Hujan Hilir Malam

470 45 7
                                    

"Tidak, saya tidak menerima cerita yang tidak menjual seperti ini!"

"T-tetapi, pak-"

"Jawaban saya adalah mutlak! Sekarang, silakan keluar dari gedung ini!"

Pria itu hanya bisa menghela napasnya sembari angkat kaki dari kantor minimalis yang merupakan milik H.I Entertainment, dengan berat hati, tentunya. Linglung ia berjalan di atas aspal, tanpa arah. Di tengah-tengah hingar bingar kota Seoul ia merana, merasa hampa nan putus asa.

"Hei! Liat-liat arah dong!"

Apa dia sebegitu sedihnya sampai ia tidak menyadari lautan manusia berada di depannya kini?

"M-maaf..."

Ia kecewa. Marah. Ingin sekali ia berteriak, meluapkan semuanya dari dalam hati dan akhirnya melupakannya. Apa ia ingin meluapkan semua emosinya? Iya. Apakah ia punya keberanian untuk melakukannya? Tidak.

.

"Min Yoongi, umur- hic! 25 tahun, profesi pengangguran tampan, cita-cita? Sudah- hic! hangus." Gumaman itu melontar dengan keras dari sang pemuda, terpotong dengan cegukan yang keluar begitu saja dari mulut berbau alkohol.

Yoongi menghela napas, masih termenung, memikirkan dirinya yang berkali-kali 'tergelincir' dan jatuh pada bokongnya pada kubangan bernama 'kegagalan' itu. Penasaran, kutukan apa yang telah dijatuhkan padanya sampai ia bernasib naas seperti ini? Ia merasa tidak berhak menerima kutukan ini.

Ia terlalu larut dalam pikirannya sampai tak menyadari jatuhnya air langit terkontaminasi berbagai bahan kimia pada tanah ibukota Korea Selatan ini.

Hujan turun mengiringi air mata Yoongi, membuat cairan bening yang mengaliri pipi pemuda bermata kecil itu tak terlihat.

"Oh Tuhan, dewa - dewi, siapapun itu yang mendengar doaku, kenapa engkau tempatkan aku di posisi ini? Aku tidak berhak sama sekali menerima entah itu memang nasib atau takdirku!" Ia meraung, terus meraung-raung seperti orang sinting di tengah hujan ini. Sama sekali tidak peduli dengan tatapan yang seperti mengatakan 'Apa kau gila?'.

Sudah hilir malam. Ia tak tahu harus apa sekarang, menghadapi yang di rumah dengan senyum sumringah sembari mengatakan yang sebenarnya atau diam dan tidur di kandang milik anjingnya. Helaan napasnya terus keluar.

"Aku bahkan tidak tahu kalau ia masih tetap menerimaku atau tidak... sial, aku akan menjadi gelandangan setelah ini..." Tolong siapapun yang mendengar doanya, jadikanlah kepulangan Yoongi pada jam dua belas ke rumah bukan disambut oleh amarah.

.

"Tok! Tok!" tangan Yoongi mengepal dan berusaha mengetok pintu rumahnya, sembari merapal mantra agar sang 'ibu negara' tidak marah.

"Tunggu sebentar!"

Cklek!

Terbukalah pintu tersebut, terlihat sosok lelaki cukup bongsor, berbahu lebar sedang menggendong seorang anak. 'Ya Tuhan, ini dia...'

"Kenapa kau pulang selarut ini, hah? Kau tak tahu Haneul sangat merindukanmu- oh, ya ampun! Lihatlah dirimu, basah kuyup!" cerocos sang lelaki bongsor tersebut sambil menganalisis tubuh seseorang di hadapannya.

"... a-aku..."

"Apa?"

Hening.

"A-aku gagal lagi, Seokjin..." Air mata Yoongi mulai keluar dengan deras, menahannya semakin membuat hatinya sakit dan tidak enak.

"A-aku gagal mendapat pekerjaan, ya ampun, aku sungguh seseorang yang tidak berguna, sama seperti yang kau bilang... Kerjaku hanya duduk di depan televisi, meminum kopi dan membentak. Aku tidak berhak menerima nasibku ini, tapi aku bisa apa...? Aku pasrah, hyung, aku pasrah..."

Hening, untuk kedua kalinya.

Seokjin, si pemuda bongsor menaruh gadis mungilnya di sofa dan mulai merangkul Yoongi dengan erat.

"Ya ampun, jadi ini alasan kau jadi sering pulang malam dengan bau alkohol bertengger di napasmu? Karena pekerjaan membuat skenario sialan itu?" Yoongi pun mengangguk sebagai jawabannya.

"Kau takut jika aku marah karena kau tidak mendapat pekerjaan?" Angguk.

"Kau takut rumah tangga kita hancur hanya karena kau tidak dapat pekerjaan?" Angguk.

"Astaga Yoongi, tak perlu kau berpikir sampai ke sana, aku tidak mungkin memarahimu hanya karena hal seperti itu. Yang penting, kita sekarang sudah bahagia dengan rumah kecil kita, bakery kecil kita, Haneul mungil dan... yah, kita sendiri." ujar Seokjin sambil menyeka air mata Yoongi dengan lembut, tak lupa sorotan penuh kasih sayang yang memancar dari kedua netranya.

"Sudah menangisnya, ya? Akan kusiapkan air hangat untukmu mandi, dan tolong taruh Haneul di keranjangnya!"

"Tunggu, hyung!" Yoongi menahan tangan Seokjin dengan tiba-tiba, membuat yang ditahan dilanda kebingungan.

"Aish, apa lagi?"

"Aku berterima kasih hyung... atas semuanya."

Senyum seindah malaikat ditarik oleh Seokjin. "Tentu, sama - sama."

Kali ini Yoongi sadar, ini memang direncanakan oleh entah sang Tuhan maupun dewa - dewi di atas sana. Awal harinya memang pahit, tapi akhirnya pun manis semanis madu.

A/N:
maaf update lama, writer block- ini aja aku cicil dari bulan kemarin skkskaskakja wow bunuh aku.

sekali lagi maaf ya udah lambat updatenya, update ke depan akan kuusahakan lagi untuk lebih cepat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Selamat Malam 》sj.k • yg.m《Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang