Aletha sedang berjalan dengan tergesa-gesa membuat orang-orang yang sedang berdiri di trotoar melihatnya heran.
Sesekali Aletha melirik jam yang melilit di pergelangan tanganya. "Shit. Lima menit lagi bel!"
Sekarang Aletha berdiri di halte. Menunggu angkot datang. Namun sudah hampir lima menit dia menunggu. angkot tidak ada yang lewat satu pun. "Astatank gue udah telat" ucapnya cemas.
Aletha bingung harus melakukan apa sekarang, jika dia menunggu angkot yang tidak pasti kedatanganya. Ia akan semakin telat. Akhirnya Aletha memutuskan untuk berjalan dengan sedikit berlari agar sampai tujuan dengan cepat.
Ada raut kecewa setelah Aletha sampai di depan gerbang SMA Bhakti. Gerbang putih yang menjulang tinggi sudah tertutup dengan rapat, menandakan bahwa dirinya sudah telat lebih dari lima menit.
Langkah Aletha maju perlahan menghampiri pos satpam yang berada di balik gerbang putih.
Aletha celingak-celinguk mencari keberadaan satpam yang bertugas menjaga gerbang.
Tapi nihil, ia tidak manemukan apapun. Sampai tiba-tiba seseorang datang dari arah belakang Aletha dan ia melakukan hal yang sama seperti yang Aletha lakukan tadi.
Mata Aletha membulat ketika mengetahui orang yang sekarang berada disampingnya. Jantungnya seakan-akan ingin lepas dari dalam tubuh Aletha.
Ia mengambil napas lalu membuangnya perlahan. Memberanikan diri untuk menegur orang itu.
"Masih aja sih telat" suara Aletha terdengar seperti orang yang sedang gugup.
Laki-laki itu hanya menjawab dengan gumaman saja.
Hati Aletha mencelos. Ia merasakan ada batu besar yang menghantam dirinya. Bibirnya ia rapatkan tanda ingin tidak mau biacara lagi.
Dalam hatinya tertawa miris. Mengapa laki-laki itu berbeda? Mengapa dia menjadi sedingin itu dengan Aletha?. Dan serentetan pertanyaan lain memenuhi otak Aletha.
"kamu Aletha? Siswa teladan kok bisa telat!" Aletha segera sadar dari lamunanya dan menghadap ke sumber suara.
"Maaf pak, tadi saya nunggu angkotnya lama" jawab Aletha dengan gugup.
Pak Budi adalah guru yang menjabat di bidang kesiswaan sekaligus merangkup guru bahasa Asing. Seluruh murid pun tidak ada yang tidak tau dirinya. Sosok guru yang sangat amat disiplin.
Pak Budi tidak merespon lagi pernyataan dari Aletha, dia mengalihkan pandanganya ke arah laki-laki berada di sebelah Aletha.
"Devon. Kenapa bisa telat lagi!" ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa kamu tidak malu hampir setiap hari tekat seperti ini?" Tanya pak Budi dengan sinis.
Devon hanya memandang pak Budi dengan wajah sedatar mungkin. "Maaf pak tadi ada urusan. Mangkanya saya telat" jawabnya dengan santai.
Pak Budi menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. "Kalian ikut ke ruangan bapak!"
Aletha memandang lurus. Dengan rasa gugup menyelimuti dirinya.
Bukan rasa gugup karena akan berhadapan dengan pak Budi. Melainkan karna seseorang yang sekarang berada di sampingnya.
"Kalian duduk disini. Bapak akan mengambil sesuatu." perintah pak Budi dan segera pergi meninggalkan Aletha dan Devon.
Aletha tidak berhenti menggigit bibir bagian bawahnya, rasa gugup itu semakin besar. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Sesekali dia melihat Devon yang sedang menopang kepalanya dengan tangan sebelah kiri.
Devon masih terlihat sama seperti dulu. Alisnya yang tebal. Idungnya yang mancung. Rambutnya yang berantakan. Menambah kesan badboy yang ia miliki.
Aletha menggelang-geleng kepalanya berusaha sadar dan kembali ke dunia nyata.
Tak lama kemudian pak Budi kembali membawa buku daftar nilai.
"Devon silahkan kamu lihat nilai kamu" perintah pak Budi setelah meletakan buku daftar nilai dimejanya.
Devon mengambil buku daftar nilai itu lalu membukanya dengan perlahan. Ada dua mata pelajaran yang ditulis dengan tinta merah. Menandakan bahwa nilai yang ia peroleh kurang dari rata-rata.
"Nilai Bahasa Asing dan Matematika kamu kurang. Bagai mana kalau kamu ujian nanti! Pelajaran matematika adalah pelajaran pokok. Kalau nilai kamu masih kaya gini. Bapak tidak yakin kalau kamu akan lulus ujian nanti!" Jelas pak Budi.
Devon menutup kembali buku tersebut. "Jadi maksud bapak gimana?"
Pak Budi tersenyum penuh arti. Lalu melirik ke arah Aletha yang sedang menatap lurus kedepan.
"Bapak akan menyuruh Aletha untuk mengajar kamu dalam pelajaran Bahasa Asing dan matematika. Kebetulan nilai Aletha mencukupi untuk dua mata pelajaran itu. Jadi bapak rasa aletha tidak keberatan."
Mendengar namanya disebut Aletha membulatkan matanya. "Hah? Saya pak?"
"Tidak ada bantahan, ini hukuman kalian karena telat. Untuk jadwal itu terserah kalian. Yang penting harus ada laporan seminggu dua kali."
Bagaimana bisa pak Budi memberi hukuman sesulit ini? Devon kira pak Budi akan menghukumnya dengan cara berjemur di tengah lapangan, tapi nyatanya tidak. Ini lebih kejam dari apa yang ia kira.
Devon mengusap wajahnya kasar.
"Saya permisi pak" pamit Devon dan keluar dari ruangan itu.
Berbeda dengan Aletha yang masih membeku di tempatnya. Dia bingung haruskah senang atau sedih menerima kenyataan ini.
"Aletha. Om mohon tolong buat anak om menjadi Devon yang dulu."
Pak Budi menghela napas. "Om tahu mungkin ini berat untuk kamu. Tapi om yakin hanya kamu yang bisa merubah sikap Devon."
Aletha memejamkan matanya lalu membukanya secara perlahan. "Ini semua salah saya om. Kalau saja waktu itu saya tidak meninggalkan Devon saat dia berada di titik rapuh. Devon tidak akan seperti ini."
Tanpa sadar buliran- buliran air bening terjun dari ujung mata bulat Aletha. "Saya akan bertanggung jawab dengan apa yang saya perbuat. Saya akan membuat Devon kembali seperti dulu"
"Kalau gitu om semakin percaya sama kamu."
Aletha tersenyum samar. "Kalau gitu saya pamit" setelah berpamitan Aletha berjalan menuju taman yang berada di belakang sekolah.
Selama perjalanan dia masih memikirkan. Apakah Devon masih mau menerimanya. Akan kah dia bisa membuat Devon kembali seperti dulu. Seperti sebelum Aletha mengambil keputusan yang sangat fatal baginya.
TBC👉👉👉👉