Catatan Pertama

16 2 0
                                        

Hari-hari ruwet seperti biasa, mentari yang kian naik tahta mengiringi terpaan udara yang menggiring kawanan mega dan orang-orang yang masih sibuk beraktivitas meski di akhir pekan sekalipun. Tak heran, bila pusat perdagangan seperti ini tetap ramai bahkan lebih ramai dari biasanya. Andai saja hari ini tidak ada diskon besar-besaran, pikirku yang masih asik mengamati beberapa pakaian dengan tatapan kosong.

"Oy, Bocah!" Seruan ganas seketika mengaburkan lamunan yang merajai pikiran. "Kau mau beli atau tidak?! Sudah lima menit kau hanya menatap daganganku. Jika kau tak berniat membeli, lebih baik kau pergi saja, Bocah!"

"Oh, maaf, Paman! Aku tak ber..."

"Axel!!" Nampak seorang gadis bersurai malam datang ke arahku seraya melambaikan tangan. "Kamu ke mana saja? Aku lelah mencarimu, tahu!"

"Seperti yang kau lihat, aku hanya diam mematung di sini. Jadi, untuk apa kau mencariku?" Datar. Ekspresi umum yang selalu terpancar kala sosok menyebalkannya selalu muncul di hadapanku. Meski bukan hanya dia saja yang menjadi santapan kedataran emosiku ini.

"Tak bisakah kamu menunjukkan ekspresimu padaku? Aku sudah sering bahkan terlalu sering melihatmu seperti ini. Ayolah, tersenyum sepertiku!" Seperti yang disampaikan, ia langsung tersenyum ria dengan netra laut berkilau yang seolah mengundang orang lain untuk tersenyum bersamanya. Ya Tuhan! Godaan apa lagi ini? gumamku.

"Itu salahmu! Berteman dengan seseorang yang membosankan sepertiku," balasku cepat, berharap kilauan netranya tidak lagi mengganggu penglihatanku.

"Wah, jadi aku sudah dianggap teman olehmu? Asyik!" Gadis itu sontak melompat kegirangan, membuat sepatu yang digunakannya bermelodi ria. 

"Woy, kalau ingin bertengkar, carilah toko lain!!" Kami sontak membatu, tak ada lagi kata yang dapat keluar selain mengiyakan teguran si pedagang dengan berlalu. Nampak gadis itu sesekali melirikku dengan pipi menggembung seolah berkata, 'Kamu, sih!' selama perjalanan.

"Sebenarnya, apa yang kau inginkan? Hari ini kau terlihat begitu menyebalkan dengan raut cemberutmu itu, kau tahu!" Ia tak menanggapi, hanya sibuk membuang tatapan dengan raut masam yang terlukis jelas di wajah. "Baiklah! Aku pulang saja, tidak ada faedahnya bila berlama-lama bersamamu."

"Tu-tunggu! Ayo, temani aku ke hutan di sana!" Netra lautnya mendadak berkaca-kaca dibantu bibir masam yang seketika terbentuk. Ini bukan pertama kali ia mengajakku ke hutan. Bagi kami, tempat itu sudah seperti taman bermain sejak kami kecil. Tak heran bila ia selalu ingin kembali ke sana setiap akhir pekan, mengingat jaraknya yang tak terlalu jauh dari rumah kami. Namun, untuk kali ini, tubuhku terlalu malas untuk bergerak ke sana. Apalagi diriku ini sudah remaja. Masa di mana aku harus menghabiskan waktu untuk melakukan hal yang positif dan bukan untuk berkelana di hutan tanpa tujuan yang pasti seperti ini.

"Aku tak mau tahu! Pokoknya, kamu harus menemaniku, ya?" Tiba-tiba ia langsung menarik jaket hitam kesayanganku dengan sedikit kasar. "Hey, tunggu! Jangan asal narik gini, dong!! Nanti jaketku robek!"

***

Mentari kian menjulang tinggi, menyinari setiap pelosok dunia ini. Tak terkecuali, bayang-bayang pepohonan di sekitar sini meski tak semua cahaya dapat menembus rindangnya pepohonan. Nampak refleksi mentari di permukaan sungai sedikit memberikan warna pada setiap bayangan pohon yang mereka lalui. Entah mengapa, hasil refleksi riak sungai di samping kami membuat kroma gelap sang gadis berkilauan layaknya malam berbintang.

"Itu mereka!" Dengan senyum merekah, ia melambai kepada tiga orang gadis yang turut melambai ke arah kami. "Khanza! Rhaina! Queen!"

"Tunggu sebentar!" Mendadak, tatapan seorang di antara mereka menjadi begitu tajam. "Mengapa kau membawa pria mesum ini, Diana?!" Tatapan yang sangat tajam hingga dapat mengubah atmosfer di sekitar.

"Hey, itu salahmu! Lagipula siapa yang tahu akan ada seorang wanita ganas sedang bermandi ria di sana?!" Tanpa sadar, netra kami saling beradu mempertahankan argumen yang kami yakini.

"Permisi! Lebih baik kita semua segera masuk saja, ya?" Seorang gadis bersurai hitam sebahu lantas menyela dengan senyum tersirat seakan penuh harap. Entah mengapa, hanya dengan bermodalkan senyum, pertikaian kami seketika menemui titik terang. Lagipula, tidak ada alasan untuk menolaknya, gumam kami.

***

Sudah hampir 15 menit kami menelusuri labirin pohon tak berujung ini. Meskipun suasana tidaklah panas, namun cepatnya tempo respirasiku sudah cukup menjadi bukti betapa menyesalnya aku mengikuti gadis gelap itu. Tak heran, bila ia hanya memiliki tiga pengikut setia yang nampak mulai bernasib sama denganku, terutama gadis bersurai hitam sebahu dengan kemeja biru tuanya. Apa kita tidak bisa istirahat sebentar, hah?! Gerutuku dalam hati.

"Wah, ada kupu-kupu!" Dengan refleks, gadis berambut panjang dengan pita biru langsung mengubah tujuan. "Ayo, kita tangkap mereka!"

"Tu-tunggu, Diana!" Dengan cepat, gadis berambut senada namun berkuncir dua langsung mengejarnya diikuti seorang gadis bersurai lurus. Aku paham niat baik mereka untuk mengejar gadis hiperaktif itu, tapi bisakah kalian tidak meninggalkan kami?! Aku khawatir ini akan menimbulkan kesalahpahaman yang lebih menyebalkan lagi.

"Baiklah! Berhubung menghilangnya mereka, lebih baik kita lanjut mengikuti jalan ini. Barangkali kita menemukan mere... ka." Entah mengapa, rasanya orang yang kuajak bicara justru bergerak menjauh, kurasa gosip tak benar dari gadis itu sudah tertanam dalam jiwa polos gadis ini. Di satu sisi, aku merasa sedikit senang karena tak perlu lagi repot menjaganya, namun di lain sisi aku merasa tak tega untuk meninggalkannya sendirian di tengah hutan seperti ini. Tapi, apa boleh buat... ia nampak takut kepadaku, gumamku seraya bergegas pergi.

"Tu-tunggu!" Kurasakan jaket di bagian lenganku tertarik. Kulihat, gadis berambut sebahu itu pelakunya dengan raut merona merah. "Ja-jangan... tinggalkan aku sendirian!"

Tak ada pilihan lagi, gumamku. Kamipun kembali menelusuri lebatnya labirin pohon dengan pedoman jalan ini. Tak lupa, nyanyian merdu burung-burung disertai hembusan angin sepoi turut menyertai perjalanan kami dengan mendatangkan hawa sejuk yang menipu. Tiba-tiba, muncul seberkas cahaya di hadapan yang membuat kami tak kuasa menahan rasa penasaran dalam benak.

"Tempat... apa ini?!" Rasa penasaranku kian menjadi kala sebuah pohon besar dengan daun berpigmentasi langit datang menyambut setelah kami mengikuti cahaya tadi.

"Tapi, tempat ini indah sekali! Aku suka tempat ini!" Akhirnya, jaketku terlepas dari cengkeramannya dan dengan riang ia menelaah tempat ini, terutama berbagai puspita mekar di sekitar sini. Aku hanya mengawasi seraya bersandar pada pohon unik ini, menikmati oksigen murni yang dihasilkan. Entah bagaimana, rasanya aku berhasil menemukan kedamaianku di sini. Perasaan yang kutunggu sejak la... deg-deg...

Tiba-tiba rasa sakit yang begitu hebat menjalar ke seluruh tubuhku. Rasa sakit yang teramat dahsyat layaknya terhunus oleh sebilah pedang. Tak ada yang bisa kulakukan, selain merubuhkan tubuh, menyaksikan larutan merah yang mendadak muncul membanjiri keindahan puspita ini. Sempat kulihat bayangan gadis datang kepadaku, nampak ia begitu panik. Ingin sekali aku melihat sosoknya sedikit lagi, namun aku sudah tak mampu lagi menahan rasa lemas yang menjalar dengan cepat ke seluruh tubuh. Apa aku... akan mati di sini?

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Interval WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang