"Fine! Tunjukin kalau gitu. Held your head up, jangan nunduk, jangan ngebungkuk kayak kakek-kakek uzur. Jalan yang bener, Zenario. Kamu akan jadi perhatian penuh kalau ketahuan sakit. Lagipula aku ... aku males ngurusin kamu. Pegang omongannya, kalau ok ya udah tunjukin. Tapi aku masih ngasih kesempatan sekarang kalau kamu mau ngaku sakit ...."
Zenario tampak mengangguk. Dia mungkin sedang menguatkan diri dengan mengembuskan napas berkali-kali. Lalu menegakkan badan dan berjalan tegak menuju gate.
Aku berjalan di belakangnya. Rasanya nggak tega, tapi dia sendiri yang bilang kalau dia baik-baik aja. Aku udah coba ngelarang, dianya yang nggak mau. Zenario mengeluarkan boarding pass dan kartu identitasnya ke petugas di sebelah kanan. Sementara aku di sebelah kiri.
"Is he okay?" Seorang petugas menahan lenganku saat sadar bahwa aku dan Zenario adalah kakak adik. Dia bisa saja menanyai Zenario, tapi dia malah bertanya kepadaku. Mungkin karena aku ketahuan lebih tua, jadi mereka pikir aku punya tanggung jawab atas Zenario.
"Sure. Dia bilang cuma sakit kepala biasa. Demam, Miss." Walau tampangku bule tapi sengaja kujawab pakai bahasa Indonesia, biar penjelasannya lebih ditangkap dengan jelas sama petugas. "Imunnya buruk. Main di pantai seharian aja udah tepar." Kulirik Zenario yang semakin memucat di tempatnya. Buruk. Dia bisa pingsan kapan saja. Termasuk sekarang.
"Masih boleh terbang, Miss?" Aku tanya ke petugas itu, biar dia yang memutuskan kami layak terbang apa nggak. Kalau petugas yang memutuskan, Zenario nggak akan bisa berkutik, kan? "Kalau nggak boleh terbang, kita bisa tunda aja."
"Kak!" Zenario berseru nggak terima. Ia menarik lenganku dengan kasar sambil merengut. "I told you, I am fine! I'm fine. It's just an ordinary fever. I wanna go home now. I need mom!"
Butuh mom, ya? Aku tersenyum kecut. Dasar manja! Jadi itu alasannya kenapa dia rela-rela aja terbang sambil kesakitan? Karena kangen mom?
"Boleh nggak, Miss?" tanyaku lagi. Hanya make sure, Zen ... sabar dikit, please.
Petugas itu berdiskusi sebentar dengan yang lain. Lalu hasilnya, mereka memperbolehkan aku dan Zenario naik ke pesawat. Aku menoleh ke arah Zenario dan berkata sinis, "Congrat, Brother! You're going home in a few minutes."
Setelah itu aku dan dia jalan berdampingan ke arah pesawat. Kalau di Adi Sutjipto, keluar gate, jalan sebentar langsung masuk tempat parkir pesawat. Tinggal naik passanger ladder, sampai deh.
Oh shit! Itu dia, tangga manual penumpang. "Bisa naik sendiri? Apa perlu kugendong?"
Zenario nggak menjawab. Oke, dia jengkel mungkin. Tapi nggak, dia hampir saja tersungkur kalau aja peganganku ke tubuhnya nggak cukup kuat. "Zenario, you make me scared now!"
"I ... I'm sorry." Zenario mengarahkan tangannya untuk meremas kepala lagi. Zen, sakit banget? Apa bener-bener bisa kamu tahan? Perjalanan kita masih jauh, aku bener-bener takut kamu mati saat kita ada di pesawat.
"Jangan mati di pesawat. Aku mau kamu melek selama penerbangan." Ok, itu egois sekali. Tapi biarin aja, yang penting aku mau dia buktiin kalau dia baik-baik aja. Aku juga pernah sakit kepala dan demam, tapi nggak pernah sampai pingsan. Jadi, aku nggak akan mengizinkan Zenario mengalami itu sekarang.
"Kak ... kepala aku tuh pusing banget. Masa aku nggak boleh tidur sebentar, sih?"
Adikku yang malang, maafin aku. Aku menghela napas dan membimbingnya naik ke pesawat. Meniti satu persatu anak tangga. Dia di depan, aku di belakang. Berkali-kali dia berhenti sebentar dan hampir terhuyung kalau nggak aku tahan. Tapi dia hebat banget, begitu tiba di pangkal tangga dan ditunggu sama pramugari di pintu pesawat, dia senyum. Jalan tegak. Seolah-olah nggak ada tragedi hampir pingsan kayak di bawah tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Flight With Zenario ✔
ContoXenario terlambat sadar bahwa sebenarnya dia masih ingin terus melakukan banyak penerbangan bersama Zenario. Tapi Zenario malah menjadikan airport sebagai tempat perpisahan mereka. Xenario itu sayang kepada Zenario. Di saat yang bersamaan, rasa saya...