Sore itu, hujan turun deras sekali sampai membuat matanya tidak sanggup melihat jalanan sekitar. Demi keselamatannya, dia menepikan kendaraan roda duanya itu dan meneduh di halte sampai paling tidak hujan reda.
Meskipun memang sudah terlanjur basah kuyup, tapi setidaknya dia tidak mencari penyakit karena nyatanya hujan sama sekali tidak berhenti, malah menjadi semakin besar. Kini rintikannya tak lagi jatuh bagai air mata, malah terasa seperti jatuhanya batuan kerikil.
Terasa cepat dan begitu menyakitkan jika diterobos terus menerus.
Tidak terasa waktu terus berjalan, jam yang tertera diponselnya kini menunjukan pukul empat sore hari dan sepertinya tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti.
Sekarang halte telah menjadi ramai kunjungan, beberapa orang terlihat begitu cemas karena hujan yang terus menurus mengguyur ibukota sepertinya membuat waktunya menjadi terhambat.
Dan yang lainnya terlihat begitu tenang sekali, merasakan hembusan angin dingin yang menerpa kulit tipisnya sambil mendengarkan alunan musik ditelinganya dengan menggunakan headset.
Seiring berjalannya waktu, ternyata dia baru menyadari disana ada seorang gadis yang memakai seragam sekolah putih biru dengan keadaan basah kuyup dan menggigil kedinginan. Lalu entah panggilan dari mana, dia menghampiri gadis itu yang sedang duduk di kursi halte. Mendekat kearahnya dan mulai bertanya-tanya. Awalnya gadis itu sedikit ketakutan, terang saja, karena pemuda aneh yang tidak dikenalinya ini mulai bertanya-tanya dengannya.
Memang agak sedikit mencurigakan.
Tapi akhirnya dia berhasil membujuk gadis ini, lalu lama kelamaan mereka jadi semakin asyik berbincang.
"Tapi kamu kok bisa sampe basah-basahan gini, kenapa gak nunggu di sekolah aja?"
Gadis itu mengembuskan napasnya dengan berat sambil mengayunkan kedua kakinya.
"Kalo nunggu di sekolah sampe hujan reda, yang ada aku mana bisa pulang ke rumah kak."
"Emangnya kamu gak dijemput?"
"Yeee, emangnya aku anak kecil apa."
"Terus kenapa gak naik ojek online aja, kamu pasti udah punya handphone kan?"
"Punya sih. Tapi sayang ah pake uangnya, kalo naik ojek pasti bisa sampe sepuluh ribu, sementara ongkos aku sehari aja cuma tujuh ribu. Mendingan naik angkot tau kak, cuma bayar tiga ribu, pulang pergi enam ribu. Sisa seribunya bisa buat bayar uang kas. Simple kan!"
"Terus jajan kamu gimana?"
"Aku sih gak terlalu suka jajan kak, mendingan bawa bekal dari rumah deh. Lagian kalo jajan mah ngabisin uang kak, belum tentu juga kenyang kan."
Dia diam terpaku saat mendengarkan cerita dari gadis yang baru saja dikenalnya beberapa menit yang lalu itu. Meskipun baru menginjak dibangku kelas 3 SMP tetapi, untuk kalangan gadis sepertinya pikirannya sudah cukup dewasa sampai bisa mengatur hal seperti itu yang bahkan dia sendiri mungkin tidak bisa seperti gadis yang ada di depannya ini.
Tak terasa, tenyata hujan sudah mulai mereda.
"Eh? Udah berhenti nih kak!"Gadis itu beranjak berdiri lalu merapihkan tas dan tentengannya. Bersiap-siap untuk menyetop angkot. Saat dia memanggil gadis itu, dia langsung melepaskan jaket yang sedari tadi dia pakai lalu meminta gadis itu untuk memakainya. Gadis itu bingung.
"Buat apa kak, kan udah gak hujan."
"Kamu pake aja, biar gak kedinginan. Kamu gak usah naik angkot, biar saya anter pulang aja."
"H-hah? Ih gak perlu kak nanti—"
"Udah ayo bareng saya aja. Itung-itung kamu bisa irit ongkos kan, biar bisa ngerasain jajanan di sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Boy Who Lives With Sunglasses
Ficción GeneralDia masih melihat dunia dengan kacamatanya.