Bab 26

123 2 0
                                    

Seminggu setelah pengakuan gue kepada seluruh penghuni rumah, hari ini gue akan berkunjung ke salah satu rumah sakit milik ibu. Rumah Sakit Munawwarah. Nama itu adalah pemberian dari almarhum nenek. Ibu dari ibu gue.

Nenek meninggal ketika umur gue masih 14 tahun. Waktu kecil, gue sangat dekat dengan nenek. Dan sampai pada akhirnya dia meninggal, gue yang paling sedih. Gue menangis dua hari dua malam. Gue menangis sejadi-jadinya, dan melawan semua orang yang menghalangi gue untuk terus di samping nenek. Dan secara kebetulan nenek meninggal di rumah sakit ini. Karena itu, setiap gue datang ke rumah sakit ini, bayang-bayang nenek selalu muncul di kepala gue. Dan setiap gue ke sini, tanpa sadar air mata gue menetes.

"Kamu keliling-keliling aja dulu. Ibu ada sedikit urusan" ujar ibu dan langsung pergi meninggalkan gue.

Gue berjalan di koridor rumah sakit. Melihat para pasien yang tengah dirawat. Semua suster dan dokter tampak sibuk dengan pekerjaannya.

Langkah kaki gue terhenti setelah berada di taman belakang rumah sakit.

"Kak Izar?" sapa seseorang dari belakang.

"Nira?" ujar gue setelah melihatnya.

"Kak Izar kok waktu itu nggak kembali? Padahal waktu itu aku udah bawa bukunya" tanya Nira penasaran.

"Ah? Nggak apalah, toh siapa pemiliknya juga nggak tahu" ujar gue mendadak galau.

"Siapa bilang? Aku tahu siapa pemilik buku itu. Orangnya ada di sini" ujar Nira tersenyum.

What? Mata gue membelalak seketika. Siapa dia? Jika pemilik buku itu ada di rumah sakit ini, berarti dia adalah seorang dokter? Atau suster? Oh no! Gue makin bingung.

"Di sini? Dia seorang dokter?" tanya gue berusaha menebak.

"Iya. Dia dokter baru di sini. Dia juga ponakannya almarhum Ustadz Umar kok. Namanya Dira. Lengkapnya Nurdira Cahyani" jelas Nira kembali tersenyum.

"Gue harus ketemu dengan orangnya langsung. Anterin gue" lanjut gue sudah tidak sabar.

"Yah...sayang banget. Sekarang dia nggak ada di sini. Lagi sibuk katanya" ucap Nira membuat gue patah semangat.

Giliran udah tahu namanya, profesinya, tempatnya, sekarang malah nggak bisa ketemu. Sial banget. Gue yang sial atau takdir gue memang seperti ini? Hati gue udah begitu jauh melayang saat tahu kalau orangnya kerja di rumah sakit ibu, tapi saat tahu kalau gue nggak bisa ketemu langsung dengan orangnya hati gue down.

Mungkin sudah takdirnya gue nggak akan bertemu langsung dengan? Dengan Dira. Yah, Kata Nira namanya Dira. Dokter Dira. Nurdira Cahyani. Begitu mendengar namanya, sosoknya langsung terbayang di kepala gue. Nggak tahu khayalan gue benar atau tidak, yang pasti dia orang yang hebat. Terbukti dari buku itu.

***

"Sekarang loe ke restoran biasa. Restoran yang sering jadi tempat nongkrong kita dulu"

Belum sempat mengunci Hp, gue langsung meluncur menuju restoran itu. Setelah berada di tengah jalan, gue baru ingat sesuatu hal. Gue lupa pamit pada ibu. Harusnya gue pamit sebelum pergi dari rumah sakit, takutnya ibu pusing nyari gue. Menyesal karena tidak meminta izin, gue mengirimi ibu pesan singkat. Jangan sampai kejadian sepuluh tahun yang lalu kembali terulang.

Selang beberapa menit, gue tiba di restoran. Begitu melihat gue dari dalam Bambang langsung melambaikan tangannya.

"Ada apa?" tanya gue setiba di dalam.

"Ini pak, orang yang saya maksud" ujar si Manyun kepada orang yang telah bersamanya sedari tadi.

"Maksud loe?" tanya gue bingung.

Ternyata orang yang bersama Bambang adalah seorang direktur dari perusahaan game yang cukup terkenal di Indonesia. Dan secara tidak langsung, kedatangan gue di sini menyatakan bahwa gue sekarang adalah seorang programmer game. Gue bingung dengan apa yang disampaikan si Manyun dengan pak direktur itu.

Dan ternyata, Bambang telah lancang memeriksa laptop gue dan mengambil semua data-data tentang program game yang telah gue buat dan diberikan kepada pak direktur itu.

Awalnya gue nggak terima dengan semua yang dilakukan Bambang tanpa sepengetahuan gue. Semua yang ada di dalam laptop adalah privasi gue. Termasuk semua program yang telah gue buat sendiri.

Namun gue berusaha mengambil sisi positifnya saja, meskipun sampai detik ini gue rasa masih mustahil. Ok, sekarang status terkutuk itu telah hilang dalam diri gue.

Dengan perubahan status, gue dengan senangnya mengemudi mobil sambil mendengar musik tanpa memperdulikan orang-orang. Tujuan gue sekarang adalah kembali ke rumah sakit. Sesuatu yang besar, harus gue sampaikan kepada ibu. Semoga kali ini, ibu tidak menentang kerjaan gue.

Kebiasaan yang paling sering gue lakukan adalah mendengar musik di saat perasaan gue sedang berada di langit ke tujuh. Seperti yang gue lakukan saat ini sambil berjalan di koridor rumah sakit mencari sosok orang yang paling cantik di hidup gue.

"Aduh!" reflex gue sesaat setelah seseorang menjitak kepala gue dari belakang.

"Budek amat loe" sahut sesorang yang menjitak kepala gue.

Ternyata Reina. Heran gue, Reina seperti hantu gentayangan yang mencari ruhnya. Di mana-mana selalu ada. Dan selalu muncul tiba-tiba.

Karena gue adalah tipe orang yang tidak bisa memendam perasaan, berita yang seharusnya gue sampaikan kepada ibu terlebih dahulu gue sampaikan kepada Reina. Begitu mendengarnya, Reina melongo sepersekian detik. Dan secara mengejutkan langsung mengekspresikannya dengan teriak segila-gilanya. Pandangan semua orang langsung tertuju kepada gue dan Reina. Kebiasaan yang selalu Reina lakukan. Saat merasa bahagia, dia selalu memukul orang. Nah! Sekarang gue adalah korbannya.

"Bergenti nggak loe!" ujar gue dengan suara lantang.

Reina tidak memperdulikan apa yang gue katakan. Dia tetap melanjutkan aktivitas gilanya. Gue berusaha menghindar dengan berjalan untuk kembali mencari ibu.

Beberapa koridor telah gue lalui dengan masih menghindari Reina yang sedari tadi masih gila. Dan langkah gue terhenti setelah berpapasan dengan seorang dokter. Sesaat mata gue melihat nama dokter itu.

"Dr. Dira?" ujar gue berusaha menebak apakah dia benar dokter Dira atau bukan.

Langkah Reina juga terhenti tepat di belakang gue dengan ekspresi penuh dengan tanda tanya. Gue menoleh ke belakang, dan mendapati dokter itu terhenti langkahnya.

"Kamu manggil saya?" tanya dokter itu dan melangkahkan kakinya mendekati gue dengan Reina.

Wow! Exciting! Ternyata dia benar-benar dokter Dira. Orang yang selama ini gue cari. Dan akhirnya. Hari ini adalah hari Izar. Gue bahagia. Sumpah! Terima kasih Tuhan.

***

"Jadi kamu kenal baik dengan almarhum" ujar Dr. Dira setelah mendengar penjelasan panjang gue.

"Iya. Almarhum secara tidak langsung mengubah pola pikir gue" ujar gue kembali menjelaskan.

"Almarhum emang orang yang baik. Baik sekali. O yah, buku ini kenapa bisa ada sama kamu?" tanyanya penasaran.

"Buku itu dari almarhum. Sebelum beliau meninggal buku ini dikirim ke rumah gue, tapi lewat orang lain. Tapi bukunya baru gue baca setelah pulang dari Austria" ujar gue kembali.

"Buku itu sih cuma perjalanan hidup orang-orang yang sering cerita denganku. Dari semua itulah yang membuat aku menuangkannya dalam sebuah cerita yang bisa memotivasi orang-orang. Tapi isinya sih tidak sebagus dengan buku orang lain " lanjutnya sambil tersenyum.

"Hebat dong. Gue aja paling malas yang namanya baca buku, apalagi kalau harus buat buku. Bisa error otak gue" lanjut gue basa-basi.

Dr. Dira tidak merespon dengan kata-kata. Tapi hanya tertawa kecil mendengar basa-basi gue yang garing tadi.

Where Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang