"Kamu percaya cinta gak sih, Nay?"
Aku tak memalingkan wajah walau terkejut. Aku menggeser tanganku sedikit, belagak serius. Padahal aku sudah kesulitan fokus ke burung gereja yang seperti cenayang. Tahu saja kalau pikiranku tak sepenuhnya terarah kepadanya.
Dia bertengger dengan manis di sandaran kursi taman. Seharusnya mudah saja aku mengambil momen. Padahal sebelum ini dia tak bisa diam. Burung itu benar-benar mempermainkanku.
Jepret!
Aku menahan posisi beberapa detik. Menunggu kalau burung itu memberi pose lebih baik. Sayang, dia memang tak bersahabat denganku. Detik berikut, burung tersebut sudah kembali terbang. Tak kelihatan lagi.
"Hm, lumayan! Setidaknya aku masih mendapatkan satu jepretan bagus," gumamku, lebih ke arah menghibur diri sendiri.
Mario menarik kamera dari tanganku. Cuma beberapa detik sebelum dia mengeryitkan kening, "Kok goyang sih,Nay?"
"Dia gak bisa diem!" kilahku, merebut kembali kamera. "Sudah ah, kita pulang aja, yuk! Nanti keujanan."
"Sejak kapan seorang Kanaya takut hujan?"
"Hey, aku kan gak kedap air! Besok harus berangkat pagi pula ke Lombok. Gak lucu kalau selama hunting malah sakit."
Aku memasukkan kamera ke dalam tas setelah memasang penutup lensa. Langit sudah mulai berhiaskan awan kelabu. Kalau terlambat beranjak, bisa-bisa kami berdua kuyup. Aku dan kameraku, maksudnya. Mario jelas tidak masuk hitungan karena dia pelari yang hebat.
Aku, paling hebat beradu cepat dengan obyek fotoku. Tentu tidak dengan kaki, hanya mata yang awas dan gerakan yang sigap.
"Kamu belum jawab pertanyaanku."
Sial! Ternyata dia masih ingat.
Aku memasang wajah polos, "Hm? Maksudnya?"
"Aku kan tadi tanya, kamu percaya cinta atau tidak."
"Hmm..harus dijawab?"
Mario memasang ekspresi sedang berpikir sebelum mengangkat bahu. "Gak masalah juga, sih. Cuma penasaran aja."
"Nah, berarti gak perlu aku jawab, kan?" Aku memutar bola mata, pura-pura jengkel padahal lega.
Ternyata Mario belum menyerah. Kali ini dia menatapku penasaran, "Kenapa gak mau jawab?"
Reflek, aku mendesah pendek. "Memangnya kamu gak tau jawabannya?"
"Apa seharusnya aku tahu?" Mario malah balik bertanya.
"Setidaknya kamu bisa menilai apa aku percaya cinta atau tidak," jawabku, berusaha terdengar diplomatis.
"Kalau bisa, aku gak bakal nanya," gerutu Mario.
Aku mengulum senyum. "Ada apa sebenarnya, sampai kamu tiba-tiba tanya begitu?"
"Lagi ngecek apa kamu bisa jadi konsultan percintaan."
"Memang ada lowongan di mana?"
Kali ini Mario langsung cengengesan. "Sebenarnya aku yang mau konsultasi."
Langsung saja aku melayangkan tinju ke lengannya. "Ribet banget pembukaannya! Jadi, siapa cewek malang itu?"
"Sial, enggak malang lah. Dia malah beruntung bisa digebet sama cowok kayak aku."
Aku mengangkat sebelah alis. "Hmm!"
Diberi pelototan oleh Mario, aku tersenyum setulus mungkin. "Percaya kok!", ujarku. "Aku sangat percaya itu."
Mario mendengus tidak percaya sementara aku terkekeh.
Aku melangkah sambil bersiul riang Padahal ada pilu di hatiku. Bila saja aku punya nyali memberitahu Mario. Bahwa akulah yang paling pertama tahu kalau dicintainya adalah sebuah anugerah. Yah, mungkin setelah keluarganya.
"Menurutmu, idealnya itu berapa lama untuk pendekatan?" Kami sudah sampai di parkiran saat Mario mengucapkan itu.
Padahal aku kira sudah tidak ada pembahasan lebih lanjut. Cepat, aku memasang helm agar perubahan ekspresiku tak terlihat. "Gak tau. Belum ambil program profesi konsultasi percintaan," jawabku sekenanya.
Mario menggeleng-gelengkan kepala sambil mengenakan jaket. "Emang salah nih nanya ke kamu. Mending tanya ke orang lain."
Baguslah kalau kamu sadar, batinku gemas. Gak sekalian kamu tanya cara oke ngelamar cewek ke aku?
T
oh aku tetap tertawa, "Yah,semoga beruntung, deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Biasa
RomanceJika cinta menguatkan, maka benar ini cinta. Bila cinta itu merindu, itulah yang aku rasakan. Namun kalau cinta itu indah, aku akan meragu dan bertanya, "Apakah indah itu?" (*) Untuk Kanaya, Mario adalah teman terbaik. Orang yang pertama dia ca...