Athif Refat Shakeer

221 44 32
                                    

Pukul setengah empat pagi. Suasana malam terasa hening. Tidak ada suara yang keluar dari sebuah sumber bunyi kecuali suara dzikir yang dilantunkan olehku. Kepalaku merunduk dengan mata terpejam namun bibir terasa basah dengan mengagungkan yang Maha Agung.

Di kala setiap jiwa sedang berselimut namun tidak denganku. Hal ini ku lakukan agar Ruh yang ku miliki menjadi bersih. Sehingga Ruh ku kelak akan ditempatkan ditempat yang indah di sisiNya.

Setelah Sholat Tahajjud Aku melaksanakan amalan dzikir harian sebanyak seratus kali seperti membaca istighfar untuk membersihkan dosa, Subhanallah wa bihamdihi subhanallahil adzhiim untuk memberatkan amal timbangan kebaikan, Ya Fattahu Ya Rozaq untuk meminta kemudahan rezeki, Sholawat Nabi untuk mendapatkan syafa'at di hari kiamat dan Subhanallah walhamdulillah wa Laa ilaahaillallahu Allahu Akbar untuk memuji yang Maha Mulia.

Amalan dzikir tersebut seringkali ku lantunkan lebih dari seratus kali saat memiliki keinginan ditambah dengan Sholat Dhuha lalu membaca Surat Al Waqiah dan Sedekah harian. Beberapa sunnah rasul tersebut sudah melekat di diriku.

Alarm kemudian berbunyi. Sudah pukul jam empat pagi. Dengan menarik nafas dalam-dalam. Aku memulai untuk muroja'ah hafalan Al-Qurannya dari Juz 29 Surat Al Mulk sampai menjelang shubuh. Beberapa surat berhasil dia bacakan dengan lancar namun saat menuju akhir Juz 29 fikirannya sedikit terganggu.

Seketika wajah seseorang wanita muslimah melintas dalam fikiran. Mataku perlahan terbuka lalu mengambil Al Qur'an yang tidak jauh dari dia duduk. "Al-Insan," gumamnya sambil membolak-balikkan Al-Quran. "Insya allah jika setelah ini hafal, bisa lanjut ke Juz 28. Bismillah,"

Aku kembali muroja'ah hafalan Al-Qurann setelah melihat beberapa ayat yang membuatku terlupa. Begitu khidmat sampai ku tertidur.

Mataku langsung terbuka saat alarm kembali terdengar yang diiringi suara azan di masjid dekat tempat tinggal.
Setelah mengambil wudhu Aku menuju masjid untuk melaksanakan Sholat Shubuh berjamaah.

***
Aku perlahan memasuki sebuah ruangan yang bertuliskan Manager Technical Room. Namaku Athif Refat Shakeer, seorang Lelaki muda berumur dua puluh enam tahun yang kini menjabat sebagai Manager Technical. Aku membawahi beberapa divisi seperti Quality Control dan Research and Development di sebuah perusahaan terkenal di Jakarta.

Aku merupakan sosok lelaki biasa yang jika dilihat dari luar tidak memiliki sesuatu aura yang terpancar. Sehingga banyak yang tidak menyangka bahwa Aku adalah seorang manajer yang akan dipromosikan menjadi Direktur, Direktur tersebut membawahi sepuluh divisi di perusahaan.

"Assalamualaikum Pak Direktur," sapa Farhan yang langsung mengagetkan. Farhan adalah lelaki muda berumur 28 tahun yang ku kenal saat masih kuliah di Universitas Islam Negeri Jakarta.

"Walaikumsalam Pak Manager. Ngagetin aja lo Han," jawabku yang langsung membuka laptopnya untuk dinyalakan.

"Lah kok Pak Manajer. Gue kan Supervisor QC Thif bukan manager. Lu lupa ya? apa sakit?" tangan Farhan memegang pundakku berkali-kali.

"Yaelah masih kaku aja lo Bro. Yang masuk ke sini dulu kan gue dulu nih. Yah karena gue konsisten ga kaya lo yang keluar masuk perusahaan untuk dapetin salary yang gede. Akhirnya kan lu jadi bawahan gue. Ketika gue jadi direktur nanti orang yang akan gantiin posisi gue sebagai manager ya otomatis lu," tukasku dengan nada yang sedikit memotivasi.

"Alhamdulillah. Serius Bro? Nikah nih gue tahun depan. Makasih ya Bro," Farhan menepuk pundakku berkali-kali. Apa yang telah dilakukan oleh Farhan mungkin terkesan tidak sopan atau tidak beretika namun aku sudah mengganggapnya lebih dari seorang keluarga terlebih saat peristiwa tujuh tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa di Universitas Islam Negeri Jakarta yang terletak di tangerang selatan.

Kala itu saat menjadi mahasiswa, kami masih menjadi kaum yang jahil atau bodoh. Bodoh akan cahaya ilmu yang telah Dia berikan. Sehingga seakan ilmu itu tidak memasuki ke dalam sanubari karena begitu banyaknya dosa yang telah dibuat.

Saat pulang dari bermain futsal bersama aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di fly over menuju rumahku bersamaan dengan Farhan. Dengan niat, agar bisa bertemu dengan pujaan hati di sebuah mall di jakarta selatan. Alhasil, mobil yang ku kendarai dengan Farhan menabrak pagar pembatas lalu mobilnya jatuh ke jalan raya.

Selain kami berdua tidak ada lagi korban. Mobilnya terbalik, kucuran darah memenuhi wajah kami. Kami sempat dibawa ke rumah sakit yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat kejadian. Aku koma selama satu minggu sedangkan Farhan sepuluh hari.

Pikiranku tak menentu saat pertama kali ku membuka mata. Hanya Farhan yang terucap. Aku tidak tahu apakah dia selamat atau tidak. Ternyata dia ada di sebelahku. Kepalanya diperban. Tubuhnya terlihat luka-luka yang belum mengering. Hal itu mungkin tidak akan terjadi jika aku tidak mengebut. Aku pembunuh jika Farhan tidak bisa diselamatkan.

Aku begitu takut kehilangan dia karena dia adalah teman seperjuanganku dari SMP walaupun kami benar-benar dekat saat duduk di bangku kuliah. Saat kita masih bermain dengan bola plastik yang kalau mau dimainkan harus di tusuk dengan peniti pada batoknya sampai bermain futsal dengan bola karet. Saat kami masih bermain sepeda sampai sekarang kami bermain dengan kendaraan roda empat.

Di dalam mimpiku aku melihat seseorang berjubah putih berkata kepada kami. "Man Robbuka? Man Nabiyyuka?"

Lalu aku berbisik "Farhan itu bukannya artinya Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu ya?"

Farhan yang ku lihat malah bergetar hebat. "Kita sudah mati Athif," kata Farhan terbata-bata air matanya terus meleleh.

Seketika tangan Farhan diraih oleh seseorang itu lalu dibawa pergi dan aku terbangun. Setelah kejadian itu aku berikrar dalam diri untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Karena Allah SWT telah memberikanku kesempatan kedua.

Setelah dua hari masa pemulihan aku bisa berjalan dan kembali normal. Banyak yang tidak menyangka bahwa aku akan hidup jika melihat dari hancurnya mobil yang ku kendarai.

Keesokan harinya Farhan sudah sadar. Kata yang pertama dia ucapkan adalah Alhamdulillah. Entah mengapa aku tidak tahu, mungkin karena waktu koma yang begitu lama ataukah Farhan telah diperlihatkan sesuatu yang membuat dia mengucapkan kata syukur kepada sang Maha Kuasa bahwa dia masih diizinkan untuk memperbaiki semua.

Biaya rumah sakit seluruhnya ditangguhkan oleh keluargaku. Itu karena Ayahku yang saat itu masih berjaya dan sehat. Kini aku harus berpikir keras untuk menafkahi ibu dan adikku yang kuliah di Singapura.

"Kok bengong sih Pak Direktur?" tanya Farhan melambaikan tangannya ke depan kedua mataku. "Oh iya. Jangan lupa ya hari ini kita akan meeting bersama Presiden Direktur jam 12," Farhan lalu pergi keluar ruanganku.

"Ok. Apa? Meeting jam 12 yang bener aja Pak Presdir," lirihku dengan sedikit kesal.

Pelabuhan terakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang