Prologue

16 4 0
                                    

Purnama telah berkuasa ditemani hamparan kelabu yang lantas menitik. Semesta yang gelap, hanya ada kemerlap lentera taman yang mengiringi terpaan hawa dingin yang terus menusuk raga. Alunan rintik yang kian mengeras bersamaan kemerlap yang mulai meredup, membuat nuansa kian kelam ditambah jalur setapak yang mulai tergenang, membawa larutan merah menuju saluran pembuangan.

"Bertahanlah! Kumohon... bertahanlah..." Seruan seorang pemuda bersurai hitam sontak menggelora. Dengan tangan kasarnya, ia menggenggam erat seorang gadis yang mulai memucat.

"Tolong! Tolong kemari... cepat! Ada orang yang... ada orang yang..." Mulutnya mendadak tak dapat bersuara kala tangan gadis bersurai coklat memegang pipinya.

Dengan perlahan, gadis itu menggeleng seraya tersenyum hangat. "Su-sudah... aku... tidak apa-apa..., aku... aku hanya perlu istirahat sebentar..." Senyum gadis itu kembali merekah dengan netra apel yang menutup.

"Tuh, lihat! Kau jadi demam, kan? Cepat kau pulang! Kalau... demammu tambah parah..., aku... tak mau mengobatimu, loh!" Dengan kelembutan, tangannya menyentuh kening pemuda itu, membandingkan interval suhu yang tak lagi sama.

"Bodoh! Jangan... jangan bercanda di saat seperti ini! Kau... Kau seharusnya tidak meninggalkanku seperti ini..." Deraian sedu yang menitik bersamaan rintik yang kian mengeras seakan semesta mengerti, ruang kabung yang terbentuk di sini.

"Terima kasih! Kau sudah mengkhawatirkanku.... Baru kali ini, aku... melihatmu sekhawatir ini..." Ia menghela napas dalam. "Apa kau ingat... saat liburan musim panas? Saat kita di pantai bersama semua? Saat itu, aku merasa bodoh sekali... mengabaikan saranmu yang membuatmu... harus repot-repot menyelamatkanku yang hampir tenggelam. Aku... sangat ketakutan saat itu.... Dan saat hari valentine, apa kau memakan coklat yang kuberikan? Bagaimana rasanya? Manis... atau pahit? Maaf bila tidak enak sama sekali, ya! Maaf aku sudah... tidak bisa memarahimu lagi... tidak bisa mengambil paksa PFP-mu lagi... dan tidak bisa... mengikat janji denganmu... Maafkan aku, ya! Maafkan aku yang selalu cerewet dan sering memukulmu.... Maafkan aku yang keras kepala dan tidak bisa... menepati janjiku padamu.... Tapi, kumohon... Jangan lupakan diriku, ya... Axel!" Netra apelnya kian menutup dan tangannya turut melemas bersamaan dengan napas yang mulai tak terdengar.

"Oy, oy! Jangan bercanda di saat seperti ini! Kau, kau harus hidup! Katamu... kau akan terus bersamaku.... Tapi, kenapa?! Kenapa kau berbohong padaku?!" Pemuda itu lantas melakukan resusitasi, berharap nyawa gadis itu kembali meski hanya segenggam. "Hiduplah, hiduplah... kumohon... hiduplah!" Rintik yang kian mengeras ditambah larutan merah yang turut membanjiri sekitar kian menipiskan harapan, memadamkan semangat kehidupan. Pemuda itu hanya tertunduk, meratapi teman terdekatnya yang telah meninggalkan dunia fana ini.

Dalam iringan duka meratapi tubuh kaku di hadapan, mendadak langkah seringai terdengar bersama datangnya sosok ber-hoodie dengan kupluk menutup matanya.

"Emm... Sekarang aku penasaran..," Ia mengambil selembar kartu as. "hati mana... yang perlu kusobek lagi, ya?"

***

Interval WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang