Setelah menuntaskan curhatannya, Maya memaksaku untuk menemaninya menonton dengan alasan ingin menghilangkan kegalauannya. Sialnya, Maya memilih untuk menonton film horor. Aku sempat menolak dan ingin menungguinya saja sampai film berakhir, tapi Maya terus merengek agar aku menemaninya masuk. Meskipun enggan, aku menuruti saja inginnya. Saat menonton, aku tidak hentinya menjerit seperti anak kecil yang takut pada kecoak. Sedangkan Maya hanya menertawaiku yang katanya sangat penakut. Setelah menonton, aku keluar dengan keringat yang mengucur deras di dahiku. Jantungku rasanya ingin lompat dan aku jadi parno sendiri. Alhasil, aku memaksa Maya untuk menginap di apartemenku.
Kami menghabiskan waktu dengan bersenang-senang seharian. Selain menonton, kami juga membuang stres di sebuah tempat karaoke. Menyanyikan lagu-lagu patah hati yang sangat norak sambil berteriak-teriak dan jingkrat-jingkratan tidak jelas. Sekitar pukul 11 malam, kami baru kembali ke apartemenku. Setibanya di apartemen, Maya langsung menghempaskan tubuhnya di kasur dan tak lama setelah itu dia pun terlelap.
Saat Maya terjaga dalam tidurnya, diam-diam aku menitikkan air mata. Aku iri pada Maya yang bisa dengan mudahnya tertawa lepas setelah hatinya dipatahkan. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum dan menyembunyikan lukaku.
Andai saja Maya tidak dalam keadaan yang juga kalut, tentu saja aku sudah mencurahkan segala gundahku padanya. Setidaknya, beban ini tidak mesti kupendam sendiri. Tapi, aku tidak ingin menambah beban Maya dengan curhatanku. Aku akan menceritakan semua keluh kesahku pada Maya dan yang lainnya, tapi bukan sekarang.
***
Pagi-pagi sekali Maya sudah bergegas untuk pulang. Aku bahkan masih setengah sadar saat dia berpamitan. Samar-samar kudengar dia mengatakan ada kelas pagi ini.
Pukul 07.45 aku baru tersadar dari tidurku. Seperti biasa, setiap bangun, hal pertama yang kulakukan adalah mengecek ponselku. Aku tersentak saat kudapati sebuah missed call dari Andra. Saat kuperhatikan, dia melakukan panggilan pukul 02.12. Itu berarti tidak lama setelah aku terlelap.
Ada apa sampai Andra menghubungiku dini hari begitu? Pikirku. Aku sempat ingin mengiriminya pesan dan bertanya ada apa, tapi niat itu kuurungkan. Barangkali dia hanya salah tekan, pikirku.Setelah mandi dan merapikan kamarku, terutama membuang tissue sisa-sisa tangisan Maya, aku segera bergegas ke kampus. Jujur saja, panggilan tak terjawab dari Andra masih mengganggu pikiranku, tapi aku berusaha untuk menepisnya jauh-jauh. Aku tidak ingin larut dalam kegamanganku kehilangan Andra. Aku juga tidak ingin berharap banyak lagi darinya. Setelah berbulan-bulan tanpa kabarnya, aku tidak ingin goyah hanya karena sebuah panggilan tak terjawab baginya. Jika memang ada sesuatu yang penting yang ingin dia sampaikan, dia pasti akan menghubungiku lagi.
Aku tiba di kampus pukul 10.15, beberapa saat sebelum dosen killer masuk ke kelasku. Hari ini aku benar-benar tidak bersemangat mengikuti kelas. Beberapa kali Pak Hasan menegurku yang hanya melamun sepanjang kuliahnya. Aku hanya berpura-pura mencatat materi untuk mengalihkan perhatiannya. Ragaku mungkin saja berada di kelas dengan semua ocehan-ocehan Pak Hasan perihal penyimpangan dalam berbahasa, tapi pikiranku entah melayang ke mana. Sebelum Pak Hasan meninggalkan kelas, aku sempat bergumam dengan pelan, "Andra, aku kangen."
KAMU SEDANG MEMBACA
I N S A N E
Teen FictionApakah sahabatmu gila? Jika tidak, berarti kau kurang beruntung.