Namaku Jaya, namun seringnya mereka memanggilku GEMBEL. Sepadan dengan kain lusuh yang membalut badanku, kulit hitam kelam dan kering kusam, kuku-kukuku yang nyaris tak pernah berwarna putih bersih, serta rambut ikal coklat tak terawat, yang semakin hari semakin coklat saja. Bukan karena sengaja kulapisi rambut ini dengan pewarna, bukan. Tapi karena terik matahari di negara ini yang memang beriklim tropis. Yang semakin menjadi karena efek pemanasan global, begitu yang sempat kubaca dari sobekan koran yang kupungut dari kolong halte kemarin sore.
Persimpangan jalan ini adalah rumahku, beralaskan koran bekas begitu caraku tidur. Jika sedang beruntung, kardus yang tak dirampas Mas Tarjo bisa beralih fungsi menjadi kasur terhangat yang pernah ku punya. Emperan toko, halte bus dan teras musholla di ujung gang itu layaknya istana bagiku. Melindungiku dari hujaman titik hujan, meski tempias airnya masih saja mesra menjilat kaki-kakiku.
Orang tuaku?
Jangan kau tanyakan dimana orang tuaku. Karena yang aku tau, aku sudah mengekor Mas Tarjo sedari kecil. Hingga sekarang, tinggiku nyaris setinggi Mas Tarjo. Umur? Kata Mas Tarjo aku seumuran Pendi, yang jika bersekolah seharusnya sudah kelas 3 SMP.
Mas Tarjo.
Entah di mana dia menemukanku, entah darimana dia mengenalku. Tak pernah ku dapat jawab pasti darinya. Meski aku tau, hakku untuk mengetahui latar belakang tentang diriku. Tapi, tidak untuk saat ini. Aku belum cukup kuat dan mampu untuk menangkis amarah Mas Tarjo.
Seperti hari ini dan beberapa hari terakhir ini. Aku lebih memilih tidur di kolong langit daripada tidur di rumah berdinding triplek yang di beberapa bagian ditutup kardus dan karung beras bekas, rumah milik Mas Tarjo. Meski di sana terasa lebih layak ditinggali manusia ketimbang di jalanan ini. Setidaknya di sini lebih aman bagiku. Tak perlu ku rasakan nyeri akibat hantaman kepal tangan Mas Tarjo hanya karena setoranku hari itu masih kurang menurutnya. Sundutan bara rokoknya yang banyak bersarang indah menghias lengan, betis, paha, area punggung tangan hingga wajahku. Ah, kalau sekedar kekerasan fisik itu, aku rasa sudah kebal. Sudah kebas tubuhku tak bereaksi dengan satu rasa yang dikenal dengan rasa sakit karena hal semacam itu.
Hanya saja tidak untuk hal menjijikkan satu ini, hal yang bahkan membuat ku jijik dengan diriku sendiri. Merasa kotor yang tak akan bersih meski aku sudah mandi beribu-ribu kali. Perasaan kotor yang bahkan tidak akan hilang meski kulitku lepas dan berganti kulit baru. Perasaan kotor melebihi kotornya aku setelah bergulat dengan tumpukan sampah di Bantar Gebang. Perasaan kotor yang masih saja menempel bahkan setelah hampir seminggu aku tak menjamahnya lagi.
2 tahun terakhir, entah setan apa yang merasukinya. Mas Tarjo mulai memaksaku melakukan itu. Mula hanya untuk dirinya,tapi kemudian hari dia bersama gerombolan temannya yang bertato, menggilirku bergantian. Astaga. Bahkan ketika hanya dengan mengingatnya lagi, rasa itu masih tajam melekat. Cukup, tak kan ku lanjutkan mengingatnya. Sesak dadaku. Nyeri. Nelangsa. Jijik. Najis. Bercampur jadi satu.
Hingga sejak beberapa hari yang lalu, ku beranikan diri untuk mulai menjauh dari rumah nista itu. Meski belum berani ku hilang dari pandangan Mas Tarjo sekarang ini. Mungkin suatu saat nanti. Setelah sepucuk surat yang kutulis dengan cucuran air mata ini sampai di tangannya.
***
Untuk Mas Tarjo
Mas Tarjo,
Akhirnya tiba juga saat kutulis barisan kata untukmu.
Barisan kata perwakilan perasaanku. Yang sudah dari jauh hari ingin kusampaikan padamu.Mas, terimakasih karena kau sudi menampungku. Merawatku dan membesarkanku hingga hari ini. Mungkin hari ini bisa saja aku tak hidup jika saat itu kau tak membawaku, tak membagiku nasi bungkusmu, tak membiarkan ku tidur di dalam rumah triplekmu. Bahkan ketika aku lari terbirit-birit kabur dari kejaran petugas ketertiban kala itu dan nyaris saja tertabrak kendaraan, pun aku selamat karena kau menarik tanganku.
Mas, aku tau dalam marahmu sebenarnya mas pun peduli padaku. Dibalik makian itu, mas ingin mengajarkanku untuk tuli dari pedasnya suara kehidupan. Dibalik kerasnya hantamanmu, mas hanya ingin mengajarkanku kuat, karena dunia luar lebih keras dari itu.
Tapi mas,
Tidak untuk hal yang dua tahun ini mas minta padaku. Tidak mas. Tidak ada pembelajaran apapun yang aku bisa petik dari kekejianmu dan teman-temanmu itu. Sampai hatinya kau lakukan ini padaku mas. Orang yang tiap malam siap menjadi sasana tinjumu, atau jadi tukang urutmu. Padahal diriku sendiripun sebenarnya sudah payah untuk sekedar beranjak dari dudukku. Tapi seruanmu mampu membuatku bangkit dan sigap ku pijit badanmu yang katanya pegal-pegal itu.Aku diam terlalu lama, Mas. Membiarkanmu semakin buas melebihi binatang. Bahkan binatang pun tak mungkin memilih yang sama jenis. Tapi, ah sudah. Sesak dadaku mas. Tak bisa lagi ku terima semua ini. Mencoba mengalihkan pikiranku pun ku tak sanggup mas.
Mas aku jijik dengan diriku sendiri. Aku masih merasa yang sama meski sudah berkali-kali mandi, menggosok gigiku, berkumur sampai kebas mulutku. Tak ada hal yang bisa kulakukan selain cara ini. Cara yang baru-baru ini terpikir olehku.
Mas, jika kau baca surat ini.
Mungkin aku sudah tak ada lagi di dunia ini.Dari ku,
adikmu (iya, aku tak pernah merasa sebagai orang lain bagi dirimu, mas.)JAYA
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Random Thoughts
CasualeRandom Thoughts adalah kumpulan tulisan-tulisanku. Yang seperti judulnya, memang random sekali isinya. Semoga tulisanku bisa bermanfaat, ya ....