Arumi

69 2 5
                                    


Aradita Ghea Rahardjo.

Nama yang tercantum dalam akta kelahiranku. Yang mereka buat tanpa persetujuanku. Yang mereka lekatkan padaku tanpa peduli pendapatku. Yang mereka patrikan sebagai bagian legal dari diriku.

Dan Ara, begitu cara mereka memanggilku. Panggilan yang terdengar janggal ditelingaku. Panggilan yang rasanya tak ingin aku hiraukan. Panggilan yang jelas terasa bukan diriku. Panggilan yang mereka paksakan menjadi identitasku.

Semua ini berawal dari sepasang suami istri yang tiba-tiba datang menjemputku.  Aku yang pada saat itu masih bernama Seruni. Nama yang ibu panti berikan padaku ketika untuk kali pertama beliau menemukanku di tepi jalan dekat jembatan samping pantiku, Panti Asuhan Harapan Kita.

Dan di sini sekarang aku berada, di lingkungan asing yang membuatku merasa semakin terasing. Lingkungan di mana tak satu orang pun ku kenal. Lingkungan yang bahkan tidak pernah terbayang akan aku masuki sebelumnya. Lingkungan yang jauh dari rengekan Syifa, Farel dan Luki ketika berebut boneka beruang yang tangan kanannya sudah hilang itu. Atau teriakan Bara ketika bertengkar dengan Rendi yang seumuran dengannya. Satu lagi yang pasti,  lingkungan di mana tak akan pernah lagi ku dengar lantunan suara merdu Bu Wedari, ibu panti terbaikku, yang mendendangkan lagu Ratih Purwasih berjudul Sepanjang Jalan Kenangan, sambil memasak untuk kami. Lingkungan yang membuatku terpaksa menjadikan rumahku, pantiku, ibu panti, adik-adikku dan tawa renyah mereka sebagai bagian dari kenangan. Yang kemudian tanpa kusadari membuatku menitihkan air mata kesedihan dan kesakitan.

Bukannya aku tak bahagia atas pertemuanku dengan orang tua kandungku.  Hanya saja rumah mewah ini, ruangan 5x6 meter persegi yang sekarang jadi kamarku ini. Ruang keluarga dengan dua buah sofa abu pucat yang disusun letter-L, yang di depannya terdapat televisi LED berukuran 90 inch dilengkapi subwoofer elegan di samping kanan kirinya. Melekat sempurna di dinding dingin berwarna putih tulang, sedingin atmosfir yang tercipta di ruangan ini.  Besar dan hampa. Sunyi dan sepi. Senada di semua bagian rumah ini. Adalah hal yang membuat aku terpuruk dalam kesendirianku. Dan aku benci itu.

Kecuali satu tempat, di taman belakang rumah. Tempat dimana sebagian besar waktu ku di rumah itu kuhabiskan. Bercengkrama dengan desisan daun bambu kuning yang berjejer rapi di tepi kolam. Desau dedaunan yang tersibak angin. Serta cuitan bersambut dari kenari yang mampir hinggap di salah satu pohon samping tamanku.

Sepi dan sendiri seakan sudah menjadi bagian baru dari hidupku. Sementara kedua orang tua kandungku, baru akan terlihat di rumah ketika matahari sudah beranjak dari atap bumi untuk kemudian digantikan oleh bulan. Begitu berulang sejak kali pertama ku injakkan kakiku di istana dingin ini.

Selebihnya, hari ku lalui di SMA Tarakanita. Sekolah menengah atas swasta terkenal di kotaku. Nyaris semua siswa di sini adalah siswa dari golongan atas. Tak ada satupun siswa yang pulang pergi dengan angkot atau kendaraan umum. Rata-rata diantar jemput dengan supir pribadi atau mengendarai kendaraan pribadi sendiri. Mobil dan motor mewah keluaran terbaru sudah lumrah berjajar memenuhi tempat parkir khusus siswa di sekolah ini.

Teman? Tak satu pun ku miliki. Bahkan sekedar teman semeja saja aku tak punya. Bagiku tak ada secuil pun materi yang bisa ku bicarakan dengan mereka. Mereka orang yang dari lahir sudah kaya,  sedang aku hanya kebetulan saja ditemukan kembali oleh orang tuaku yang ternyata dari golongan mereka. Terlepas dari itu, aku pun masih merasa sebagai Seruni anak yang ditemukan di pinggir jalan 16 tahun silam. Seruni yang hanya bisa tertawa ketika berada di dekat adik-adik pantinya. Yang sepertinya juga terbaca oleh mereka. Tak satupun dari mereka sudi berdekatan denganku. Yang kulihat hanya lirikan dengan cibiran semacam mantra yang tak kupaham apa isinya, hanya saja terlihat sekali mimik jijik mereka dengan keberadaanku  di sana.

Namun, ada yang berbeda dengan hari ini.

Ketika ada seseorang yang baru saja dipersilakan masuk ke dalam kelas kami oleh wali kelas kami. Perempuan berkulit putih mulus, tinggi dan ramping. Rambut ikal sepunggung yang dibiarkannya terurai, poni tebal terlempar kesisi kiri dengan ujung terselip di belakang telinganya, menutup sebagian keningnya. Dileher tersemat kalung tali sederhana berwarna coklat dengan gantungan bintang perak. Tangan kirinya terlihat mengenakan jam kulit berwarna pink dan gelang tali hitam berinisial huruf C, O dan M.

Random ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang