1 s t W e e k

2.7K 286 86
                                    

[ ―Sebuah Mimpi ]

Hidupku tidak bahagia. Tuhan telah mengambil kebahagiaanku sejak Dia mengambil ayah dan ibu dari sisiku untuk selamanya. Aku masih 7 tahun saat itu. Masih terlalu kecil tubuhku untuk menopang beban besar sendirian sebagai anak tunggal keluarga Lee, pewaris satu-satunya harta kekayaan peninggalan kedua orang tuaku. Karena semua harta itu, paman dan bibiku berebut untuk mengambil hak asuh atas diriku. Bukan karena mereka benar-benar ingin mengurusku, tapi karena mereka serakah akan hakku.

“Kau tunggu di sini, ya, Jieun? Kami akan segera kembali untuk menjemputmu setelah mengambil uang dari bank. Nanti, Paman dan Bibi akan mengajakmu jalan-jalan ke manapun kau mau.” Begitulah ucapan mereka yang berusaha membodoh-bodohi anak kecil berumur 7 tahun. Dan, mereka berhasil.

Mereka meninggalkanku di depan sebuah panti asuhan. Karena mereka menyuruhku untuk menunggu, maka aku pun menurut. Ayah dan ibuku tidak mendidikku untuk menjadi anak yang tidak penurut. Aku menunggu mereka ―paman dan bibiku― yang nyatanya tak pernah kembali lagi untuk mencari seorang anak bernama Lee Jieun yang mereka tinggalkan saat umur 7 tahun di depan panti asuhan.

Menjadi anak asuh di panti asuhan setidaknya membuatku tidak mati kelaparan di jalanan. Aku menemukan rumah di mana anak-anak seumuranku memiliki nasib yang kurang lebih sama. Tidak punya orang tua, ditelantarkan dan mendapat penyiksaan dari orang tua mereka, bahkan di antara mereka ada yang sengaja di buang oleh orang tua kandungnya sejak lahir.

Hyeran adalah teman pertamaku di panti. Dia adalah anak panti pertama yang menyambut kedatanganku dengan ramah dan menjadikanku temannya tepat di hari pertama aku bergabung menjadi anak asuh. Dialah anak yang termasuk golongan terakhir yang tadi kusebutkan.

“Seandainya mereka datang untuk menemuiku, aku tidak akan mau bertemu mereka. Bagiku, Jieun, orang tuaku sudah mati sejak mereka memutuskan untuk membuangku di tong sampah.” Itu pendapat Hyeran saat aku iseng bertanya tentang latar belakangnya. Meski aku lebih tua 3 tahun darinya, sejak awal aku yang memanggilnya ‘kakak’ karena selain perawakannya yang lebih bongsor, dia sudah menghuni panti asuhan ini lebih dulu daripada aku.

Sometimes I felt so tired, I felt like I was going to fall

Such difficult times...

Sudah 3 tahun aku tinggal di panti ini. Meski aku berteman dengan Hyeran, aku belum sepenuhnya bisa menyesuaikan diriku dengan anak-anak panti yang lain. Seringkali aku mendapati mulutku terkatup rapat tak mengeluarkan sepatah kata pun saat sarapan, makan siang, makan malam, di saat yang lain justru memanfaatkan momen-momen tersebut untuk berbincang hangat dan saling bercanda tawa. Karena sikapku yang seperti itulah, banyak anak panti yang tidak menyukaiku. Banyak diantara mereka yang sering menggunjing hal-hal buruk tentangku saat aku tak ada. Untunglah, aku memiliki Hyeran.

“Hyeran, apa kau bisa melukis?”

Hyeran langsung menggeleng saat anak perempuan yang lebih tua darinya bertanya padanya.

“Aku tidak bisa. Yang bisa melukis itu...” Hyeran terlihat berpikir, sebelum akhirnya tatapan matanya tertuju ke arahku. “Jieun! Jieun jago sekali melukis, Kak!”

“Aku tidak jago kok! A-aku hanya sekedar bisa saja.” ucapku, merendah.

“Memangnya kenapa, Kak?” tanya Hyeran. Aku juga menunggu jawabannya. Berharap aku bisa sedikit mengakrabkan diri dengan membantu kakak itu sebisaku. Namun bukan jawaban yang kudapat, hanya senyuman meremehkan darinya seakan-akan aku adalah makhluk transparan yang dapat ia abaikan.

Pernah suatu hari, ada seorang anak panti yang baru saja diadopsi. Aku dapat melihat dengan jelas bagaimana irinya mereka pada anak itu. Hyeran termasuk, bahkan ia terlihat lebih semangat untuk mengompori yang lainnya. Aku masih tetap pada sikapku yang kaku, dan hanya menyaksikan mereka membuli anak itu habis-habisan tanpa berani ikut campur.

SUNDAY IN SEPTEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang