Jarum jam menunjuk ke angka 8, masih sangat pagi untukku yang sudah bersiap diri didepan cermin rias. Aku tak menyapu make up begitu banyak di atas kulit wajahku. Tak tahu untuk siapa aku berdandan. Aku memakai setelan se adanya. Tak berusaha untuk cantik. Aku minat tak minat untuk pergi. Namun ini kali pertama aku akan bertemu dengan anggota group chat yang lalu secara nyata. Mereka memilih tempat yang tak jauh dari rumahku berada, cukup menguntungkan.
Meski dengan grup chat itu kerap mengingatkanku pada Luca. Aku tak mau egois. Aku tak berniat merubah sikap hanya karna seorang lelaki. Aku tetap menjadi si supel di kerumunan anggota group yang selama ini hanya menyisakan beberapa puluh orang saja. Meet and greet ini akan terasa menyenangkan jika saja bayang-bayang Luca tak selalu muncul dibenakku.
Aku menepuk pipiku sendiri, mencoba bangun dari jatuh. Berteduh dari hujan. Mengobati luka yang ada. Aku nyata. Luca hanyalah angan-angan konyolku yang tak pantas menjadi titik balik hati ini.
"Luna, teman lelakimu ada dibawah. Kau tak pernah cerita pada ibu tentang lelaki manis itu?"
Lelaki? Aku baru patah hati, bu. Tak secepat itu aku menemukan teman lelaki lainnya. Lelaki mana yang ibu maksud? Aku bermonolog sendiri. Kebingungan menjalar cepat. Aku hanya menurut pada ibu saat wanita tua itu menyuruhku kebawah untuk menyambut tamu-ku.
Tuhan membiarkan dunia berhenti berputar untuk beberapa saat. Dia berbalik badan dan aku terperanjat. Urat-uratku rasanya menegang hebat seperti mau putus. Dia kah yang berdiri disana? Semuanya sama. Postur itu, rambut itu. Dan, Ya Tuhan, senyumannya─
Semua milik Luca.
Aku masih ingat setiap rinci bagian tubuh mantan pacarku itu meski hanya melihat fotonya dari layar ponsel dan video call rutin kami dahulu.
Benarkah dia─
"Luna? Benarkah itu kau?"
Luca?
"Kau─ kau masih menyimpan alamatku."
Aku tercekat.
Ya, ini aku. Dan benarkah itu kau, Luca? Bagaimana kau bisa sampai disini? Benarkah itu kau? Si tukang menghilang yang membuatku selalu kacau hampir setiap harinya? Hei, yang berdiri disana. Dirimu kah itu?
Kata-kata itu bahkan tak sampai di lidahku. Tubuhku bergetar saat tangan putih itu menyentuh pundakku. Dalam sedetik aku terkunci kedalam bibir kenyalnya. First kiss-ku melayang.
"Luna, bicaralah. Aku menepati janjiku."
Tidak, Luca. Maafkan suara yang telah habis ini. Biarlah air mataku yang menggantikannya. Mereka berjatuhan tanpa niat aku menadahnya. Biarlah mereka merasakan indahnya jatuh. Sakit yang membahagiakan.
Tak karuan rasanya. Aku ingin berlari entah kemana. Ingin menjerit namun tak bisa. Menatap matanya aku lemah. Dia disini. Luca datang dengan nyata. Seperti yang dijanjikannya dahulu. Dalam hati aku bertanya, untuk siapa kau datang?
"Maaf aku menangis..."
"Menangislah, Luna. Aku juga ingin melakukannya jika saja aku bukan lelaki."
"Kau nyata, Luca."
"Aku nyata. Aku mencintaimu. Dan aku nyata. Tentu saja."
Tingginya ternyata jauh dariku yang lebih pendek. Aku dapat dengan jelas mencium harum papermint dari rengkuhan dadanya. Ia memelukku erat seolah tiada hari esok. Aku menerimanya, aku merindukannya. Tidak ada yang menolak, bahkan semesta sekalipun.
Sesederhana ini. Luca mengajakku berjalan. Hanya di trotoar persimpangan. Tak ada tujuan namun hati ini tak mengeluh. Meski harus berjalan diatas bara api, bersamanya aku rela.