Menunggu Bintang jatuh di Sungai Naf

63 6 2
                                    

Ustadz Burhan benar ... bintang jatuh terlihat indah. Pendar cahayanya menghujam sekelilingku. Ikan-ikan kecil kaget, menghambur bertabrakan kelam lumpur.

***

"Pergilah belajar baik-baik. Kelak siapa yang mendo'akan Ibu dan Ayah?" kata Ibu sambil memasukkan selembar buku lusuh kedalam kresek hitam. Itulah tas sekolahku.
"Aku mau mengantar Ali ke sungai," sahutku lesu. Ali satu-satunya sepupuku yang tersisa. Sejak junta rajin keliling kampung, satu per satu teman bermainku menyeberang sungai. Bahkan aku tak sempat memberikan ucapan sekedar selamat jalan.

Pernah aku bertanya pada Ustadz Burhan perihal sungai Naf. Kenapa orang-orang yang menyeberanginya tak kunjung kembali.
"Disana ada banyak bintang," jawab Ustadz datar, matanya menatap beberapa awan putih yang berarak.

"Hah? Apakah seperti bintang dikisah nabi Ibrahim?" sergahku.
Aku benar-benar ingin menatap bintang. Terakhir aku melihat bintang saat Ayah pulang. Ayah memanggulku, tangannya menunjuk-nunjuk langit. Sebuah bintang bertengger tepat di ujung kubah Masjid. Kerlipnya sungguh indah. Sayang, aku tak bisa lagi menatap langit. Sesaat setelah dibakarnya Masjid berkubah, kami harus berada dalam rumah selepas Magrib.

"Bintang, matahari, bulan dan bumi tetap sama seperti yang ditemui nabi Ibrahim. Masing-masing beredar sesuai perintah Allah" Ustadz Burhan menoleh padaku. Ada butiran air mengembang di sudut matanya.

"Apakah Nabi Ibrahim juga meminta surat ijin pada junta untuk keluar kampung?" tiba-tiba ingatanku melayang pada selembar surat yang kuhilangkan. Ibu sangat marah saat itu, sampai-sampai menelpon Ayah yang bekerja di Malaysia.

Aku bisa bertanya apa saja pada Ustadz Burhan. Bahkan Ibuku menanyakan kiriman uang Ayah juga pada Ustadz Burhan.

"Nak, segeralah berangkat. Kenapa malah melamun!" hardik Ibu mendelik. Alisnya menyatu pertanda kesal. Sebelum teriakan kedua aku melesat menyambar kresek hitam dari pangkuan Ibu. Tak sanggup aku menerima cubitan Ibu. Rasa sakitnya bisa bertahan hingga tiga hari dua malam.

"Ngiung ... ngiung ... ngiung..."sirene meraung kencang. Beberapa junta berlarian ke ujung jalan.

"Tiarap! Jangan bergerak!" seru pria berseragam junta. Hatiku mendesir. Kuseret kaki menjauhi kerumunan. Pelahan kubenamkan badan diantara semak-semak disisi jalan. Dadaku berdetak kencang.

"Mana Burhan!" bentakan nyaring disertai hentakan sepatu laras, "Buk!" Satu kali, dua kali, bertubi-tubi.

Dari celah semak terlihat wajah seorang lelaki menahan sakit. Tulang rahangnya menyium tanah becek bekas hujan semalam.

Ya Allah! Ustadz .... kubekab mulutku rapat-rapat. Setetes air menetes dari pelipis. Ah, bukan. Airmataku. Alirannya semamin deras. Cairan hangat merembes dsri selangkangan, membasahi celana rombengku. Kugigit telapak tangan sekuat mungkin, menahan isak. Mereka tak boleh menemukanku.

Ini bukan mimpi. Mereka beberapa meter dari mukaku.

Pluk!
Tak bisa kuberteriak. Tangan lelaki dewasa menindih tanganku. Membekabku kuat. Tangan yang satunya lagi memegang perutku dari belakang. Tertangkap? Bola mataku membulat ingin keluar dari sarangnya. Ibu. Ayah. Jeritku tenggelam di relung hati.

Kuayun-ayunkan kedua kaki menendangnya, dia semakin kuat memegangiku. Dalam sekali gerak, tubuh mungilku dibopongnya menerobos semak-semak.

"Huss, kita akan melihat bintang di sungai" oh, aku kenal suaranya.

***
Jalan terjal berliku serasa tak berujung. Nyamuk puas menikmati darah yang entah masih segar atau masam. Pohon-pohon menjulang tinggi mengapit sisi jalan setapak. Bau amoniak masih melekat kuat. Huh, ini pasti air kencing tadi siang. Sekilas kutengok celana, warnanya tak lagi hitam. Lumpur berpesta pora mengalahkan hitamnya celanaku.

Ada beberapa orang bersamku. Semuanya tak kukenal. Kecuali suara lelaki yang tadi menyelamatkanku dari pemeriksaan junta. Wajahnya dililit serban. Hanya sorot matanya yang membuatku percaya mengikutinya.

Lelaki itu balas menatapku. Sekali aku berani menanyakan namanya yang disambut tempelan ujung telunjuknya dibibirku. Aku paham. Semau orang dalam rombongan juga paham. Tak boleh menyebut namanya.

Kelelawar mulai beterbangan. Nyanyian bambu terdengar. Ada jenis bambu ketika malam mengeluarkan suara. Begitu kata Ibu. Ah, mana Ibu? Kakak juga tak tampak dalam rombongan. Apakah mereka sudah jalan duluan?

Rasanya tak mungkin Ibu meninggalkanku. Walau cerewet dan galak, Ibu pasti akan mengajakku kemanapun pergi. Lagi-lagi aku tak berani menanyakan keberadaan Ibu dan kakak perempuanku.

"Naiklah, pelahan" bisik lelaki berlilit sorban.

Kukerjabkan mata berkali-kali. Benarkah aku akan menyeberangi sungai Naf? Kudongakkan kepala, ahai bintang gemerlap menggoda. Petik aku, petik aku.

Ayah, aku menemukan bintangmu. Apakah kau disana sedang melihat bintang? Kuukir senyum Ayah pada sebuah bintang.

"Tersenyumlah, tunggu bintangmu jatuh," kembali lelaki berlilir sorban menatapku.

"Bintang bisa jatuh? Bisakah?" tanyaku sembari menyelami sorot matanya.

"Tataplah bintangmu, apapun yang terjadi jangan menoleh ke belakang" dalam remang malam kulihat matanya menyipit. Mungkin dia sedang tersenyum dari balik lilitan serbannya.

Aku duduk di ujung perahu. Seperti petuah lelaki berlilit sorban, aku memilih bintangku sendiri di langit. Kutatap mereka, indah semuanya.

Pelahan perahu bergerak meninggalkan bibir sungai. Aku terus menatap langit. Apakah benar bintang bisa jatuh? Bukankah ia beredar sesuai lintasannya?

"Ah!"
"Merunduk! Ayo merunduk. Pegang perahu... "

"Dor! Dor!" bunyi senapan nyaring memecah malam. Belum jua kami sampai di tengah sungai, rentetan senapan menghujani perahu.

Percikan cahaya mesiu membelah gelap malam. Bintang-bintang kecil menyaingi bintangku.

"Lompat... "
"Pegang sesuatu" suara-suara ketakutan terdengar.

"Dor!"
"Allahu Akbar" teriak orang-orang kalang kabut.

Bukit Cox's Bazar masih malu menampakkan dirinya.

"Blur!" Dibelakangku suara beberapa orang menyebur sungai. Aku tak bergeming. Kurapatkan peganganku pada pinggir perahu.

Air sungai membasahi kakiku. Semakin tinggi, tempat dudukku penuh air.

"Dor! Dor!"
Aku mendengar dua letupan.

Blar!!
Badan perahu menimpaku. Tubuhku melayang, ringan. Oh, kugapai secercah cahaya yang masuk, aku tak bisa. Napasku sesak.

Sungai Naf kembali sunyi.

Kukabarkan Kerudung BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang