Bab 15

129 1 0
                                    

Satu tahun kemudian...

"Gue kembali Indonesia" teriak gue di tengah-tengah keramaian Bandara Husein Sastranegara.

Gue nggak sadar saat berteriak saking bahagianya. Sontak semua orang mengalihkan pandangannya tepat ke arah gue. Gue hanya bisa terdiam dengan wajah yang tetap keren. Mau diapakan, wajah gue nggak akan pernah berubah. Tetap ganteng dan keren.

Nggak ada seorang pun yang tahu kepulangan gue hari ini. Karena baru pertama kali, gue sengaja merahasiakannya. Gue pengen lihat ekspresi wajah-wajah aneh yang akan semakin aneh (hahaha). Jadi nggak sabar gue.

Sembari nunggu taxi, otak gue kembali flashback dengan hidup gue selama di Austria kemarin. Hidup sebagai sebatang kara di negeri orang. Namun? Kalau gue piker-pikir lagi, nggak parah-parah amat. Guenya aja yang suka berlebihan (komentar Patrick untuk gue).

***

Cukup membuat gue mulai kesal, akhirnya taxi gue datang juga. Pikiran gue malah terbang ke sana kemari. Otak gue nggak tahu lagi mikirin apa. Gue rasa pikiran gue dibawa terbang oleh nobita dan doraemon yang lagi keliling Tokyo dengan baling-baling bamboo (hahaha).

Selang beberapa menit kemudian, mata gue tertutup. Dengan tidur pikiran gue kembali normal. Tubuh gue butuh sedikit penyesuaian. Cuaca di Austria sangat berbeda dengan Indonesia. Gue udah jadi ngerasa orang Austria tulen yang harus butuh penyesuaian. Wajah gue sepertinya makin ganteng setelah dari luar negeri. Wajah-wajah orang Eropa telah tertular diwajah gue.

Kurang lebih 20 menit gue terlelap dalam mimpi. Jika gue tidur selama 20 menit, harusnya sekarang gue udah dekat rumah. Tapi? Gue malah bingung sekarang ada di mana. Ini faktor pengaruh gue kelamaan tinggal di Austria, atau memang salah arah? Gue kembali berpikir. Lama. Dan...

"Pak, kita sekarang ada di mana sih?" tanya gue bingung.

"Aduh? Saya juga nggak tahu mas. Masnya mau kemana sih?" jawab supir taxi itu juga ikutan bingung.

Waduh! Baru pulang udah sial lagi gue. Takdir gue emang sial melulu kalau di Indonesia. Gue sekarang makin bingung. Terlebih dengan supir taxi ini. Kok ada yah supir taxi yang nggak tahu jalan? Ini supir apaan sih?

"Bapak kok nggak tahu jalan sih?" tanya gue lagi.

"Begini mas. Sebenarnya saya bukan supir taxi" jawab supir taxi itu gugup.

What? Bukan supir taxi? Mendengar itu pikiran gue langsung terbang membumbung tinggi menembus langit ke tujuh. Ya Allah, kali ini hamba sial model apa lagi? Rasanya semua macam, jenis, dan bentuk kesialan udah pernah gue alami.

"Tadi itu... begini mas..."

*kronologisnya*

Setengah jam yang lalu.

"Aduh? Alamat ini di mana yah?" tanya supir taxi gadungan itu pada dirinya sendiri.

Hari ini saya mau ke rumah sepupu yang ada di Bandung, tapi alamatnya saya tidak tahu pasti. Lama berjalan, saya bertemu dengan supir taxi. Dan akhirnya saya bertanya kepada supir taxi itu. Alhamdulillah, ternyata supir taxi itu tahu alamat yang saya maksud.

Saya masuk ke dalam taxi dan setelah beberapa menit akhirnya sampailah saya di tempat tujuan. Setelah itu, saya berterima kasih kepada supir taxinya dan memberikan uang. Kemudian, supir itu pamit kepada saya untuk segera pergi. Namun, tiba-tiba supir taxi itu mendadak sakit perut. Katanya perutnya mules. Akhirnya saya menawarkannya untuk masuk ke dalam rumah. Dan saya mempersilahkannya masuk ke dalam kamar mandi.

Supir taxi itu mungkin sakit perutnya sudah akut, jadi di kamar mandinya lama sekali. Saya gerah, lalu keluar di halaman rumah. Saya berjalan menuju taxi yang dibawa supir tadi.

Sebelum supir itu masuk ke kamar mandi dia sempat menitipkan kunci taxinya kepada saya. Setelah melihat-lihat ternyata taxinya bagus, akhirnya saya mencoba untuk membawa taxi itu di sekitar rumah.

Setelah lima menit mengendarai taxi itu, saya jadi ketagihan. Dan akhirnya sampailah saya tadi di Bandara Husein Sastranegara.

*selesai*

"Oh my God! Lalu kenapa bapak nggak bilang dari tadi kalau bapak itu bukan supir taxi? Jadi sekarang gimana?" Tanya gue mulai kesal.

"Tadinya saya mau bilang, tapi masnya tidur. Jadi saya terus-terus aja." jawab supir taxi gadungan itu agak takut.

"Ok,ok. Jadi di sini gue yang salah? Ya nggaklah. Bapak tuh yang seenak-enaknya aja nyolong taxi orang!" lanjut gue muai tak berperasaan.

"Saya nggak nyolong taxi kok mas. Saya cuma mau nyoba aja" jawabnya membela diri.

Oh no! Gue malah berdebat dengan supir taxi gadungan ini. Sekarang gue malah tambah jauh nyasarnya. Gue beneran nggak tahu ini orang ngebawa gue ke mana. Seumur-umur gue nggak pernah lewat jalan ini.

Gue patah semangat. Yang tadinya udah nggak sabaran, sekarang malah nyasar di negeri sendiri. Memalukan. Nggak tahu lagi harus gimana.

"Ya udah deh, sekarang bapak tukaran sama saya. Saya yang nyetir" perintah gue kepada supir gadungan itu.


Sekarang pengemudinya berpindah tangan ke gue. Meskipun gue nggak tahu sekarang ada di mana, gue berusaha untuk mengingat-ingat kembali. Siapa tahu aja gue pernah ke sini dan lupa karena kelamaan di negeri orang.

***

Satu jam berlalu...

Supir gadungan itu malah keasyikan molor di belakang. Gue malah makin nyasar. Gue sekarang makin patah arah. Gue terus melontarkan pertanyaan yang sama pada dri gue sendiri. Gue ada di mana sekarang? Gue harus bagaimana?

Lama. Dan semakin lama. Gue malah ngelantur nggak jelas. Ditambah perut yang sedang keroncongan, lengkap sudah kesialan gue hari ini.

"Mas, belum nyampe yah?" tanya supir gadungan itu tiba-tiba mengagetkan gue. Seketika itu pula gue langsung nginjek rem. Taxi berhenti dengan satu kali pengereman.

"Pak! Jangan ngagetin dong. Kalau nabrak orang gimana?" semprot gue nggak berperasaan ke bapak itu.

"Maaf toh mas" jawab bapak itu datar.

"Maaf, maaf. Emang kalau bapak minta maaf saya bisa langsung ada di rumah gitu? Nggak kan. Ini semua tuh salah bapak, tahu nggak? Harusnya yang berusaha nyari jalan pulang itu bapak, bukan saya. Tahu nggak sih?" lanjut gue sambil melirik supir gadungan itu di belakang.

Eh, ternyata bapak itu malah molor lagi. Omongan gue tadi nggak guna sama sekali. Bikin gue makin capek aja. 

Where Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang