"A good-looking girl," ucapku sambil melirik ke arah kiri, di mana seorang gadis ber-cardigan biru baru saja lewat.
"Who is it?" Suara di sampingku membuatku mendengkus. Sebenarnya, gadis yang tadi sama sekali nggak aku perhatikan. Aku cuma lagi cari kesibukan lain ketimbang menunduk mainan ponsel buat mengisi waktu kosong sampai panggilan naik pesawat tiba.
Zenario-adikku, adik kandungku, adik yang paling menyebalkan-menatapku dengan tatapan polosnya. Kami cuma beda setahun. Sekarang aku 17, dia 16. Entahlah apa yang diperbuat mom dan dad dulu sampai-sampai punya anak seperti aku dan Zenario. Gagal merencanakan kehamilan? Atau kebobolan?
Ah, terlalu produktif sih kayaknya.
Kata orang, aku dan Zenario kembar yang gagal karena aku baru tiga bulan saat mom hamil lagi. Wajah kami hampir sama. Blasteran. Tapi kami WNI, sebenar-benarnya WNI. Aku bahkan sampai cinta betul sama warna merah putih.
Singkat cerita, dad adalah pria Jawa tulen asal Magelang yang jatuh cinta sama mom saat dia kerja di Bali. Dad itu chef handal. Kerja di Inna Kuta Hotel saat masih muda. Di sana lah dad bertemu mom, gadis Bali yang punya darah Toronto dari pihak nenek. Bayangkan lah betapa cantiknya mom. Ayu gadis Bali ketambahan gorgeous-nya cewek Amrik.
Boom! Mana bisa dad tolak.
Tapi, seperti apa kata orang. Pernikahan itu mudah, yang sulit adalah menjaga hari-hari setelahnya. Mereka diserbu tornado dari negara api, lalu saat aku dan Zenario berumur 9 dan 8 tahun, terbit lah sertifikat perceraian dari pengadilan.
Biar adil, aku dibawa dad. Lalu Zenario dipeluk mom. Padahal, aku juga ingin ikut dengan mom. Aku betah di Bali. Ini lah bibit-bibit yang bikin aku sebel sama Zenario, karena aku melihat dengan kepala sendiri, denger dengan kuping sendiri, kalau mereka semua rebutan Zenario!
Baik dad atau pun mom, semuanya ingin Zenario yang ikut mereka. Bukan aku, bukan Xenario, bukan Christopher Xenario Prayudha. Lantas, kenapa akhirnya aku berakhir bersama dad? Hakim lah yang mutusin. Aku cuma berusaha terima beres, toh nggak ada yang menginginkan aku. Nggak kayak Zenario yang sempat bingung karena dipaksa milih harus ikut yang mana.
"Kak." Zenario mengulurkan tangannya, menyentuh punggung tanganku yang teronggok di atas paha.
Tsk! Prihatin banget aku sama keadaan Zenario. Bukan, bukan karena sekarang dia jadi gembel atau apa. Mom memperlakukannya dengan sangat baik. Seperti pangeran. Bahkan lihatlah aku sekarang, aku ada di bandara. Disuruh ke Bali buat mengantarnya pulang setelah liburan kenaikan kelas. Kalau bukan karena Zenario, mom nggak akan pernah mau membelikanku tiket dan menyuruhku datang secara cuma-cuma.
Tahun ini, kenaikan kelas berbarengan sama libur Lebaran. Sekolah libur hampir sebulan. Zenario datang diantar mom. Aku sendiri yang menjemputnya di Adi Sutjipto saat itu, dengan harapan mom akan meluangkan sedikit waktu untuk tinggal dan memelukku ....
Tapi nggak, yang kulihat di terminal kedatangan waktu itu hanya kesibukan mom yang meneliti barang-barang Zenario. Mom dengan detail memindai tubuh Zenario lalu masuk lagi ke bandara untuk balik ke Bali dengan penerbangan selanjutnya.
Dead meat you, Xenario! You should have known that mom is not going to hug you ... or run to you!
"Let me talk." Zenario berkata lagi. Aku mendengkus. Aku benci denger suara Zenario. Setiap kali mendengar suara lembut dan halusnya, sebuah kenyataan serasa dipertegas buat memukulku, that he's an angel when I'm like a demon.
Ini yang kukatakan kenapa aku prihatin dengan Zenario. Dia tumbuh dengan kelewat baik dan sempurna. Persis pangeran-pangeran di film. Sedangkan aku, aku kebalikannya. Kurang kasih sayang, nggak punya teman, jangan salahkan aku kenapa aku bisa jutek seperti ini. Oh please, don't laugh ... aku tahu, Zenario lah yang lebih tepat buat prihatin sama kakaknya ini.
"Aku udah ngedengerin kamu bicara selama sebulan ke belakang. Masih kurang puas nyakitin telingaku?" Kujawab seperti itu, Zenario malah tersenyum. Tuh, kan? Bersamanya hanya bikin aku terhempas. Dia selalu bisa jadi lebih baik.
"Please ...." Zenario merajuk, minta didengerin. Padahal tanpa dia minta, aku pasti dengerin dia mau ngomong apa. Sebulan ini udah kayak gitu. Dia nyerocos nggak jelas, aku dengerin sebisanya. Seringnya malah nggak aku kasih respon. Males.
"Go ahead." Aku membalas dengan jengah. Tapi beruntung, baru saja dia mau buka mulut. Ada suara pengumuman dari petugas bandara, gate sudah dibuka untuk penumpang tujuan Bali.
Aku berdiri, lalu berjalan begitu saja tanpa menunggu Zenario. Kupikir, toh boarding pass sudah dibawa sendiri-sendiri. Dia juga bukan sekali ini naik pesawat. Walau kita kakak-adik, nggak harus bareng-bareng juga, kan?
Tapi tunggu, ketika aku menoleh ke belakang, Zenario masih duduk di bangkunya. Tangannya memijat kening.
Damn! Bikin kerjaan. Vertigonya pasti kambuh. Aku mendekat lagi, lagian pintu masuk gate juga masih antri. Masuknya nanti saja kalau sudah panggilan ketiga.
"Zen, are you okay?" Aku duduk lagi di sampingnya. Dia tampak berusaha baik-baik saja. Tangannya yang bertengger di kening dilepas. Wajahnya terangkat lalu menjawab tanpa menoleh ke arahku.
"Don't worry, I'm okay."
Nggak okay, Zen. I know that!
"Wajahmu pucet. Apa perlu kukabari mom kalau kamu sakit dan batal pulang hari ini?"
Zenario menoleh lalu menggeleng nggak setuju, dia udah nggak senyum. Wajahnya mengerut menahan sesuatu. Aku tahu pasti itu sangat sakit. "No, Kak. Jangan. Ini bisa ditahan. Sayang tiketnya."
"Okay, then. Make sure kalau kamu nggak bakal mati di dalam pesawat. Aku nggak mau dibikin ribet."
***Last Flight With Zenario 1/5***
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Flight With Zenario ✔
Short StoryXenario terlambat sadar bahwa sebenarnya dia masih ingin terus melakukan banyak penerbangan bersama Zenario. Tapi Zenario malah menjadikan airport sebagai tempat perpisahan mereka. Xenario itu sayang kepada Zenario. Di saat yang bersamaan, rasa saya...