Part 1

25 0 1
                                        

"Permisi, permisi, permisi!"


Aku berusaha sekuat tenaga menyeruak kerumunan orang di dalam bus. Heran, semakin tahu ada yang mau turun, semakin sulit mereka bergeming. Aku yang awalnya sungkan menjadi sebal.


Aku mendorong beberapa lelaki agar minggir. Tak peduli mereka sewot. Toh aku tak akan bertemu mereka lagi, setidaknya dalam waktu dekat.


Begitu berhasil turun, hal yang pertama aku lakukan adalah mengatur nafas. Ampun, bisa gila aku kalau setiap hari harus seperti ini! Timbul lagi sesal karena sok idealis tak mau membawa kendaraan pribadi. Saat jarak tak bisa ditempuh dengan sepeda, aku kelabakan sendiri deh!


Aku melirik jam tangan. Sudah jam tiga. Padahal aku masih harus berjalan sekitar lima menit lagi. Sekali lagi aku merutuk dalam hati. Kenapa sok ngadain voting tempat ketemu padahal aku penggagasnya? Seharusnya aku pilih saja tempat yang dekat.


Apalagi teman-temanku sebenarnya akan menurut saja diajak kemana saja. Aku cuma merasa tidak adil kalau tidak mendengar pilihan mereka. Eh, malah jadi menyusahkanku sendiri.


Musik yang sedari tadi mengiringiku berhenti. Ada panggilan masuk. Aku memencet tombol di headset, "Halo?"


"Di mana? Kita udah pada sampe."


"Kita? Aku masih di jalan."


Terdengar dengusan jengkel Mario di seberang sana. Aku tersenyum simpul.


"Aku dan Hendri udah di cafe. Gak jauh dari pintu."


"Masuk aja, sih!"


"Udahlah, cepetan!"


Kali ini aku yang melengos. "Lima menit lagi, ya. Dah!"


Tanpa menunggu jawaban, aku memutuskan panggilan. Mario pasti mengoceh panjang-lebar karena dia tak senang menunggu. Apa boleh buat, aku pun tak ingin lama-lama tadi. Sayangnya, bos mendadak memanggil aku untuk diskusi tentang proyek yang sedang aku garap. Apa berani aku memotong ucapan bos dan berkata aku harus segera pergi?


"Haduh!" Aku menghentikan langkah saat tersadar hujan turun dengan derasnya. Berdesakan di dalam bus dengan tubuh mungil membuatku tak sadar kalau hujan sudah turun.


Aku mencopot headset sebelum memasukkan handphone ke dalam tas. Selanjutnya aku mengenakan topi dan membetulkan posisi ransel.


Ah ya, celana. Dulu aku heran kenapa orang menggulung celana saat hujan. Bukannya celana berguna untuk melindungi kaki? Kenapa jadi kita yang melindungi celana kita?


Ternyata, tidak enak harus berjalan dengan celana yang lepek. Jadi, aku terpaksa setuju dan mengikuti kebiasaan orang yang aku anggap aneh itu.


"Nah, akhirnya!" Hendri yang paling bersemangat menyambutku. Padahal, aku masih berjarak sekian meter darinya. Beberapa orang menoleh dengan kaget tapi Hendri terlihat tidak peduli. Dia tetap cengengesan, tak merasa berdosa sedikit pun.

Tak Seindah BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang