Bab 2 "Sebuah Pertemuan Pertama"

20 1 0
                                    

"Mungkin ini adalah awal bahagian bagi kita. Di mana rajutan kasih terbuai. Di mana luka hati sirna seketika."

Malam ini hujan turun sangat deras. Petir menyambar-nyambar mengiringi hujan yang lebat malam ini. Gemercik hujan menemaniku dalam dinginnya malam ini. Aku pulang larut karena ada les biola.
Aku mencoba mengambil payung dari dalam tasku. Saat aku sedang mencari, aku baru sadar kalau lupa membawa payung. Aku nekad untuk pulang.

Bus yang akan aku tumpangi belum datang.
Dengan baju yang basah kuyup, aku merasakan dingin yang merasuk dalam tubuhku.
Tak lama bus datang. Aku pun langsung menaiki bus itu.
Selang beberapa menit, aku pun sampai. Aku tidak langsung menuju ke rumah, tetapi aku berteduh di bawah pohon besar. Aku pucat dan beku. Tak dapatku menahan dinginnya malam ini.

Mataku tiba-tiba saja tertuju pada satu arah. Bayangan yang samar-samar menuju ke arahku. Berharap dia adalah seorang malaikat tak bersayap, yang dapat menghangatkanku pada dinginnya malam ini.
Dia telah tiba! Datang dengan membawa sebuah payung. Dia ternyata adalah seorang laki-laki. Dia bagaikan dewa yang seakan-akan melindungiku dalam malam yang dingin.

"Permisi, selamat malam. Kenapa malam-malam kau di sini? Hujan sangat deras!" Dia menyapaku dan bertanya  seolah peduli denganku.
"Aku di sini untuk berteduh dulu." Aku berbicara sedikit berteriak karena suara gemercik hujan yang sangat deras.
"Tapi ini pohon, tetap saja kau akan basah."
"Tidak kok, dari tadi aku di sini tidak basah. Aku hanya kedinginan saja."
Dia tersenyum padaku dan langsung memayungiku.
Aku terkejut saat dia memayungiku.
"Di mana rumahmu? Mari kuantar."
Aku hanya bisa diam...
Dan pada akhirnya, aku pun menjawab.
"Hmmm... tidak terlalu jauh, kok." Dia hanya tersenyum sambil mengajakku segera berjalan.

Kami berjalan dalam keheningan malam. Seolah hanya gemercik hujan yang berbicara.

Setelah kami berjalan cukup jauh, aku memberanikan diri untuk bicara.
"Hmmm... dari mana kau bisa tahu kalau aku sedang di bawah pohon tadi?" Aku bertanya dengan nada yang "sedikit" lugu.
"Aku tadi mengantar temanku ke depan jalan raya. Saat perjalanan pulang, aku melihatmu. Aku merasa kasihan padamu, makanya kau kuantar pulang."
"Oh... begitu rupanya."

Tak terasa, kami pun sampai di rumah.
"Ini rumahku. Aku tinggal di sini."
Dia hanya mengangguk mengerti dan tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu aku masuk dulu."
Tatapannya padaku sangat polos.
"Terima kasih sudah mengantarku pulang." Dia hanya tersenyum lebar. Aku masuk ke dalam rumah dan dia pergi.

~~~~~~~~~~~~~~~~~ || ~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pagi hari yang cerah mengawali aktivitasku hari ini.
Aku bersiap untuk pergi ke sekolah.
Baru saja aku ingin sarapan, tiba-tiba bel rumahku berbunyi. Aku melihat jam yang menunjukkan pukul 07.30. Aku langsung berpamitan kepada keluargaku dan segera berangkat.
Di depan sudah ada sahabatku Patricia. Dia menatapku  dengan tatapan sinis. Dia marah-marah karena aku kesiangan dan takut kami terlambat.
Kami langsung bergegas menuju sekolah.

Di perjalanan menuju sekolah, aku sempat bercerita sedikit kepada Patricia tentang kejadian semalam.
"Pat, aku kemarin bertemu laki-laki. Lalu dia mengantarku pulang."
Dengan tatapan kaget Patricia mentapku.
"Demi apa?!"
"Iyaaa... gak boong deh aku."
"JODOH LAGI JANGAN-JANGAN! HAHAHAHA"
Dia menertawakan dan mengejekku. Aku hanya bisa menatapnya sinis dan tidak melanjutkan ceritaku. Karena takut Patricia tambah mengejekku.

Sampai di sekolah, aku menuju tempat parkir sepeda. Di sana aku melihat dia yang sedang memarkirkan sepeda motornya. Dia sepertinya anak baru. Tak sadar ternyata dia senyum dan menyapaku. Dengan wajah keningungan, aku kembalu menyapanya.
"Loh, kamu sekolah di sini juga?"
"Iya, aku baru pindah. Jadi, aku anak baru di sini."
Tak lama kami berbincang, Patricia mengeluarkan suara batuk, seakan meledekku.
"Ekhem!!!" Patricia melirikku dan tersenyum kecut.
"Oke..." jawabku seakan terpaksa.
"Oh ya, perkenalkan namaku Sebastian Putera. Senang bertemu denganmu." Dia memperkenalkan dirinya dan mengulurkan tangannnya.
Patricia dengan cepatnya langsung menjabat tangan Sebastian dan memperkenalkan dirinya.

Kami pun masuk ke dalam gedung sekolah. Kami berjalan sambil berbincang. "Aku mau ke ruang kepala sekolah. Mau ngurus surat pindah."
"Okay, nanti istirahat aku tunggu di luar kelas."
Aku memberanikan diri untuk mengajaknya bertemu.

Bel telah berbunyi. Aku tidak merasakan apapun yang membuatku gugup. Kali pertama kita berani berbicara dengan hati. Kini aku tak penasaran lagi dengan wajahmu yang samar-samar, kali pertama kita bertemu.

Tawa candamu membuatku menjadi seorang yang lugu. Tak tahu betapa nyamannya diriku di dekatmu sekarang. Tak kuasa ku menahan segala sukacitaku.
Aku tak menyangka bisa mengenal dan bertemu padamu hari itu. Takdir hidup ini sangat tidak bisa ditebak. Bahkan angin pun tak tahu jalan ke mana ia harus berhembus. Mungkin angin hanya menjadi saksi perjalanan ini.

"Ketika kita sudah melewati kebahagiaan bersama dengan satu orang, maka kita tidak akan bosan untuk mengulangi kebahagiaan tersebut, meskipun sudah ribuan kali."

"Bukan Angin Tapi Dia"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang