[―Pilihan Menyakitkan]
“Berikan saja bunga itu pada Hyeran, seperti yang pernah kau lakukan dulu. Hyeran akan lebih menyukainya.” Ucapku seraya mengukir sebuah senyuman palsu sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Baekhyun dan Sowon.Aku masih ingat sekali. Setelah Hyeran menerima bunga itu dari Baekhyun, ia langsung meletakkannya dalam sebuah vas kaca di kamar kami. Mungkin dia sengaja melakukan itu, agar aku bisa menyadari kalau kami menyukai lelaki yang sama. Baekhyun adalah sumber kekuatanku, dan Hyeran tahu lelaki itu suatu saat bisa menjadi titik terlemah untuk menghancurkanku.
Hyeran mungkin punya seribu muka. Di depanku dia bisa menjadi sangat baik, dan di belakangku dia bisa bersikap jahat melebihi siapapun. Tapi dia bukanlah tipikal seseorang yang mau mengotori tangannya sendiri untuk menyakiti orang lain. Dengan mulut jahatnya, dia bahkan bisa menyiksaku tanpa perlu merasa berdosa.
“Ah! Jadi ini gadis yang mencoba menggoda Baekhyun-ku?” Aku tidak tahu bahwasannya Taeyeon juga menyimpan perasaan spesial untuk Baekhyun seperti aku. Hingga di suatu malam, dengan membawa bukti sebuah foto aku dan Baekhyun yang sedang berduaan di taman belakang putri, Taeyeon berani menjambak kasar rambutku dan menyeretku ke kamar mandi di mana ibu kepala panti tidak mungkin mendengar jeritan tangisanku.
Tidak ada yang tahu janji pertemuanku dengan Baekhyun selain Hyeran. Lantas bolehkah aku menyimpulkan kalau Hyeran telah sengaja memperlihatkan foto yang diambilnya secara diam-diam pada Taeyeon?
Setelah mendapat beberapa tamparan keras di pipi, Taeyeon juga menyiramkan air dingin ke sekujur tubuhku hingga basah kuyup. Katanya, agar aku bisa tahu diri kalau gadis kotor sepertiku sama sekali tak pantas menyukai Baekhyun. Keesokan harinya, aku tidak masuk sekolah karena mengalami demam tinggi.
“Jieun, kau masih sakit?” tanya Hyeran yang baru pulang dari sekolahnya. Dia melihat ke arahku yang masih terbaring di atas kasur dengan kompresan di dahiku, sekilas.
Aku memang mendengarnya, tapi rasanya mulutku susah untuk sekedar menjawab ‘ya’.
“Kau tahu tidak? Tadi aku pulang bersama Kak Baekhyun, lho! Dia memboncengku dengan sepedanya!” bahkan di saat aku terbaring sakit karena ulahnya, dia bisa-bisanya menceritakan hal itu padaku.
Aku tersenyum kecut. Mengingat kembali kejadian yang pernah terjadi di tempat ini membuatku sadar akan satu hal; aku lebih sering menitikkan airmata ketimbang tersenyum bahagia.
Apa kalian percaya takdir? Aku bertanya bukan karena aku tidak percaya, hanya saja aku tidak yakin takdir orang lain akan sepahit takdirku. Aku percaya Tuhan tidak pernah tidur, hanya saja, Tuhan mungkin lupa untuk mendengar doa-doaku. Aku ingin hidup bahagia, itu saja kok.
Tuhan memang pemilik skenario terkuat dalam hidup seseorang. Tapi apa boleh aku meminta pada-Nya skenario yang indah tanpa kesedihan? Aku tidak ingin berperan sebagai sosok protagonis yang selalu tersakiti. Aku bukan puteri kerajaan dalam negeri dongeng yang setiap kisahnya akan berakhir bahagia meski harus tersakiti lebih dulu. Aku hanya… seorang Lee Jieun, yang berharap sebuah kebahagiaan.
Katakanlah, Tuhan mengabulkan doaku. Tapi apa boleh aku bertanya pada-Nya? Kenapa Dia merenggut kebahagiaan itu kembali? Apa belum cukup airmataku selama ini untuk membeli takdir bahagia?
[Minggu, 19 September 2010]
Panti asuhan kami mengadakan liburan ke kebun binatang, meskipun terdengarnya kekanak-kanakan bagi anak SMA ke atas, tapi tampaknya itu tidak berlaku bagi kami. Anak-anak panti kami kan tidak hanya aku, Baekhyun, dan Kak Taeyeon, masih banyak juga anak-anak asuhan yang kecil-kecil, berumur jauh di bawah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNDAY IN SEPTEMBER
FanfictionSegala hal berbau kenangan dan harapan, itu sudah tidak penting lagi. Hidup di dalam angan-angan yang indah hanya akan membuat kita terluka pada kenyataannya. Namaku masih Lee Jieun. Jika suatu saat nanti kau berniat mencariku, kumohon jangan datang...