Bagian Kedua

11 2 0
                                    

Mereka yang tidak mengenalnya sama sekali pasti akan terkagum-kagum saat melihatnya untuk pertama kali. Tampilannya benar-benar seperti kutu buku. Berkacamata, kancing sampai leher, serta ekspresi wajah yang mendukung.

Satu kalimat yang sering didengar saat pertama kali itu,

"Udah ganteng, kalem, sopan pula. Pasti dia pinter deh."

Tapi sekarang telah berubah,

"Ah muka doang kalem, tapi kelakuannya biadab."

Hujatan demi hujatan terus terlontarkan untuknya, sekeras apapun mereka mencoba menjatuhkannya dia tidak akan pernah peduli. Baginya, itu adalah hal terbodoh yang dilakukan oleh seorang manusia.

Dan beruntungnya dia tidak bodoh. Dia cukup pintar untuk tidak terpancing dengan omongan busuk seperti orang-orang disekitarnya.

Manusia tentu mempunyai batas kesabaran (meskipun kesabaran tidak ada batasnya) dan dia pun pernah merasa bahwa kesabarannya kali ini sudah mencapai batas maksimum. Dia tidak tahan lagi, amarahnya sudah diubun-ubun sampai-sampai dia ngamuk di kelas dan mengumpat dengan kata-kata kasar dan kotor. Semua orang menatapnya dengan penuh rasa dendam dan kebencian, berharap pemuda itu hilang ditelan bumi dan lenyap dari alam semesta ini.

Dan untuk kesekian kalinya, dia merasa sangat beruntung karena Tuhan masih menyayanginya. Dengan mempertemukan dia dengan seorang teman.

A Boy Who Lives With SunglassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang