Last Flight With Zenario 2

977 140 9
                                    

"Okay, then. Make sure kalau kamu nggak bakal mati di dalam pesawat. Aku nggak mau dibikin ribet."

Sadis. Ya aku tahu, aku sadis kali ini. Bahkan secara nggak langsung aku tega ngedoain Zenario mati. Bukan doa sih, hanya bahan gurauan, yang sayangnya nggak lucu sama sekali.

Zenario mengulas senyum. Ini hal kedua yang bikin aku prihatin. Entah sejak kapan dia punya vertigo. Tapi sebulan ini aku sering ngedapetin dia lagi sakit kepala diem-diem di kamar. 

Aku lost contact dengan mom, aku juga jarang ngobrol sama Zenario. Jadi, apa yang terjadi sama Zenario, kapan, di mana, atau bla bla bla tentang anak itu aku sama sekali nggak tahu.

Memang, dia paling rajin datang ke Magelang setiap liburan. Tapi udah dua tahun ke belakang, aku ngerasa dia udah nggak sejail dulu. Well, aku lupa cerita kalau aku sekarang tinggal sama Eyang Kakung di Magelang. 

Where's Dad? He's married, dia tinggal di Jakarta sekarang. Dad tipe pria yang cepat move on rupanya. Baru tiga tahun setelah cerai, which is saat aku berumur 12 tahun, dad nikah lagi. Lalu dapat kerjaan di Hyatt Jakarta. Istri barunya dibawa, sedangkan aku ditinggal.

Aku udah nggak berharap lagi sama mom, apalagi dad. Aku udah nggak percaya lagi sama mereka. Then, I live my life semauku. Aku dan Eyang Kakung nggak terlalu akrab satu sama lain. Padahal, cuma rambut dan warna kulit yang membedakan kami. Selebihnya sama, tapi entah kenapa ada jarak lebar antara aku dan Eyang.

Sedikit banyak, kedatangan Zenario setiap liburan jadi hal yang paling aku tunggu. Walau aku nggak mau mengakuinya secara gamblang. Gengsi, masih marah, dan iri. Itulah yang ada di otakku kalau udah ngomongin Zenario.

"What's wrong with you?" Aku semakin nggak paham saat aku melihat Zenario mulai kehilangan cara menahan kesakitannya, tapi herannya dia masih bilang kalau dia baik-baik saja.

"It's vertigo. Dia nggak tahu diri banget. Dateng di waktu yang nggak tepat gini." Zenario meremas kepalanya. Aku tercengang. Tanganku maju mundur mau ikut memijitnya. Siapa tahu bisa ngurangin sakit.

Oh, no! Muka Zenario pucet banget sekarang. Aku sampai curiga kalau sekarang dia udah berubah jadi vampire yang sebentar lagi nubruk semua orang buat digigit dan diminum darahnya. 

Xena, stop being idiot! Jangan berpikiran konyol di saat adikmu kesakitan kayak gini.

"Aku pikir, sebaiknya kita tunda kepulangan aja. Nggak papa tiketnya hangus. Nunggu kamu baikan, kupikir mom atau dad nggak akan marah kalau tiketnya hangus gara-gara kamu sakit."

Ya, nggak akan marah. Kamu kan anak emas mereka, Zen ....

Kudengar erangan tertahan dari mulut Zenario. Anak itu terlihat payah banget sekarang. Tubuhnya yang kurus bersandar ke kursi tunggu dengan lemah. Saat aku memberanikan diri menyentuh tangannya, oh gila! Tubuhnya panas banget. Nggak perlu jadi dokter dulu buat tahu bahwa dengan suhu segitu pusingnya pasti kebangetan.

"Nih, minum dulu biar enakkan. Bentar lagi antriannya habis tuh. Kita harus masuk pesawat. Kalau kamu kayak gini terus, petugas nggak akan ngebiarin kita naik pesawat." Kusodorkan sebotol air mineral yang langsung Zenario terima. Dia meminumnya dengan rakus. Seolah dengan minum itu, sakit kepalanya bisa hanyut dan luruh.

"Okay, I'm fine now." Zenario membuka mata. Lalu menatapku dengan penuh ... apa ya namanya ... tanda tanya?

"Really?" Aku nggak percaya gitu aja. Mana ada vertigo bisa sembuh hanya dengan minum air? Kalau iya, bakal aku sebarin info itu ke sosial media biar Zenario jadi pahlawannya para penderita vertigo. "Serius deh, obat kamu yang dari kemarin rutin diminum kalau kambuh sekarang di mana? Minum aja, nanti kan bisa tidur di pesawat."

"Nggak baik minum obat kalau mau naik pesawat." Zenario mencoba berkilah, dikiranya bisa membela diri. Tapi God, aku yakin banget dia butuh obat sekarang. Kurebut ranselnya, dia mau menahan tapi telat. Aku udah nemu kantong yang isinya macem-macem obat. Duh, Zenario, adikku ... sejak kapan dia jadi P3K berjalan? dari obat merah, kapsul tambah darah, sampai obat diare ada semua di kantong itu.

"Butuh yang mana, nih? Yang ini?" Aku mencoba berkelakar sambil menyodorkan obat diare. Seharusnya ini lucu buat Zenario, tapi mungkin karena sakitnya menjadi-jadi, dia cuma menggeleng sambil membungkuk.

Oh, please, Zenario. Kamu bikin aku sedikit takut sekarang. "Sekarang nurut sama aku, I'll tell the crew that we can't fly now. Kamu sakit, Zen! You're sick!"

"Yes, I am. But I'm still okay." Tenggorokan Zenario seperti sedang menelan sesuatu. Dia melirik ke arah gate dan benar, dia sepertinya setuju bahwa aku dan dia harus naik pesawat sekarang juga. Ini sudah panggilan kedua. Biasanya akan dilakukan final call buat para penumpang yang udah check in tapi belum naik pesawat juga.

"Aku nggak tahu sakitnya kayak apa. Tapi, I am your brother, Zen. I have to protect you."

Zenario terkekeh sambil membereskan ranselnya lalu berusaha berdiri. "Aku seneng banget dengernya. Setelah sekian lama, Kakak baru ngakuin aku sebagai adik. Aku jadi semangat."

Alisku bertautan. Kulihat Zenario terhenti sejenak. Masih berusaha mengumpulkan kekuatan sambil mencari pegangan. Tapi mana ada pegangan. Asumsiku bilang kalau sebenarnya Zenario nggak kuat berdiri. Bahkan berjalan. Wajahnya juga semakin pucat.

Plus kami mulai jadi tontonan calon penumpang lain yang ada di boarding room ini. Adi Sutjipto memang boarding room-nya nggak seberapa luas. Ada beberapa gate yang berderet di pinggir ruangan. Nggak ada sekat buat penumpang dengan tujuan yang berbeda. Kita tinggal menunggu informasi saja, lewat gate mana untuk naik ke pesawat sesuai tiket.

Untung, siang ini boarding room-nya nggak terlalu padat. Kesakitan Zenario dan ketakutanku masih bisa disamarkan. Hanya orang-orang yang posisinya kebetulan dekat aja yang tahu kalau Zenario tampak kesakitan.

"Kamu keras kepala, Zen!" Aku ikut berdiri lalu menggandeng tangannya. Dia nggak menjawab, masih sibuk dengan sakit kepalanya kurasa. "Look ...."

Zenario menatapku. Ah adikku, sesakit itu kah? Kenapa jadi tambah pucet gini?

"Look, Zen. Don't force yourself. Jangan munafik juga! Kalau kamu bilang kamu ok, buktikan. Sekarang kamu menyedihkan, berdiri aja susah payah masih ngotot bilang kamu baik-baik aja? Listen!" Aku menatapnya dengan galak. "Petugas nggak bakalan ngasih kamu naik kalau kamu kayak zombie gini."

"Kak, jangan paranoid. Nggak ada detector suhu badan di gate itu. Kita juga bukan mau terbang ke Singapore yang kalau lagi demam aja sampe nggak dibolehin masuk. Aku nggak MERS, cuma vertigo dan demam. Petugas bakalan tetep ngebolehin aku terbang."

"Kamu pernah denger nggak kalau penumpang yang lagi flu pun bisa dilarang naik pesawat, Zen?"

Zen meringis, menggelengkan kepalanya lalu cemberut ke arahku. "Flu kan nular, vertigo enggak."

Aku mendengkus mendengar pembelaannya. Ya benar, mungkin Zenario memang baik-baik saja seperti apa katanya. Aku nggak mau urusin dia lagi. 

Terserahh, yang sakit kan dia ini. Bukan aku!

 "Fine! Tunjukin kalau gitu. Held your head up, jangan nunduk, jangan ngebungkuk kayak kakek-kakek uzur. Jalan yang bener, Zenario. Kamu bakalan jadi perhatian penuh kalau ketahuan sakit. Lagian aku ... aku males ngurusin kamu. Pegang omongannya, kalau ok ya udah tunjukin. Tapi aku masih ngasih kesempatan sekarang kalau kamu mau ngaku sakit ...."


***Last Flight With Zenario 2/5***

Last Flight With Zenario ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang