Part 1

4 0 0
                                    

.
.
.

Sheira POV


Berapa lama lagikah ku akan meninggalkan dunia ini.. berapa banyak lagi goresan yang harus kubuat agar diri ini terpisahkan dengan jiwaku..

Jika kematian itu menyenagkan, dengan suka relawan aku akan terus berusaha agar jiwa ini terpisah dari tubuhku. Dan jika menyakitkanpun, akan terus kucoba.. karena rasa sakit itu hanya datang saat jiwa dan diri terpisahkan.. benar begitu? Dan selepas itu, takkan ada rasa sakit yang terus menghujamiku. Ku harap begitu..

Pandanganku mulai pudar... kurasakan rasa perih dan mengalir dari tanganku.

Kegelapan menyelimutiku bersamaan dengan suara teriakan memanggil namaku yang bahkan tak ingin ku dengar..


Perlahan.. kesadaranku mulai pudar.. hanya kegelapan yang kurasakan dan rasa nyeri di tangan kiriku.

Normal POV.


Penuh dengan ketergesaan, terlihat seorang lelaki berparuh baya sedang menggendong direngkuhannya terdapat gadis bertubuh mungil tak sadarkan diri dengan luka ditangannya dan berhiaskan cairan kental berwarna merah mengalir tiada henti.


"Lagi main-main ceritanya hei bocah kecil~" ucapnya dengan nada jahil dan seringai disudut bibirnya.


Kemudian ia menaruh sang gadis itu diranjang dengan keras tak peduli akan rasa sakit yang dirasakan oleh gadis berparas cantik nan manis itu.


"Kau ingin mati semudah itu, ha?! Sayangnya aku takkan membiarkannya," ucap lelaki itu dingin sambil membelai rambut gadis mungil itu. "Karena aku ingin kau merasa tersakiti, dengan begitu.. aku akan merasa senang~ kau harus tau itu, hei bocah kecil~" sambungnya dengan nada berbisik tepat berada pada depan telinga sang gadis.


Seperti yang diduga, ia adalah Ayah dari sang gadis mungil itu, Brayn. Nama yang unik memang, sama halnya dengan kelakuan yang ia lakukan terhadap putri manisnya, Sheira.


Yap! Gadis yang sedari tadi digendong direngkuhannya adalah putrinya sendiri, entahlah apa yang dipikirnya.. ia selalu menyakiti putrinya sendiri. (Psycho kali ya_-).


Dengan santainya lelaki itu berjalan keluar dan meraih sesuatu di saku celananya.


"Cepat kemari!" Ucapnya singkat mengarah ke ponsel yang sedang dibawanya tepat di telinga kananya, kemudian kembali menaruh benda persegi panjang dan tipis ke saku celanyanya.


Selang beberapa waktu.


"Tuan... saya sudah memeriksa keadaanya, dan seperti biasa obatnya berada diatas meja." Kata seorang perempuan yang mengenakkan snelli khas dokter kebanyakan.

Lelaki yang sedang duduk santai disofa membaca koran, sambil sesekali menyesap kopi itu, hanya mengibas-kibaskan tangannya, seolah memberi tanda agar ia cepat pergi dari hadapannya.

"Permisi tuan." Dengan cepat lalu perempuan itu pergi dari tempat kediaman lelaki yang tak tau aturan itu.

"......''

"Hmm.. menarik!" Cerca sang lelaki paruh baya tersebut, kemudian meletakkan korannya doatas meja. "Heh, sejauh mana kau bisa mengawasiku pangeran Crysthof~~" lanjutnya dengan meletakkan tangan kanannya tepat didagu belahnya.

Sedang ditempat yang sedari tadi dimasuki dokter mengenakkan snelli, tampak seorang gadis sedang berbaring lemah dengan mata yang terpejam dan tangan kiri yang diperban.

Perlahan mata yang terpejam kini mulai membuka dan menerawang dimana dan apa yang terjadi dengan dirinya, karena yang dirasakannya sekarang hanya rasa pening yang terus mencenat-cenut dibagian kepalanya.

Seketika ia bangun dari tempat tidurnya, ia mengernyir merasa ada sesuatu ditangan kirinya, dengan refleks ia segera menengok kearah yang terasa sakit nan perih.

"Akh.." pekiknya ketika melihat tangan kirinya yang kini sudah terbungkus oleh perban putih, dan dirasakannya rasa sakit, perih, pegal tercampur aduk menjadi satu ditangannya.

"Orang yang kau sayangi itu sudah pergi entah kemana.. kau lihat sendiri bukan, dia tak peduli denganmu dan tak lagi memikirkanmu! Sayang sekali, padahal setiap hari kau terus memikirkannya.. dan bahkan kau selau menunggunya tuk menjemputmu berada dipelukannya.. konyol sekali!! Nah, sekarang.. apa yang akan kau lakukan gadis kecil?!!"

Tiba-tiba ia teringat oleh perkataan ayahnya, dan tanpa sengaja ia menjatuhkan cairan bening dari pelupuk mata merah terangnya. Tidak, bukan, bukan karena perkataan dan bentakan yang terlontar dari mulut lelaki busuk itu, yang sialnya ia adalah Ayahnya sendiri.. bukan! Melainkan pernyataan bahwa ibunya yang setahunya selalu peduli dan menyayanginya, kini tak lagi peduli dengannya sudah teramat jelas sekarang semanjak ia ditinggalkan oleh ibunya saat menginjak umur 7 tahun, dan sekarang sudah 10 tahun sejak insiden kepergian ibunda tersayangnya mungkin ibunya sudah melupakannya.

Pupus harapan Sheira tuk menanti kedatangan sang pahlawan yang selalu dibanggakannya tuk membawanya pergi dari tempat terkutuk ini.

"Hei, nona manis. Maukah kau ikut denganku ?!"

.
.
.

Next part ==>

My Live Is Perfect MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang