Agustusku

152 8 0
                                    

By: ReplikaMimpi

Bulan yang aku nantikan telah tiba. Tepat hari ini adalah hari jadinya. Aku menyukai bulan Agustus. Selain karena bulan ini adalah bulan kelahiranku, bulan ini juga bulan lahirnya negeriku. Tepat hari ini adalah hari yang paling aku nanti.

17 Agustus

Tanggal dan bulan yang paling aku suka. Upacara dalam rangka memperingati hari lahir negeri ini adalah favoritku. Saat setelah upacara, akan ada hiburan drama kolosal tentang hari kemerdekaan.  Cerita yang dibawakan disusun begitu apik oleh penulis skenario. Para pemainnya juga dengan begitu apik memerankan peran masing-masing.

Pagi ini seperti hari 17 Agustus sebelumnya, aku dan teman-temanku berkumpul di sekolahan. Setelah berkumpul, kami semua bersama-sama berangkat ke lapangan yang akan menjadi tempat upacara 17 Agustus. Kami berangkat dan berbaris di lapangan. Aku melihat semua peserta upacara menggunakan seragam yang berbeda-beda sesuai dengan sekolahnya. Aku menggunakan seragam wajib hari Senin-Selasa.

 Upacara berjalan dengan khidmat. Semua hening tanpa suara mengikuti upacara dengan serius. Aku pun demikian. Aku tidak berbicara, hanya menatap para petugas upacara. Mereka melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Sungguh aku takjub melihat mereka. Bagaimana mereka berjalan, mengibarkan bendera. Sungguh menakjubkan!

Setelah selesai semua peserta bubar barisan. Aku dengan teman-temanku berjalan menuju penjual makanan di pinggir-pinggir lapangan. Aku memilih untuk membeli bakso disana. Tidak lupa es jeruk sebagai pelengkapnya. Banyak peserta upacara yang makan diwarung ini. Mungkin mereka menunggu hal sama seperti aku dan teman-temanku, drama kolosal tentang pahlawan nasional Indonesia.

  Aku menengok ke arah lapangan, takut jika drama telah dimulai dan aku ketinggalan. Ya aku sungguh menyukainya, hingga tidak ingin kehilangan satu adegan pun. Astaga... aku nggak tau bagaimana bisa aku sefanatik ini kepada drama kolosal spesial kemerdekaan. Aku bisa melihat samar dari sini mereka yang akan menjadi pemain drama kolosal ini dengan semua aksesoris khas zaman kemerdekaan, zaman penjajahan. Aku nggak tau cerita apa yang akan ditampilkan pada drama tahun ini. Yang pasti tentang pahlawan nasional Indonesia yang sungguh mulia mereka.

Lama aku menunggu, akhirnya pesananku tiba. Aku memakannya dengan lambat. Aku biasa makan seperti ini, tidak tau kenapa. Aku melirik ketiga temanku yang juga makan makanan disini. Aku tersenyum pada bapak-bapak yang duduk disamping kanan tempat dudukku.

"Mau nonton drama kolosal, Dek?" tanya bapak-bapak itu, aku menoleh kearahnya.

"Iya pak. Lama banget," keluhku.

Bapak-bapak itu tersenyum ramah padaku. Aku jadi canggung. Aku menoleh melihat ketiga temanku. Ternyata mereka masih sibuk dengan makanannya. Aku mendengus kecil.

"Iya, lama. Saya juga menunggu dramanya. Mungkin masih bersiap-siap. Sabar saja menunggu. Anak saya juga menjadi pemainnya, saya ingin melihat seperti apa drama yang diperankan anak saya," ujar bapak-bapak itu sambil tersenyum memandang lapangan yang sudah mulai ramai disisi-sisinya.

"Iya pak."

Jujur saja aku bingung mau menjawab apa. Aku tidak biasa berbicara dengan orang asing. Maksudku, orang yang bahkan baru aku lihat. Aku tidak biasa. Jadi yah, aku melanjutkan makanku kemudian aku melirik bapak-bapak tadi sudah tidak ada ditempat duduknya tadi. Aku tersentak ketika ada yang menepuk bahuku keras. Aku mengaduh dan menatap temanku yang nyengir dibelakang.

"Drama mau dimulai, yuk kesana." Zana, temanku mengajakku mendekat kelapangan.

"Ok. Aku bayar dulu."

"Tadi udah dibayarin sama bapak-bapak yang diduduk disitu tadi."

Zana menunjuk tempat duduk bapak-bapak tadi. Aku terkejut. Astaga, aku mengabaikan bapak-bapak itu dan beliau membayar makananku. Aku merasa bersalah. Tapi, yasudah tak ada yang bisa kulakukan. Aku menarik tangan Zana pergi dari warung itu, menuju lapangan. Aku duduk ditepi lapangan yang teduh. Disini ada teman-temanku yang lain. Sekarang aku baru merasa kalau tadi aku ditinggal sendiri disana. Jahat mereka.

Setengah jam kemudian, drama kolosal dimulai. Ternyata cerita tentang pembacaan prokamasi yang ditampilkan. Bukan, maksudku bukan hanya sekedar membaca naskah proklamasi. Tapi di drama ini dikisahkan masa-masa sebelum pembacaan naskah proklamasi oleh Ir. Soekarno. Aku melihat dengan sangat para pemain. Aku menatap pemain yang berperan sebagai Ir. Soekarno. Aku seperti pernah melihat wajah itu. Bukan, bukan dia. Aku yakin itu. Mungkin mirip dengannya. Ku coba ingat-ingat lagi mirip siapa dia.

Nah kan, aku ingat. Dia mirip dengan bapak-bapak yang duduk disampingku tadi. Ya benar, dia adalah jiplakan dari bapak-bapak itu. Astaga, aku baru sadar jika dia adalah anak dari bapak-bapak tadi. Aku mengetahuinya ketika jeda, bapak-bapak tadi mendatangi laki-laki itu dan memberikan minuman padanya, juga menepuk bahu pemeran Soekarno itu. Bolehkah aku berteriak 'WOW' sekarang? Sungguh mereka terlihat sangat akrab. Aku melihat dari senyuman yang diberikan laki-laki itu pada bapak-bapak itu. Senyuman tulus layaknya seorang anak kepada orang tuanya. Aku terenyuh melihatnya. Sungguh!

"Yuk pulang. Udah selesai dramanya."

Aku kaget ketika mendengar suara itu. Yah drama telah selesai dan aku melewatkannya hanya karena laki-laki yang bahkan aku tidak tau siapa dia. Baiklah jika aku bertemu lagi dengannya aku akan memakinya, jika aku berani. Aku mengiyakan ajakan teman baikku itu. Menepuk belakang rok abu-abuku yang kotor karena duduk di sembarang tempat tadi. Aku tak peduli tapi, yang penting bisa melihat drama kolosal itu. Yah, meski aku hanya menatap Soekarno-nya saja.

Aku berjalan pulang dengan teman-temanku. Berjalan ringan sambil bercanda dan tertawa. Momen yang tak ingin aku akhiri. Mereka adalah teman yang baik. Teman sekelasku. Aku nyaman berada disekitar mereka. Aku berhenti diperempatan terakhir sebelum rumahku. Aku melihat banyak anak kecil yang pemuh dengan warna merah, ralat pink kemerahan. Aku tau pewarna itu. Pewarna yang biasa dipakai saat lomba-lomba tujuhbelasan. Dibelokan perempatan aku melihat banyak anak kecil, usia SD yang berjalan dengan sendok dan kelereng diatasnya. Aku tersenyum dan mendatangi tempat itu. Aku tertawa ketika melihat salah satu anak terjatuh lucu saat mengikuti lomba balap karung. Disana juga lomba-lomba yang lain. Seperti; pecah bola, memasukan paku dalam botol, mengambil koin dari semangka yang dipenuhi coklat dengan mulut, juga makan kerupuk. Aku suka mengikutinya saat kecil dulu. Sekarang sudah tidak. Biarlah anak-anak itu yang bersenang senang.

Akhir acara lomba ada acara lempar warna dengan balon. Aku mengambil banyak balon dan melemparnya tak tentu arah. Hingga aku melemparnya ke arah kanan, tepat pada wajah seseorang. Aku tidak tau siapa orang itu. Yang jelas laki-laki karena postur tubuhnya sudah menjawab. Aku berbalik, dan ada yang menepuk bahuku pelan. Aku berbalik dan melihat dia yang kulempar tadi. Astaga... dia adalah pemeran Soekarno tadi. Aku malu, sungguh.

"Aku suka gayamu melempar tepat pada wajahnya."

Bah, matikan aku sekarang!!

KUMPULAN ONESHOOT [EVENT II]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang