II. The Arlo

37 10 0
                                    


Kenakalan remaja makin marak terjadi di Negri ini, kurangnya kedisiplinan yang tertanam dalam diri mereka menjadi faktor utamanya. Untuk mengatasi hal tersebut, dibentuklah sebuah organisasi kedisiplinan negara bernama Arlo.

Berfokus pada pemecahan masalah terhadap remaja, Arlo bukanlah organisasi yang banyak diketahui khalayak umum. Bisa dibilang Arlo itu sebuah formasi rahasia bentukan Negara. Setiap langkah yang diambil Arlo dilakukan secara diam diam guna mencegah terjadinya kebocoran informasi.

*****

Dalam keremangan ruang di ketinggian lantai 22 gedung utama Arlo di pusat kota.

Tampak seorang pria berpakaian mencolok sedang duduk santai menghadap jendela. 'Mencolok' karena ia mengenakan tuxedo berwarna biru langit dengan dasi kuning motif polkadot ungu yang menyilaukan mata. Ia terlihat sangat menikmati pemandangan kota malam yang dihiasi gemerlapnya lampu lampu dari kendaraan yang melintas di jalanan.

tok... tok... tok...

Seseorang mengetuk pintu dengan lembut. Entah karena tidak kedengaran atau memang tidak peduli, pria itu tak menggubrisnya sedikitpun. Menyender ke punggung kursi putar hitamnya, ia terlalu larut dalam keindahan yang sesaat itu.

Tak lama, seorang wanita berkaki jenjang bak model catwalk masuk dengan map coklat dalam dekapan. Perhatiannya langsung tertuju pada sisi ruangan dimana pria gemuk itu sedang asyik menatap ke dinding kaca yang transparan. Pria eksentrik itu tak lain adalah atasannya.

Wanita itu berjalan mendekat. Pelan memang, namun suara hak sepatunya begitu jelas terdengar menggema ke penjuru sudut ruangan. Perlahan tapi pasti ia akhirnya sampai. Wanita dengan setelan blazer abu itu berdiri mematung di balik kursi bosnya. Ia menatap pantulan pria itu dari kaca di hadapannya.

"ini sudah malam, anda belum pulang? bagaimana dengan anak anda?" tanya wanita itu, Tanpa ada rasa simpati di suaranya.

"urus saja urusanmu sendiri, Mai" jawab pria itu, tak kalah dinginnya.

Terjadi keheningan sesaat. Mata pria eksentrik itu kini tertuju pada map coklat yang ada di dekapan wanita di belakangnya. Seolah mengerti apa yang bosnya inginkan, wanita bernama Mai itu membuka map di tangannya.

"huh..., baiklah, saya hanya ingin memberikan ini" diangkatnya secarik surat dari dalam map. Ketika melihat surat beramplop biru itu, si pria tengah baya menutup mata dan menghela nafas Berat, seolah sudah bosan melihatnya.

"'dia'lagi?" terka pria itu, ia mengarahkan pandangannya kembali ke lampu lampu di jalan.

"ya, ini dikirim tadi siang" jawab Mai yang kemudian memasukan kembali suratnya kedalam Map.

"ini sudah yang ke 27 dalam seminggu, belum lagi 248 surat dalam setahun terakhir ini, dan isinya hanyalah sebuah omong kosong" Kini ekspresi pria itu menunjukan sebuah kekesalan.

Mai hanya diam, ia berbalik dan berjalan mendekati meja kerja di sebrang ruangan, ia menaruh map di atas meja kayu bergaya ghotic.

"bagaimana jika itu bukan sekedar omong kosong belaka?" cetus Mai seraya menatap map itu teduh.

"kita akan segera mengetahuinya, suruh saja nak Fisil menemuiku sesegera mungkin" perintah pria itu sambil meregangkan tubuhnya ke depan.

"Anda serius?" tanya Mai memutar tubuh, menatap tak percaya sosok yang terduduk di seberang ruangan.

"Ya, ini akan jadi sangat menarik juga beresiko, kan?" ujar pria itu santai.

Mai hanya menatap dingin atasannya itu, tak bisa membantah.

"Saya mengerti, kalau begitu permisi" tutur Mai undur diri lalu berjalan ke luar ruangan, meninggalkan pria yang tersenyum miring. Ia seperti sedang memprediksikan sebuah peristiwa menarik yang tak lama lagi akan terjadi.

Ia pun bangkit dan berjalan menghampiri meja di seberang ruangan. Entah apa yang sedang ia pikir kan saat ini. Kadang kala ekspresinya terlihat senang tetapi berseling dengan kesedihan.

Bagaimana tidak, selama setahun ini ada orang misterius yang terus menerus mengirimkan surat yang berisi keluhan atas berbagai macam tindak kecurangan di sekolahnya. Tapi karena tidak terdapat identitas yang jelas, serta alamat sekolah yang dimaksud, akhirnya Arlo tidak merespon keluhan tersebut.

Memang sudah jelas bahwa mengatasi masalah seperti itu adalah tugas utama Arlo. Tapi, jika tidak ada alamat sekolah yang tertera, Arlo tidak akan menggubrisnya.

Pria itu membuka map, dengan perlahan ia mengambil surat beramplop biru di dalamnya. Dan benar saja surat itu berisi tentang keluhan si penulis akan aksi curang yang terjadi di kelasnya hari ini.

"Mencontek dari kertas memo saat ulangan biologi..." gumamnya membaca penggalan kalimat yang tertulis.

Ketika selesai membaca, tampak seulas senyum tipis terukir di wajah gempalnya.

"maaf nak, seharusnya aku lebih memperhatikanmu," ucap nya lirih, sembari menatap apa yang tertulis di akhir surat itu.

Pria itu menyimpan kembali suratnya di atas meja. Sambil merapihkan dasinya, ia berjalan keluar ruangan.

Ia meninggalkan surat itu dalam keadaan terbuka. Untuk pertama kalinya dalam setahun ini, nampak di akhir surat itu, tertera nama si pengirim surat.

Dan orang itu tak lain adalah anaknya sendiri,

Yaitu, 'Aditya Rai'.

*****

"Ugh!"

Seketika Adi memeluk sebelah kakinya yang tertimpa kardus berisi perkakas.

Lelah melompat lompat dengan satu kaki, cowok itu pun terduduk di lantai berdebu gudang rumahnya. Lampu kuning 5 wat menjadi penerangan yang berhasil menampakkan rak rak kayu tua berisi perabotan yang tak kalah tua dan usang. Terdapat pula sofa yang berlubang dan tiang jemuran yang telah patah.

Rasa linu masih merayap di punggung telapak kaki, meski begitu Adi bergegas menghampiri kardus yang menjadi penyebab rasa sakitnya.

Kardus itu berisi perkakas seperti kunci inggris, obeng, palu dan lain sebagainya. Setelah puas memeriksa kelengkapan alat alat itu, ia pun mengangkat kardus itu dan membawanya pergi menuju kamarnya di lantai dua.

Menutup dan mengunci pintu gudang selayaknya kandang ternak, Adi melewati halaman taman yang banyak ditumbuhi tanaman lidah mertua di sisi jalan setapak. Tak lupa lampu taman selayaknya bulan berdiri dibeberapa titik menerangi langkah.

Adi tiba di depan pintu utama yang besar berhiaskan marmer sebagai gagangnya. Tak terkunci dan tak perlu dikunci, sebab ayahnya akan pulang amat larut seperti biasa.

Dengan langkah tergesa Adi melewati ruang tamu yang dihiasi banyak Guci antik, lalu kebelakang, ia menaiki tangga melinglar menuju lantai dua. Ia selalu mengutuk rumah besar ini, bukan karena ukutannya tapi karena hening dan sepi yang menempati.

Akhirnya ia sampai di depan pintu kamarnya yang sederhana. Dalam ruangan 3x3 itu Adi menyimpan kardus itu di atas meja belajar.

Seperti yang dikatakannya saat di sekolah, Adi tidak bermain main ketika mengatakan akan membalas perbuatan Bella dan Dona. Dengan panduan di internet, dan bahan bahan yang ditemukan di gudang ia siap menciptakan alat yang akan membuat musuhnya menyesal.

cheatersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang