Awal (2)

30 7 3
                                    

"Bukanlah hal yang mutlak jika pelangi harus terbit kala hujan reda."
.
.
.
.
.
.

Lelaki berumur di akhir dua puluhan berlari menyusuri koridor berdinding putih, rumah sakit. Keringat yang membanjiri seluruh wajah membuktikan bahwa ia telah jauh berlari sampai ke tempat ini. Napasnya pendek-pendek. Ia bahkan lupa cara bernapas, jika tubuhnya tidak menuntut diberikan pasokan oksigen. Lelaki itu terus berlari hingga keluar rumah sakit dan menghilang dibalik pintu kaca.

****

Sedangkan di tempat berbeda, tempat yang dipenuhi peralatan medis paling mutakhir masa kini. Seorang wanita terbaring lemas di atas matras putih dan dikelilingi beberapa orang dengan berpakaian serba putih.

Lampu besar di atas seolah menghipnotis wanita itu untuk terus menatapnya. Mukanya pias. Sama seperti lelaki yang berlari di koridor, keringat membasahi seluruh wajah wanita itu, juga orang-orang di sekitarnya. Ia tengah menahan sakit yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Sungguh ironi memang, ketika ia hendak menjadi seorang ibu setelah menunggu selama tujuh tahun lamanya. Menunggu dalam ketidakpastian yang membuatnya berulang kali meminta suaminya mencari wanita lain, karena ketidaksanggupannya memberikan seorang anak.

Rahimnya yang lemah yang katanya tak bisa dibuahi atau mandul. Namun penantiannya berbuah manis kala dokter mengatakan bahwa di dalam rahimnya terdapat segumpal daging yang berdetak.

Namun kebahagiaan seolah tak ingin berlama-lama singgah di antara keduanya dengan membuat proses kelahirannya tak berjalan lancar. Bahkan selama sembilan bulan mengandung ia berulang kali hampir mengalami keguguran, rahimnya terlalu lemah.

Detik berlalu bagaikan ribuan tahun cahaya bagi orang-orang yang berada di tempat itu, menunggu orang yang tak kunjung datang. Sedangkan darah segar terus mengalir dari organ kewanitaan wanita itu, tak peduli sepucat apa pun wajahnya.

"Ah ..." Lolongan lemah terdengar dari mulut wanita itu, ia berusaha akan tetap terjaga sesuai arahan dokter agar bayi dalam kandungannya selamat. Tangan besar berselimut sarung putih menggenggam erat lengannya, menggantikan lengan hangat sang suami yang tengah berjuang mencarikannya darah yang cocok.

"Mohon agar nyonya tetap sadarkan diri," pinta dokter yang sedari tadi terus berada di sampingnya.

Sangat disayangkan di waktu yang segenting ini, persediaan darah AB -golongan darah wanita itu habis. Sehingga dokter tak bisa melakukan tindakan apa pun sebelum persediaan darah AB tersedia, jika tidak atau ia gegabah maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan kepada ibu dan calon bayi dalam kandungannya tersebut.

Tak tahan dengan sakit yang mendera, akhirnya wanita itu kehilangan kesadaran. Seketika Dokter dan suster panik.

Bertepatan dengan itu, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul jua. Lelaki di akhir dua puluhan datang dengan membawa sekantong darah yang cocok dengan darah istrinya.

Tanpa membuat waktu Dokter segera melakukan tindakan sesuai prosedur medis demi menyelamatkan wanita itu dan bayi dalam kandungannya.

Namun sepertinya mereka terlambat, wanita itu telah pergi ke tempat yang jauh. Seberapa keras lelaki di akhir dua puluhan mencari darah yang sesuai dengan istrinya atau sang dokter yang telah melakukan usaha semaksimal mungkin.

Satu-satunya harapan bagi mereka, sang anak yang masih dalam kandungan wanita yang telah meninggal itu.

.
.
.
.
.
.
.
.
"Karena ada kalanya pelangi tak muncul sehabis hujan reda."

Tbc ...
.
.
.
Cuap-cuap athour, ini hanya rekayasa sangat-sangat rekayasa. Maafkan saya jika ada kesalahan (ige mwoya) kkk. Mianhae, readernim. Mohon dukungannya dengan menyempatkan diri untuk Like, Coment. Kamsahamnida.










After The Rain #ChanyeolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang