Part 2

17 0 0
                                        

"Buset, lu belum tidur, Nay?"


Kirana mengerjapkan mata setelah menyalakan lampu. Aku merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Toh Kirana tidak menunggu aku menjawab.


Dia melangkah ke arah dapur tanpa berbicara apa-apa lagi.


Sekilas aku melirik jam di laptop. Uh, sudah jam 4 pagi. Pantas saja Kirana sudah bangun. Anak itu memang punya kebiasaan yang cukup tertib soal jam tidur. Jam sepuluh tidur, jam empat bangun. Kemudian dimulailah ritual harian Kirana.


Aku merenggangkan tubuh selama beberapa saat. Kupijat leher yang terasa sedikit kaku sambil menguap. Sekarang baru terasa kantuknya padahal sudah hampir delapan jam aku menatap layar komputer.


"Minum air putih dulu, Nay," Kirana menyodorkan mug berwarna cokelat kepadaku.


Aku meneguknya hingga tandas. Kirana tidak akan senang kalau bersisa.


Saat aku sudah menandaskan air di mug, Kirana sudah duduk di sampingku, menyeruput teh dari cangkir kesayangannya. Cangkir berwarna biru laut itu adalah pemberian Bram,pacarnya. Hadiah hari jadi mereka yang kedua.


Sekarang mereka sudah enam tahun berpacaran. Rencananya, tahun depan mereka menikah.


Mengingat itu, mau tak mau aku menjadi muram. Aku akan kehilangan teman sekamar yang menyenangkan. Kirana yang cerewet dan suka mengatur, malah cocok buatku yang sembarangan.


Itulah sebab saat Kirana mengajakku menyewa apartemen bersama, aku langsung setuju. Dekat pula dengan kantor kami. Lebih hemat daripada kost, menurutku. Lebih nyaman dan aman pula.


"Ada apa sih, Nay? Udah hampir sebulan lu kayak gini. Jangan bilang lu banyak kerjaan karena gue sangat tahu lu lebih suka tidur," cerocos Kirana sambil menatapku tajam.


Aku cuma bisa cengengesan. Aku yakin dia sudah tahu jawabannya.


Terbukti, beberapa saat kemudian dia menghela nafas. "Kenapa sih, lu seneng banget nyiksa diri sendiri?"


Hanya senyum yang bisa aku berikan sebagai jawaban. Aku mematikan laptop dan kembali menguap. "Aku tidur ya, Na. Ngantuk."


"Jadi harus diomelin dulu baru kerasa ngantuk?" cetus Kirana sinis.


"Besok aku bobo cepet deh, Na. Janji."


"Basi! Kemaren juga bilang gitu. Dan seminggu yang lalu. Dan minggu-minggu sebelumnya."


Spontan aku menyahut riang, "OK deh, aku gak janji lagi," yang disambut delikan Kirana. "Tidur aja sana! Siapa tahu dapet pencerahan dalam mimpi!"

Tentu aku tidak menyiakan kesempatan. Aku memberikan 'kiss bye' ke Kirana yang cuma geleng-geleng kepala.


"Kalau nanti gue ketemu sama Mario, bakal gue bejek dia sampe keriting!" seru Kirana tepat sebelum aku menutup pintu kamar.


"Dan...itulah alasan aku gak akan mempertemukan kalian," gumamku pelan.


Aku tak tahu mengapa Kirana selalu mengaitkan kesedihanku dengan Mario. Padahal, aku hanya menceritakan soal Mario sekenanya.


Mau tak mau aku teringat kejadian minggu lalu, saat Gilang mengungkapkan hal yang sama. Sejak hari itu, Gilang semakin sering menyapaku lewat SMS. Sekadar menyapa iseng, katanya.


Hanya saja, saat Gilang berkata, "Galau itu jangan dipendem, nanti tambah stress," mau tak mau aku merasa jengkel.

Semudah itukah membaca pikiranku? Jika ya, kenapa Mario tidak bisa?

Sudah sebulan berlalu sejak Mario dan Renata berpacaran. Sudah sebulan juga aku tak mendengar kabar dari Mario. Padahal ini bukan kali pertama Mario 'menghilang'. Tapi tetap saja rasanya beda.


Sebelumnya aku bisa seenaknya menelpon dia. Meminta dia menemaniku hunting foto. Atau sekadar mengobrol dengan alasan bosan saat Kirana belum pulang. Sekarang, mana mungkin?


Aku cukup tahu diri untuk tidak mengganggu teman yang sudah berpacaran. Kirana saja tidak aku ganggu saat malam Minggu atau hari kencannya yang lain. Apalagi Mario.

Aku menatap layar handphone yang sedari tadi aku letakkan di meja samping ranjang. Tak ada notifikasi apapun. Tak mengherankan sebab aku sengaja menghapus semua akun socmed dari handphone.

Zaman sekarang, orang lebih senang kontak lewat socmed daripada sms, kan?

Aku merebahkan tubuh ke ranjang. Mataku terasa lelah tapi otakku seolah tak mau beristirahat.

Sekuat mungkin aku bertahan agar tak mengecek akun socmed. Walau Mario bukan tipe yang aktif di socmed, aku tetap takut. Aku tak ingin membaca hal yang berpotensi menyakiti hati sendiri.

Padahal, aku merindukannya.

Aku mengerjapkan mata, tak ingin menangis. Akhir-akhir ini aku jadi sangat cengeng. Menyebalkan, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.

Aku hanya ingin aku cepat merasa terbiasa, walau aku sendiri meragukan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tak Seindah BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang