Bibirku mengatup, mataku terpejam, kepalaku tertunduk, tanganku mengepal, dan tubuhku mematung, berusaha keras agar sebulir air tak menyeruak dari pelupuk mata.
Dia memang menghampiriku dengan santai tanpa beban, tanpa menatap mataku. Tak ada ekspresi lain terlukis di wajahnya selain raut wajah yang terlihat tanpa selekuk senyuman.
Sepersekian detik, ia berada di hadapanku. Tanpa sadar bulir demi bulir air mulai jatuh terpaksa. Raganya bertolak menjauh
Sang jarak mulai melangkah pasti ke arahku, menghalangi segala bayangan dirinya, membuatku kehilangan asa. Semakin lama, bayangannya menjadi lebih samar, dan hilang tanpa jejak yang bisa kukejar.
Bibirku mulai bergetar, lututku lemas, dan duduk terkulai sambil menutup wajahku. Aku berteriak dalam diam. Air mataku tidak mematuhi perintah otakku untuk tak dikeluarkan!
Apa salahku jika mengatakan apa yang kurasakan? Apa aku menghancurkan tali pertemanan yang dijalin? Aku hanya mengatakan jika aku merasa nyaman dan tak ingin kehilangan dirimu. Namun nyatanya apa? Kau terlalu cepat mengambil keputusan bodoh.
Berhari-hari kau sama sekali tak bersuara padaku. Aku tak ingin memilikimu seutuhnya, aku hanya ingin bisa mendampingimu apapun situasinya.
Ragaku bergerak mengikuti naluri hati. Aku bangkit, dan berlari tanpa sebab. Sepertinya langkah kakiku mengikuti jejaknya yang tak terlihat.
Mataku terpaku pada seorang pria yang tidak asing. Pupilku membulat, senyum kecilku terbentuk, dan air mataku kembali mengalir.
Langkahku cepat dan pasti. Dia tak menyadari kehadiranku yang mulai semakin kehilangan jarak. Aku memeluk raganya, menangis di punggungnya yang kokoh, dan mengeratkan pelukanku.
"Dengar, aku tak ingin kau menghilang dari radar dan jangkauanku. Sudah ku katakan, aku tak ingin ragamu pudar dalam pandanganku. Aku tak ingin rasa rindu mulai menjerat, aku tak ingin mengingat semua kejadian bersamamu berulang ulang seakan kau tak kembali.
"Maaf jika apa yang baru saja kukatakan membuat kau memilih pergi. Aku tak bermaksud memiliki perasaan dan jatuh cinta, kau hanya kurang memahaminya. Aku hanya merasa begitu nyaman dengan kehadiranmu dan tak ingin kehilanganmu lebih lama. Mudah saja bagiku untuk menghapus perasaan yang tak seharusnya ada itu, aku memang tak berharap ia hidup dan terus tumbuh.
"Jangan biarkan kakimu melangkah berlawanan lagi, jangan biarkan wajahmu tak ingin menatapku lagi. Aku tak ingin air mataku mengalir tanpa disengaja. Maafkan aku dan kembalilah."
Tangannya yang besar dan hangat melepaskan pelukanku. Ia berbalik dan mengangkat daguku agar menatapnya lekat. Binar matanya selalu membuat rasa dalam dadaku ini menghangat.
Bibirnya bergerak dan bersuara, "Ini adalah penjelasan yang tidak aku minta, memang aku tak memahamimu dan terlalu gegabah mengambil keputusan sepihak. Sekarang aku mengerti, dan ini membuatku paham akan semua yang terjadi selama ini diantara kita, dan padamu. Aku tak ingin membuat janji, aku hanya ingin kau percaya kata-kata yang akan segera aku katakan. Semua yang terjadi telah menggerakkan hati kecilku padamu, kesalahpahaman yang baru saja berlalu benar benar membuatku sadar akan kehadiranmu di sisiku."
Jemarinya bertaut dengan tangan kecilku, ia mengangguk sekilas sembari tersenyum seakan mengisyaratkan agar langkah kakiku mengikuti dirinya Percayalah, detik ini. Aku rasa, akan kubalas perasaanmu yang akan kau hilangkan itu.
Maafkan aku, aku baru saja mencintaimu."
Maaf ya masih baru buat nulis cerita oneshoot gini. Jadi harap maklum kalo masih ga ngena hehe