Part 17.
×××
Jelna'POV..Kedua tanganku bergetar mendengar tuturan kata yang keluar dari bibir ibu mertuaku.
Jongin tak henti-hentinya menahan ibunya itu agar tak terus memojokiku dengan kata-kata yang mampu membuat hatiku terluka.
Setiap ibu atau ayah jongin berkunjung kesini, topik yang mereka bahas selalu sama.
Yaitu anak.
Aku belum siap, jujur. Aku masih terlalu buruk untuk disebut sebagai seorang ibu.
Mengurus diriku sendiri saja rasanya sangat sulit.
Bukan aku egois, bukan aku munafik.
Hanya saja aku ingin dimengerti untuk saat ini. Belum siap bukan berarti tidak ingin.
Aku ingin, sangat ingin. Aku hanya takut gagal dalam menjaganya nanti.
Aku takut gagal menjadi ibu dan lupa bagaimana caranya membagi kasih sayang antara suami serta anakku.
Tolong mengerti posisiku saat ini.
"Mau sampai kapan kamu bilang bahwa kamu belum siap memiliki anak. Pernikahan kalian sudah hampir dua tahun dan alasanmu masih sama" ibu mertuaku terus berkata seperti itu.
Sedetik kemudian airmataku luruh begitu saja hingga membentuk muara samudra disana.
Dapat kulihat sirat kemarahan yang terpancar pada kedua mata jongin. Ayah mertuaku hanya diam dengan sesekali ikut menimbrung obrolan ini.
"Bu cukup! Biarlah jelna memilih keputusannya sendiri. Jangan terus memaksanya seperti itu bu, itu akan membuatnya semakin merasa tertekan baik fisiknya ataupun batinnya" jongin bangkit dari tempatnya dan duduk disampingku.
Bahuku bergetar hebat, sungguh. Hatiku sakit, sangat sakit mendengar ucapannya yang semakin menusuk.
Aku tak tahan dengan keadaan ini.
"Hiks. Bu, maafin jelna hiks. Jelna tau jelna belum bisa ngasih ibu cucu hiks. Tapi jelna mohon kasih jelna waktu buat memikirkan semuanya hiks. Jelna gamau memberikan beban apapun untuk anak jelna nantinya"
Setelah memberikan penjelasan pada
Ibu mertuaku, aku langsung berlari menuju lantai atas untuk merenungkan semuanya.×××
Setelah kepergian orangtuaku dari rumahku, aku langsung menyusul jelna yang sejak tadi tidak menunjukan batang hidungnya didepanku.
Aku tau dia tertekan karena terus didesak untuk memberikan ibuku cucu.
Tapi biarlah jelna memutuskan segalanya, aku tak suka melihat sifat ibuku yang sekarang. Ibuku yang dulu sangat lembut pada jelna, sangat sayang pada jelna dan menyerahkan segalanya pada jelna.
Memang benar, seiring berjalannya waktu kini semua telah berbeda. Semua telah hilang ditelan waktu.
Saat tanganku hendak mengetuk pintu dihadapanku, aku mendengar suara teriakan jelna yang sangat memilukan.
Suaranya terdengar sangat menyedihkan. Maafkan aku jelna.
Tubuhku luruh bertepatan dengan isakan jelna yang semakin terdengar jelas.
Andai semua bisa terulang, aku tak akan membiarkan jelna melewati semuanya seorang diri. Aku akan menggantikan posisinya disaat hari-hari tersulitnya.
Sejak dulu aku selalu berjanji pada tuhan untuk terus menjaga airmatanya, tapi kali ini aku yang mengingkarinya.
Dulu, aku selalu mengalah pada pria lain yang selalu berusaha mencari perhatian jelna. Dulu aku selalu berusaha menerima kenyataan pahit bahwa jelna sangat susah untuk memiliki anak mengingat rahimnya yang belum begitu kuat.
Dan dulu aku selalu bersusah payah membangkitkan semangat jelna yang sempat pupus semenjak kedua orangtuanya meninggal.
Apa sekarang aku harus mengalami itu lagi?
Aku tak siap, aku tak ingin melihatnya rapuh. Aku tak ingin melihatnya menjadi wanita lemah dihadapanku lagi.
Jelna memiliki impian untuk menjadi seseorang yang bisa mengantisipasi bagi orang lain, menjadi panutan serta contoh yang baik untuk orang-orang disekitarnya.
Cukup lama jelna mengubur kenyataan pahit tentang dirinya yang sulit memiliki seorang anak.
Tapi kini, itu semua bangkit lagi dan terus diungkit dengan alasan yang sama.
Rasanya sangat sulit menghentikan rintik dengan rintik airmata.
Semua meluap begitu saja melalui bola mata yang tak henti mengeluarkan bendungan airmata.
Beribu-ribu tetesan airmata tak akan berguna dan semua akan tetap sama.
Kenapa tuhan tidak pernah memberikan jelna kebahagiaan walau setitikpun. Kenapa hanya jelna yang merasakan kejamnya dunia. Merasakan perihnya dicampakan dan dibuang begitu saja.
Jelna memang gadis yang mandiri, tapi itu tidak akan berguna jika kedua orangtuanya telah meninggalkannya dalam waktu yang lama, bahkan tidak akan pernah kembali lagi.
Sungguh ini tidak adil untuknya.
Dengan sekuat tenaga kuangkat tubuhku untuk terus memberinya dukungan.
Dengan gerakan pelan kuputar knop pintu kamar kami dan tak lupa senyum tipis yang kuciptakan.
"Sayang" ucapku padanya yang sedang asik memandang keluar jendela.
Setelah aku menutup pintu kembali, kudekatkan langkahku padanya.
Wajah pucatnya tak pernah lepas dari pandanganku.
"Jong" tubuhnya langsung berhambur pada pelukanku.
Tak perduli jika bajuku saat ini sudah sangat basah dengan airmatanya.
"Maafin ibu ya jel. Ibu tidak bermaksud seperti itu, ibu hanya tidak sabar ingin menimang cucu. Jangan terlalu difikirkan"
"Aku merasa menjadi wanita paling bodoh didunia ini. Wanita yang hanya bisa menunggu sebuah kenyataan yang sampai kapanpun akan tetap berada didunia mimpi"
Dan kamu tau, akupun merasa menjadi lelaki bodoh yang hanya bisa menunggu kapan waktu itu akan tiba. Waktu dimana kita akan bahagia dengan pilihan tuhan..
×××
Pendek yaa.
Gapapa yang penting update iya ga.
Votenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exo Marriage Life.
Randomaku berusaha untuk tetap mempertahankan apa yang sudah aku miliki. membuat semua orang bangga atas apa yang aku perbuat dan itu akan sangat sulit untuk dilupakan. dulu, aku hanya ingin mengenalnya walau aku sadar bahwa aku tak dapat memilikinya. nam...