"Selamatkan Putri Yae. Bawa dia kembali hidup-hidup!" raung gadis itu, nyaris tersedak karena darahnya sendiri.Sesuai janji yang telah di tentukan. Asahara menetapkan tempat ritual tepat di teras kuil Kasuga.
Musim semi. Heijou-Kyou.
Pohon sakura di sepanjang jalan dan teras kuil menebarkan ribuan kelopak yang indah berwarna merah muda. Hari dimana penghuni kerajaan dan rakyat seharusnya menikmati perayaan musim mekarnya bunga Sakura yae, bunga simbolis kota Heijou.
Kepedihan atas tumpahnya darah karena perang membuat suasana kerajaan di selimuti kesunyian meski kemenangan berada di pihak mereka.
Tak banyak suara-suara terdengar, kecuali embusan angin dan lantunan doa-doa para wanita yang berduka bersama para biksuni. Bahkan burung-burung seakan enggan untuk hinggap hanya untuk sekedar mencuitkan suaranya.
"Kau sudah siap?" Tanya Ate. Dia berlutut memberi aba-aba.
Asahara mengangguk lemah sembari melingkari leher Ate dengan kedua tangannya.
Bergegas Ate berdiri sambil mengangkat gadis cenayang itu kedalam gendongan dengan hati-hati. Sesekali Asahara mengeryit saat bergerak karena rasa sakit luka di perutnya.
"Bertahanlah...," bisik Ate pada Asahara.
Ate berjalan melintasi serambi puri. Beberapa pelayan wanita berpakaian serba putih melewatinya. Melihat sekilas seorang Kotaishi sedang menggendong seseorang yang sebenarnya tak pantas lagi berdampingan dengan anggota kerajaan seperti Ate. Ate tak peduli pandangan orang atas kedudukkannya sebagai seorang putra mahkota dan siapa Asahara sekarang. Dia hanya ingin menjaga Asahara hidup maupun mati.
"Maaf." Asahara berucap lemah sembari terpejam letih.
Ate merunduk, melirik Asahara sepintas. Gadis itu kesakitan sambil meremas lipatan kain hitam di pelukannya. Kain yang sebenarnya di persiapkan Asahara untuk di berikan pada Bara.
Wajah Asahara semakin pucat dan membiru. Suhu tubuhnya juga sudah mendingin bagai mayat. Seperti yang di katakan sejak awal. Bahwa kutukan Kitsune membuat Asahara sulit mati, seperti kucing yang memiliki sembilan nyawa.
Ini akan menjadi pengalaman kematian yang menyakitkan bagi Asahara, bahkan lebih sakit dari kematian orang normal pada umumnya.
Hari semakin siang. Bara sudah berdiri menunggu di teras kuil besama Kennyo. Dia memakai setelan jubah perang lengkap dengan kabuto yang di apitnya antara lengan dan pinggul.
Tak lama kemudian Ate dan Asahara sampai di tempat yang di janjikan.
"Kau ingat janjiku padamu?" Asahara berujar setengah merintih. Dia pelan-pelan melepaskan diri dari gendongan Ate dan mendekati Bara untuk memberikan lipatan kain hitam yang peganginya sejak tadi. "Simbol baru untuk seorang Seii Taishogun."
Di lebarkannya kain itu oleh Bara. Jubah hitam tanpa lengan dengan tenunan kelopak mawar mekar di kerah, dan lukisan awan putih di bagian dasar jubah serta simbol matahari merah di punggung. "Matahari?" Bara menatap Asahara penuh tanya.
"Simbol matahari merah adalah simbol masa depan dari negeri Wa," terang Asahara.
"Apa kau yakin, kau melihat ini di masa depan?" tanya Bara lagi.
Asahara mengangguk dengan senyum piasnya. "Kau akan melihatnya saat kau sampai."
Bara terdiam tak puas dengan jawaban itu sebenarnya .Terdengar tidak masuk akal. Namun Bara percaya. Selama ini Asahara tak pernah berniat menipunya. Apa yang di katakannya selalu benar, tak hanya sebagai firasat. Kekuatan cenayang gadis itu memang tak bisa di remehkan. Lagipula semua yang ada disini dan bahkan keberadaan dirinya juga tak masuk akal bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Swirl of Destiny By: ReinerRubin33
FantasyStart 16 Oktober 2017 (Perubahan konsep mulai 17 Februari 2019) Original karya Rubin sendiri. "Kau adalah permaisuriku. Milikku. Sudah waktunya kau kembali." -Ninigi no Mikoto. April Yoshioka, hidup damai bersama kedua orangtua dan sepasang adik ke...