Aruki

42 9 0
                                    

By: martianoorsidah

Aruna menaburkan bunga pada makam ayahnya dengan wajah yang muram, bagai gelapnya malam yang tak disinari bulan. Perlahan air matanya jatuh dari pelupuk mata saat dirinya sudah tak mampu membendung kesedihan yang ada. Ia menangis dalam diam. Adiknya, Aretha, telah menangis tersedu-sedu di dalam pelukannya. Bahu Aretha naik turun dengan cepat, membuat hati Aruna bagai teriris saat melihat Aretha yang begitu sedih.

Aruna dan Aretha kehilangan ayah mereka sudah hampir dua tahun. Tapi kesedihan dan rasa kehilangan yang begitu dalam masih mereka rasakan. Mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat sedih di depan ibu mereka. Aruna masih ingat bagaimana sang ibu ingin tidur bersama mereka selama seminggu. Namun ibu begitu kuat dan tegar. Ibu dapat dengan cepat menerima kenyataan yang ada. Ia sadar bahwa ia masih memiliki orang-orang yang sayang padanya.

Aruna mengusap pipinya yang telah basah dengan punggung tangan dengan cepat. Ia tak ingin Aretha melihatnya menangis. Ia tak ingin membuat Aretha semakin bersedih.

“Retha, kita pulang, yuk. Udah malem, kasihan ibu sendirian di rumah.” Aruna memcoba membujuk Aretha yang masih terisak. Aretha mendongak, melihat mata kakaknya yang terlihat lelah. Ia menganggukkan kepalanya perlahan dan bangkit dari duduknya.
___

Hari ini Aruna menjalani harinya seperti biasa. Berangkat sekolah bersama adiknya, lalu mengantarkan adiknya terlebih dahulu lalu pergi ke sekolahnya sendiri. Setelah memarkirkan motornya dengan rapi, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya pelan, “Hai Runa!”
Begitulah sapaan Uki setiap pagi untuk Aruna. Uki adalah sahabat karib Aruna sejak masuk SMP hingga sekarang mereka berada di kelas 2 SMA.

“Hai juga, Ki. Kamu udah sarapan belum?” tanya Aruna. Uki hanya menjawab dengan gelengan kepala. Aruna hanya mendengus kesal. Salah satu kebiasaan jelek Uki, jarang sarapan di rumah. Mereka lalu memutuskan untuk mampir ke kantin terlebih dahulu untuk membeli roti dan susu sebagai sarapan.

“Matamu bengkak, Na. Semalam kamu menangis lagi, ya?” tanya Uki saat mereka telah duduk dengan nyaman. Kantung mata Aruna yang lebih besar dan gelap daripada biasanya terlihat sangat kontras dengan kulit putihnya.

Aruna menggeleng seraya tersenyum tipis. Seburuk itukah air mukanya hari ini? Hingga Uki dapat dengan begitu mudah menebak apa yang terjadi sebelumnya. Uki berdecak saat melihat gelengan Aruna. Rasa bersalah itu kembali memenuhi hatinya saat melihat Aruna kembali bersedih karena teringat dengan ayahnya. Uki telah mengetahui tentang penyebab ayah Aruna meninggal, tapi Uki menyembunyikan satu fakta yang mungkin akan kembali menyakiti hati Aruna.

Uki tidak bisa menyembunyikan hal itu lebih lama lagi dari Aruna. Namun jika Uki berkata jujur pada Aruna, apakah mungkin Aruna masih mau menerimanya? Apakah Aruna masih mau untuk bersahabat dengannya? Tapi Uki telah memikirkan semuanya. Ia akan menerima jika Aruna akan menjauhinya. Ia akan menerima semua itu.

“Runa, aku pengen ngomong sesuatu,” ucap Uki pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Dahi Aruna berkerut saat mendengar suara Uki. Tak seperti biasanya Uki berbicara seperti ini. Namun Aruna hanya menganggukkan kepalanya, tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh.

Setelah melihat anggukan Aruna, Uki terlihat gelisah. Tangannya berkeringat dingin dan tubuhnya bergerak gelisah. Aruna semakin penasaran dan heran dengan tingkah Uki.

Uki menghela nafas dan menatap Aruna dalam, “Sebenarnya... penyebab kematian ayahmu adalah orang tuaku, Na,” ucapnya lirih. Mata Aruna membulat, kaget dengan ucapan Uki, “Maksudmu apa, Ki? Nggak usah bercanda deh!” Aruna mencoba meyakinkan apa yang didengarnya tadi.

Uki menggeleng kuat, “Nggak, Na. Aku serius. Orang tuakulah penyebab meninggalnya ayahmu.”

Aruna terdiam. Ia masih tak percaya jika orangtua dari sahabatnya sendirilah yang tega mengambil nyawa ayahnya. Semua rasa benci yang ia simpan selama ini terhadap orang yang telah menyebabkan kematian ayahnya muncul seketika. Masih dalam diamnya Aruna bangkit dari duduk dan berjalan meninggalkan Uki sendirian. Entah apa yang harus Uki rasakan, senang atau sedih. Senang karena ia telah berkata yang sejujurnya atau sedih karena mungkin ia akan kehilangan sahabat baiknya. Yang pasti ia akan segera menjelaskan semuanya pada Aruna.

Daging menyiksa, mata tertutup.
Kata orang, jiwa ini kuat, tapi daging ini lemah. Selamanya aku berharap cinta ini selalu ada di jiwa, agar bisa kubawa kemana-mana. Tapi kutakut perasaan ini terasa bersih karena dunia yang kotor.

Akankah aku merindukanmu dikala aku dilingkupi segala yang lebih murni daripada hati ini?
Aku tak bisa menjanjikanmu banyak hal, Cinta. Yang aku bisa janjikan, cintamu akan kugendong hingga nafas terakhir.

Di tengah lapangan inilah Aruna menumpahkan segala yang ia rasakan. Ia masih ingat betul wajah ayahnya yang bersimbah darah dan berpesan padanya untuk jangan menangis dan menjaga ibu serta adiknya. Ia masih ingat bagaimana ibu dan adiknya begitu terpukul dan menangis atas kematian ayahnya. Dirinya saat itu berusaha untuk tetap tegar, berdiri di antara ibu dan adiknya untuk menenangkan mereka. Ia bahkan tak menangis sedikitpun saat tubuh ayahnya dimasukkan ke tempat peristirahatan yang terakhir. Ia hanya diam, melewati semua proses pemakaman dengan pandangan yang kosong, bagai orang yang tidak memiliki tujuan hidup.
Aruna tersentak saat merasakan sentuhan di bahunya, “Runa, dengerin aku dulu.”

Uki. Suara ini milik Uki. Aruna segera menyusuti airmatanya dan bangun dari duduknya lalu melangkah pergi. Namun belum lama ia nelangkah pergelangan tangannya ditahan Uki, “Aku mohon, Na. Dengerin aku dulu. Ini semua nggak seperti yang kamu pikirin.”

Aruna menyerah, membiarkan Uki menarik tangannya lembut untuk duduk kembali di hamparan runput. “Jujur aku juga kecewa sama kedua orang tuaku saat tahu hal ini. Tapi mereka nggak sepenuhnya salah, Na. Kamu tahu kan, kalau ayahmu meninggal karena kecelakaan?” Uki berucap dengan pandangan ke depan.

Aruna mengangguk, lalu Uki melanjutkan, “Mobil ayahku tergelincir karena mengerem  mendadak, menghindari tabrakan pada mobil di depannya. Tapi mobil ayahku malah oleng dan akhirnya bertabrakan dengan mobil ayahmu yang datang dari arah yang berlawanan.”

Uki menoleh dan melihat wajah Aruna yang menunduk, menyembunyikan airmatanya. Uki tersenyum sedih dan kembali melihat ke depan, “Kamu beruntung, Na. Kamu masih memiliki ibu yang bisa kamu peluk kapan saja. Setidaknya kamu dan adikmu masih dapat mengenal ayahmu,” Uki tersenyum miris, “Sedangkan aku? Aku bahkan belum mengucapkan terimakasih untuk ibu dan ayahku, Na. Mereka berdua meninggal di tempat. Dan adikku? Adikku bahkan belum tahu apa arti meninggal. Adikku masih terlalu kecil untuk itu semua.”

Aruna menoleh dan melihat Uki yang sedang menangis tanpa suara. Ia melihat mata Uki yang seakan-akan berbicara tentang kesedihannya selama ini. Hatinya seperti tercubit kala sadar jika ia lebih beruntung daripada Uki. Kemana saja dia selama ini? Sekaramg ia merasa kecil saat berhadapan dengan Uki. Ya, Uki benar. Dia bahkan sering mengeluh kepada Uki karena rindu dengan ayahnya. Sedangkan Uki? Bahkan Aruna yang notabene sahabatnya tak mengetahui tentang kenyataan itu.
“Maafin aku, Ki. Selama ini aku egois sama kamu," ujar Aruna.

KUMPULAN ONESHOOT [EVENT I]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang