisnya mengernyit beberapa saat, tapi kemudian wajahnya berbinar antusias. Sungguh mencurigakan. Kupikir hanya Aku yang bisa membuatnya tersenyum antusias b egitu.

Sambil menyelinap dan berjinjit, kupeluk Mas Huda dari belakang, "Hayoo.. sibuk menghubungi siapa?"

"Eh, Istri Mas sudah wangi. Ini lho Nduk, Kamu ingat Ari nggak? Teman kita main dulu. Sekarang Dia ada di Jogja mengajak kita untuk bertemu? Gimana menurut kamu Nduk?"

"Wah, boleh Mas. Kebetulan sekali ya. Kapan? Malam ini?"

"Besok Nduk sekitar jam 11 siang sekalian brunch, di Amplas (Ambarrukmo Plaza). Kalau malam ini, Mas cuma mau ketemu sama kamu." Dia tiba-tiba memutar badannya dan membuatku terjungkal. Sekarang tubuhnya tepat berada diatas tubuhku, dan dia mulai mengedipkan matanya dengan nakal.

"Mas, apa sih bikin kaget aja." Kataku sambil memukul dadanya. Aku merasa wajahku memanas dan sangat merah.

"Lho emang kenapa tho Nduk?" sambil merangkulkan tanganku ke lehernya.

Lima tahun pernikahan memang bukan waktu yang sebentar. Tapi sikapnya yang seperti ini selalu membuatku malu sekaligus senang.

Dengan kedua tangan yang sukses merangkul lehernya. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Merasakan hembusan nafasnya yang mulai berat dan hangat. Semakin dekat. Aku bisa melihat wajahnya yang tak kalah merah.

"Mas bau, mandi dulu gih." Sekarang gantian, dia pikir hanya dia yang bisa menggodaku.

"Lho kamu balas dendam menggodaku tho Nduk?" wajahnya serius, dia terus mendekatkan wajahnya dan saat aku memejamkan mata, bibirnya mendarat tepat dikeningku. Aku bisa mendengar suara dia tertawa. Lagi-lagi kali ini dia yang menang.

"Ya sudah, Mas mandi dulu ya. Siapkan dirimu setelah Mas mandi." Aku melihat sekilas sorot matanya yang nakal.

"Iya Mas. Siap untuk cari makan kan? Aku laper lho. Bajunya sudah kusiapkan diatas meja ya Sayang."

"Siap bos."

***

Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam, saat kami berdua selesai bersiap untuk menyusuri jalanan Jogja dimalam hari. Terlalu larut? Tidak juga. Toh kami berdua.

Tujuan kami adalah restoran house of raminten. Cukup jauh dari tempat kami menginap. Tapi kupikir jika kalian sering atau pernah ke Jogja mungkin cukup familiar dengan restoran satu ini.

Jalan Brigjen Katamso cukup padat malam ini. Untungnya supir taxi cukup komunikatif. Dia sibuk berbasa-basi dan mengobrol dengan Mas Huda soal Jogja yang semakin ramai. Soal anaknya yang berhasil masuk salah satu universitas negeri favorite yang ada di Jogja dan soal banyak hal.

Mobil terus melaju ke arah Jalan Yos Sudarso, Kotabaru dan akhirnya kami sampai di Jalan Faridan Muridan. Tempat restoran tersebut berdiri.

Tempat ini sangat cozy dan menyenangkan. Sayangnya kami dihadapkan dengan antrian yang cukup panjang.

"Nduk gimana, apa kita cari makan ditempat lain saja?"

"Nggak usah Mas, namanya liburan, nikmatin aja tho?"

Dia mengangguk dan tersenyum. Kemudian menggamit tanganku dan mengajakku duduk disalah satu kursi di ruang tunggu.

***

Kami menunggu cukup lama untuk mendapat makan malam, tapi juga sangat puas dengan pelayanan, desain interior, dan yang pasti makanannya. Kecuali bau kemenyan yang menyeruak begitu masuk kedalam restoran. Untunglah hidungku cepat beradaptasi.

Mas Huda dan Aku selalu pesan makanan dalam porsi banyak. Dan tebak apa? Dia memesan wedang khusus laki. Katanya dia memesan itu karena dia lelaki. Aku bahkan dilarang saat meminta minumannya. Menyebalkan.

Aku ingat sekali pertama kali kami pacaran dan makan berdua. Entah kenapa saat janjian untuk makan, saat itupula Aku selalu sedang dalam keadaan sakit perut. Terlalu gugup? Tidak juga, karena saat itu Aku sering terkena diare. Akhirnya makan berdua seringkali jadi berakhir dengan melihat dia makan, karena tentu saja makanan yang kupesan akhirnya dia habiskan.

"Aku nggak mau lihat orang kesayanganku masuk neraka karena buang-buang makanan." Itu katanya saat menghabiskan makananku.

***

"Mas, kita langsung pulang ke hotel ya? Aku capek nih." Setelah makan malam kurasa aku ingin segera merebahkan diri dikasur yang nyaman.

"Capek atau nggak sabar kangen sama Aku?" tanyanya jahil sambil mencubit hidungku.

"Ih, apa sih Mas, awas ya kalau sudah sampai hotel."

Aku melihat dia tertawa lebar. Wajahnya entah kenapa terlihat lebih mempesona dihujani cahaya lampu berwarna kekuningan.

Orang bilang lampu restoran atau hotel selalu membuat kita jadi lebih menawan. Kurasa itu yang terjadi pada Mas Huda.

***

"Jadi Nduk, gimana urusan kita yang belum selesai itu?" sesampainya di kamar, tiba-tiba dia mendorong dan menindih tubuhku di kasur.

"Gimana ya Mas." Tanganku sudah melingkar dilehernya. Aku bisa merasakan nafasnya yang mulai memberat dan wajahnya terus mendekat ke wajahku. Sejurus kemudian bibirnya sudah sukses melumat bibirku. 

dan tentu kalian tahu apa yang selanjutnya terjadi.





MenungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang