Bab 5 "Mengapa Kau Usik Hatiku?"

23 1 4
                                    

"Jangan kau usik hatiku dengan berbagai alasanmu yang klasik. Biarkan aku sendiri. Menatap langit yang gelap, pertanda bahwa kita telah usai."

Hari aku tak mau banyak berharap. Aku masuk sekolah dengan berat hati bertemu dengannya. Aku takut dia mengusik hatiku.
Beberapa hari ini Chatrine dan Sebastian sangat dekat. Aku hanya bisa melihat mereka dengan hati yang kecewa. Seakan dian hatiku ini telah padam. Mungkin Sebastian belum mengerti bahwa aku menyukainya. Seandainya dia tahu, mungkin dia tidak akan percaya. Tapi entah mengapa dia selalu mengusik hatiku. Dia masih dekat dan memberi perhatian padaku. Dia membuatku semakin menyukainya.

"Christina, apakah kau masih ingat pohon besar tempat kau berteduh waktu itu?"
"Ya. Tentu saja. Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa. Bagaimana kalau pulang sekolah kita ke sana?"
"Aku ingin bercerita padamu."
"Oh, tentu saja."
"Baiklah nanti ku tunggu di parkiran ya..."
Aku hanya membalasnya dengan senyum yang tidak ikhlas.
Selama pelajaran berlangsung Sebastian selalu menatap ke arahku.
Aku hanya bisa kembali menatapnya.

Bel istirahat berbunyi. Aku berdiri di balkon, di luar kelas. Aku hanya menatap langit yang mendung sambil menikmati teh hangat.
Aku berpikir bahwa cinta itu tak semudah yang aku bayangkan. Cinta itu butuh pengertian satu sama lain. Cinta itu butuh kepastian. Jika salah satu mereka sudah lelah, mereka akan berhenti untuk berharap.
Tapi dalam kisahku ini, mengapa terasa sangat berbeda? Dia selalu mengusik hatiku. Aku selalu memikirkan tentangnya.
Rasanya aku ingin berteriak "BERHENTI!" tapi sangat sulit bagiku. Aku tak tahu perasaanku akan terbalaskan suatu hari nanti atau tidak.
Mungkin aku dan dia butuh waktu.

"Langit yang mendung mengartikan bahwa semua kisah perjalanan cinta seseorang telah usai."
Aku menengok ke samping. Di sampingku sudah berdiri Sebastian.
"Aku tak tahu. Mungkin aku menatap langit mendung ini, mengartikan bahwa aku dan dia sudah berakhir. Padahal, kami baru saja bersama."
"Berarti kau sudah punya pacar? Atau kau sedang masa pendekatan?"
"Bisa dibilang masa pendekatan. Tapi... dia dekat dengan wanita lain. Dan anehnya... dia juga dekat dan memberi perhatian padaku. Itu sangat mengusik hatiku."
"Siapakah orangnya? Sepertinya perjalanan kisahmu cukup hebat!"
"Kau akan tahu sendiri siapa orangnya. Perjalanan kisahku ini mungkin akan sangat hebat!"
"Tapi kenapa kau tidak cari laki-laki yang lain saja?"
Aku terkejut saat Sebastian berkata seperti itu. Aku bertanya dalam hatiku. "Apakah dia tidak meraskannya?"
"Aku tidak bisa berpaling darinya. Padahal aku sudah coba mendekatkan diri pada laki-laki lain. Mungkin jodoh?" aku menambahinya dengan tersenyum kecewa.
Aku memberanikan diri berkata seperti itu padanya.
Dia hanya tertawa. Dan aku langsung masuk ke kelas.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~ || ~~~~~~~~~~~~~~~~
Sepulang sekolah, aku menyampaikan kepada Patricia bahwa aku akan pergi bersama Sebastian. Patricia hanya bisa meledek dan memberiku semangat.
Aku langsung menuju tempat parkir. Di sana sudah ada Bastian yang sedang menungguku sambil bersender di tembok.

"Ayo berangkat! Nanti keburu sore."
"Oh, Christina. Tentu saja."
Kami langsung pergi menuju pohon besar di mana kali pertama kami bertemu.

Saat sampai di sana, Sebastian langsung duduk di sepotong kayu besar.
"Christina, apakah kau pernah menyukai seseorang dan itu baru pertama kali bertemu?"
"Pernah. Sekarang."
Dia menatap ke arahku sambil tersenyum. Sepertinya aku tahu. Sontak aku kaget saat dia berkata seperti itu. Pasti Mile kan? Anak baru yang datangnya bersama denganku. Dia lumayan tampan sih..."
"TIDAK! AKU TIDAK SUKA PADANYA! Asalkan kau tahu, dia suka mengganggu dan usil padaku."
"Tapi dia pernah berkata padaku, bahwa dia kagum kepadamu."
"HAH?! Serius?! Tidak mungkin!"
"Terserah kalau kau tak percaya padaku."
Banyak cerita yang kami bagikan satu sama lain. Tawaku dan senyumku tak bisa berhenti. Tapi sebenarnya, di balik tawa dan senyumku, aku terluka.

Siang telah berganti sore. Langit sore yang indah bercampur langit mendung menambah suasana yang hangat dan sahdu. Warna jingga khas langit sore menambah kebahagiaan di antar kami.
Terlihat matahari yang bundar mulai terbenam.
"Langit sore yang indah tapi tak seindah perjalanan kisah ini."
"Aku ingin dia tahu bahwa dia seperti langit sore begitu indah. Dan dia juga bersinar bagaikan matahari petang."
Mungkin aku tahu yang dimaksudkan oleh Sebastian adalah Chatrine.
Aku hanya bisa menahan air mataku supaya tidak jatuh.
Aku memejamkan mataku dan menikmati angin sepoi-sepoi sambil menahan segala kesedihanku.

"Jangan kau berpikir aku tidak terluka. Aku di sini sedang tegar menghadapi segala hantaman gelombang, dan pasang surut  permasalahan hati."

"Bukan Angin Tapi Dia"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang