Hutan Wanara tampak sangat sunyi di malam hari. Suara desiran angin malam sesekali diikuti suara gemerisik daun-daun yang tertiup, menambah suara pada nyanyian pelan jangkrik-jangkrik yang tersembunyi di rerumputan hijau. Sebuah tenda berdiri di halaman rumput yang tidak ditumbuhi pepohonan. Di dalamnya, dua orang wanita berbaring terdiam tanpa menimbulkan suara.
“Ribka, aku takut…,” kata perempuan yang berambut panjang. Dia beringsut pelan mendekati temannya yang juga sedang berbaring.
“Diamlah, Tania. Aku juga takut,” balas Ribka dengan bisikan pelan.
“Kenapa sih Pak Dharma menyuruh kita menginap di tengah hutan seperti ini sih?” keluh Tania kesal.
“Entah, Tania. Aku juga takut. Aku mau matahari cepat-cepat terbit.”
Kedua perempuan itu terdiam. Terdengar suara langkah kaki tak jauh dari tenda mereka. Gemerisik daun yang bergesekan, dan suara ranting kayu yang patah, semakin lama semakin mendekati tempat beristirahat kedua orang tersebut. Ribka dan Tania sama-sama terduduk, lalu saling berpegangan dalam ketakutan. Beberapa siluet tampak di dinding tenda mereka—Ribka tidak sempat menghitung, dia terlalu ketakutan untuk bisa berpikir jernih.
Sebuah pisau merobek dinding terpal tenda mereka. Tangan besar yang penuh luka menarik sobekan tersebut, membuat lubang besar pada tenda Ribka dan Tania.
“Wow, kita sedang beruntung, teman-teman. Kelihatannya kita tidak hanya mendapat benda berharga saja, kita juga bisa bersenang-senang malam ini!”
Pria itu memasukkan tangannya ke dalam tenda untuk meraih Tania yang berada di dekatnya. Tania ketakutan, namun dia tidak bisa bergerak untuk menjauhi sang penjahat yang bergerak ke arahnya.
Sesuatu berkelebat menuju kepala sang penjahat, dan membuatnya terjerembap masuk ke dalam tenda, membuat Ribka dan Tania menjerit keras. Tujuh orang penjahat lainnya langsung menatap ke sekeliling mereka, mencari tahu keberadaan orang yang sudah memanah rekan mereka. Ribka mengamati kepala penjahat pertama dengan seksama, tapi di kepala penjahat pertama, tidak ada anak panah yang menancap, bahkan tidak ada bekas luka fisik.
“Sebaiknya kalian menyerah dengan baik-baik, supaya tidak ada korban lain yang perlu terluka.” Terdengar sebuah suara di belakang penjahat yang berdiri di paling belakang, tapi tidak ada siapapun yang berdiri di sana, hanya ada pemandangan malam Hutan Wanara
“Masih tidak mengerti dengan kondisi kalian?” tanya suara itu lagi. Dua buah pedang tertodong ke arah penjahat paling belakang—satu pedang di dekat lehernya, satu pedang lainnya di perut sebelah kirinya. Sesosok remaja tampak muncul dari udara kosong, beberapa saat kemudian.
“Pedang mainanmu tidak akan menakuti kami, anak kecil,” kata penjahat ketiga sambil menatap pedang sang pemuda yang berbentuk aneh.
“Mundur!” seru sang pemuda, masih menodongkan kedua pedangnya ke arah penjahat kedua.
“I-i..ini pedang su-sungguhan…,” gemetar penjahat kedua. Dia mengangkat lehernya, berusaha sebisa mungkin menjauhkan pedang sang pemuda dari lehernya—pedang itu sudah menimbulkan segaris tipis luka yang berwarna merah di lehernya.
“Mengerti, kan? Sebaiknya kalian menyerah dengan baik-baik tanpa menimbulkan keributan.”
“Bangun!” seru Tania dengan keras, sambil membanjurkan air pada seorang pemuda yang sedang tertidur.
Pemuda tersebut langsung bangun dengan gelagapan, sambil membuka matanya, dia menyeka air dingin yang mengalir di wajahnya. “Tania, kau ngapain sih? Kenapa menyiramku?”
“Itu balasan karena kamu menjadikanku umpan semalam tadi, Ile!” seru Tania kesal.
“Kalau kalian mau berantem, jangan di sini dong! Mengganggu tidur saja!” seru pemuda lain yang tidur di samping pemuda pertama. Dia ikut kecipratan air dingin yang dibanjurkan Tania, sehingga dia juga ikut terbangun.
“Kau juga mengganggu tidur orang lain dengan teriakanmu, Wis,” kata pemuda ketiga, terbangun dengan terganggu.
“Sudahlah, Relios. Lagipula matahari sudah bersinar tinggi,” kata Ribka, yang baru memasuki ruang kamar tersebut. Matanya terbelalak melihat genangan air di yang membasahi kasur dan ruangan tersebut. “Tania! Apa yang kamu lakukan? Ibumu pasti akan sangat marah kalau mengetahui kamu membanjur kasurnya!”
Seperti perkataan Ribka, matahari sudah bersinar dengan terik, namun kelima pemuda yang berada di depannya masih tertidur dengan lelap beberapa menit yang lalu.
Ribka bertemu dengan kelima pemuda ini delapan hari yang lalu, saat mereka sedang melintasi jalan kecil di dekat Desa Wanara. Mereka menanyai tempat bersinggah yang bisa mereka gunakan untuk bermalam, dan Tania—yang saat itu bersama dengan Ribka—langsung menawari kelima petualang tersebut untuk bermalam di rumahnya.
Pada awalnya, Ribka tidak menganggap kelima pemuda tersebut sebagai petarung yang kuat.
Sissan Smilen, pemuda yang paling pendek diantara teman-temannya. Ribka tidak menganggapnya sebagai seorang pemedang yang sesungguhnya, karena Sissan membawa tiga buah pedang di sabuk di punggungnya. Sissan tidak pernah menggunakan pedang yang terletak di tengah—dia selalu menggunakan dua pedangnya yang lain—tapi kedua pedang tersebut memiliki bentuk yang aneh yang tidak mirip dengan pedang manapun yang pernah dilihat Ribka, sehingga pada awalnya, Ribka pun menganggap kedua pedang tersebut hanyalah hiasan saja. Namun, Sissan adalah seorang pemedang yang sangat ahli, Ribka tidak pernah melihat kemampuan pedang yang secepat dan selihai kemampuan pedang Sissan.
Ilexius Lukas Sera, pemuda yang memiliki tubuh tegap dan besar. Tubuhnya sekeras baju besi dan tameng yang selalu dia gunakan saat bertarung, dan tangannya pun kuat untuk mengayunkan palu-besar senjatanya dalam satu ayunan cepat. Meski tampang arogannya dan kata-katanya yang penuh sarkasme juga sinis, tapi dia memiliki selera humor yang mampu membuat Ribka tertawa.
Wisantine Andersan, pemuda tinggi yang berguna sebagai penyembuh spiritual di kelompok mereka. Tubuhnya paling tinggi di antara semua teman-temannya, tapi dia tidak setegap dan sebesar Ilexsius. Rambut ikalnya yang terpotong pendek seringkali membuat Ribka ingin tertawa saat melihatnya. Dia seringkali menggunakan jubah panjang berwarna putih dengan selendang berwarna biru muda—jubah dan selendang tersebut merupakan pemberian guru dan orangtuanya saat belajar menjadi penyembuh spiritual, dan memiliki kemampuan khusus yang dapat mengurangi efek sihir yang diarahkan padanya. Sihir penyembuhan yang dimiliki Wisantine memiliki elemen cahaya, yang dapat diperkuat dengan tongkat panjang berujung kristal yang dimilikinya. Tongkat tersebut juga merupakan pemberian guru dan orangtuanya sesudah dia selesai menjadi penyembuh spiritual, dan dapat meningkatkan kemampuan sihir elemen cahaya.
Arcriel Matthileus Wikana, pemuda yang warna kulitnya paling gelap di antara teman-temannya. Arcriel adalah seorang pemanah, tapi dia tidak membawa satu anak panahpun. Dia hanya membawa satu busur-panjang-besar yang berwarna emas. Pada awalnya, Ribka juga menganggap Arcriel sebagai penipu, karena meski mengaku sebagai pemanah, Arcriel tidak pernah membawa satu anak panah pun. Namun keraguan tersebut sirna saat Ribka mengetahui kemampuan Arcriel. Arcriel menguasai teknik Feil Kafta , teknik yang memungkinkan penggunanya menciptakan anak panah dari energi yang mereka miliki. Arcriel juga tampaknya memiliki kecenderungan terhadap elemen bayangan, sehingga setiap anak panah yang Arcriel ciptakan dengan energinya akan berwarna hitam. (Feil Kafta: panah energi (Meindeoveul))
Relios Ladian Yusanto, pemuda yang memiliki tubuh tidak setegap Ile, tapi sedikit lebih besar dibanding Arcriel, tidak setinggi Wisantine, tapi lebih tinggi dari Sissan. Relios juga seorang pemedang seperti Sissan, tapi pedang yang digunakan oleh Relios adalah pedang-besar. Pedangnya juga memiliki bentuk dan desain yang aneh, sehingga Ribka juga menganggap pedang tersebut sebagai hiasan. Tapi pedang Relios tersebut dapat memotong dengan baik, membuktikan pada Ribka kalau pikirannya salah.
Kelima orang itu masih muda, bahkan lebih muda 4 tahun darinya. Ribka pernah bertanya pada mereka, tahun ini mereka berumur 18 tahun, tapi baru Wisantine saja yang sudah mencapai umur 18 tahun—sementara keempat temannya yang lain baru akan mencapai umur 18 tahun dalam beberapa bulan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Verzear - Chaoskampf
FantasySaat keenam puteri diculik dan ditawan oleh sang naga, para ksatria dan petarung tangguh berusaha menyelamatkan para puteri, nihil. Namun saat lima petualang kembali ke kerajaan mereka, raja mempercayakan keselamatan puterinya pada lima pemuda ini...