7 | Es Krim Cokelat

286 10 0
                                    

[T u j u h]
E s
K r i m
C o k e l a t


"Lo pulang kapan, Re?"

Retta mendongak. Melihat Geri sudah mencangklong tas dan memakai jaketnya.

"Masih lama kayaknya," Retta melemparkan isyarat pada laptop-nya yang masih menyala. Beragam kertas berserakan disekelilingnya.

"Gue duluan ya, nyokap minta anter reunian katanya."

"Sip. Hati-hati, Ger."

Geri tersenyum, lalu meninggalkan Retta yang masih berkutat dengan laptopnya.

Sudah pukul 7 malam dan Retta belum puas dengan rancangan logo angkatan yang telah ia buat sedari sore. Harus selesai sekarang karena jika Retta sudah sampai di rumah, gadis itu akan merasa terlalu malas untuk melanjutkan pekerjaannya.

Ruang OSIS kosong. Hanya ia dan laptop-nya yang masih dengan setia berada disana. Teman-temannya yang lain sudah pulang.

Kriet.

Pintu berdecit pelan, membuat Retta menoleh. Gadis itu mendapati Alfa berjalan ke arahnya sambil menenteng plastik. Membuatnya seketika merasa kesal.

Ya, Retta masih marah pada Alfa.

"Kenapa nggak pulang?" celetuk Retta, "Aku nggak mau disini bareng kamu."

Alfa duduk di meja setelah menyingkirkan kertas-kertas yang berserakan. Tepat disebelah laptop Retta.

"Karena lo belum pulang." jawabnya santai.

Retta menggulirkan bola mata. Merasa jijik.

"Gue nggak bakal bisa tenang di rumah mikirin elo yang belum pulang." cowok itu mengambil dua cone es krim dari dalam plastik, "Nih. Lo mau stroberi atau cokelat?"

Retta mengernyitkan dahi.

"Lo sukanya cokelat, deh."

Alfa membuka bungkusan es krim cokelat dan menarik tangan Retta. Cowok itu memaksa Retta menggenggam cone es krim cokelat.

Retta merasakan wajahnya memanas. Sementara Alfa sibuk membuka es krim miliknya.

Alfa tahu darimana ia suka es krim cokelat?

Ah. Bisa saja cowok itu asal tebak.

Tapi, sejak kapan cowok itu bersikap baik padanya?

Ah. Retta bingung.

×××

Res's notes :

Saya lagi bingung.

Selain fase yang kemarin, saya lagi ngerasa saya salah jurusan di SMA.

Dan saya takut saljur pas kuliah.

Saya pengen masuk DKV ITB. Dan awalnya saya panik waktu tau dkv ngga nerima ipa. Taunya, pas gue cek lagi sekarang dkv nerima ipa, hahaha.

Tapi ortu saya pengen saya masuk STAN, which is, sekolah kedinasan yang nggak cuma otak yang harus kuat, tapi fisik juga.

Dan kalo kalian ngeliat fisik saya sekarang, kalian pasti ngerti kenapa saya gamau masuk STAN.

Lagipula, saya suka akuntansi karena nggak jauh beda sama matematika. Banyak praktiknya. Tapi tetep, saya nggak punya hati buat masuk STAN. Kan takutnya saya malah kena DO kan galucu.

Saya masuk SMA dulu itu kayaknya pihak sekolah bingung deh. Nilai rapor saya paling tinggi IPS. Psikotest menunjukkan saya cocok masuk ke bahasa. Dan saya masuk pake jalur prestasi olimpiade matematika, which is saya harus masuk IPA.

Nah kan bingung, kan.

Dan itu berimbas sama bingungnya saya sekarang. Kalo saya masuk bahasa kan, saya mau ambil sastra aja sekalian. Atau budaya. Tapi, yhaa, begitu.

Masuk dkv juga jadi tantangan tersendiri karena banyak anak ips yang merasa lebih kuat dibanding saya yang anak ipa.

Masuk arsitektur. Ah gila aja, di sekolah saya yang mau masuk arsitektur salah satu ranking ke-2 paralel jurusan ipa, rank ke-4 paralel, rank ke-7. Dan banyak anak pinter lain yang mau masuk.

Kan taik.

Yasud maafkan saya banyak ngoceh lagi. Saya lagi banyak pikiran.

Ciao.

Masa Pengenalan Lingkungan SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang