"Hidup itu dijalanin bukan dikeluhin. Emang dapet apa kalau ngeluh? Ilham? Gitu? Halu lo."
☆☆☆☆☆
"Gila. Beneran gila. Kalau gini caranya mending gue enggak usah sekolah deh," keluh seorang siswi pada teman-temannya yang memiliki raut serupa saat guru keluar dari kelasnya.
"Kenapa sih Matematika itu banyak macemnya. Pusing gue. Toh rumus-rumus yang dipelajarin enggak akan berguna buat beli bakso di Mang Pardi," timpal yang lain.
"Hahaha. Bisa aja lo. Tapi ia sih, beli skincare juga kayanya enggak akan berguna yak."
Tawa menggema saat 3 orang itu mengutarakan perasaannya. Tak hanya mereka, namun banyak di antara yang lain juga merasakan hal yang sama.
"Hidup itu bakal makin berat kalau cuma dikeluhin, mending dijalanin," balas seorang siswi sambil membolak-balikan soal Matematika yang tengah mereka keluhkan.
"Emang tadi lo bisa ngerjain soalnya?"
"Enggak," jawabnya sambil tersenyum polos yang dibalas sorakkan oleh teman-temannya.
Mengabaikan sorakkan mereka, siswi bernama Alfania Putri itu memilih fokus pada soal ulangan harian yang tadi ia kerjakan. Mengembuskan napas dengan perlahan, ia mencermati soal nomor 8 yang menurutnya paling susah. Sambil menggigit bibir, ia menyemangati dan menahan dirinya sendiri agar tidak mengeluh.
...
...
...
"Iya, ya. Soalnya susah banget," ujarnya akhirnya dengan pelan karena takut terdengar teman-temannya.
"Ngeluh juga kan lo akhirnya," bisik sahabatnya yang duduk di sampingnya sambil terkikik.
"Lo pasti tadi ngerjain semua ya?"
"Iya lah. Emang lo enggak?"
Bukannya menjawab pertanyaan sahabatnya, Lina Aliana, Alfa justru menelungkupkan kepalanya ke meja. "Gue benci Matematika," lirihnya dengan kesal.
Bukan hal yang tabu, jika Matematika adalah pelajaran yang paling tidak disukai oleh banyak orang. Antara dibenci dan dibutuhkan. Padahal pada kenyatannya Matematika adalah pelajaran yang kaitannya erat dalam kehidupan.
*****
"Lo mau pesen apa, Fa?"
"Samain aja kaya lo."
"Oke. Gue pesen dulu ya," balas Lina kemudian menghadap Mang Pardi, tukang bakso langganannya di kantin sekolah.
"Alfa, tadi lo nyimak apa yang di omongin wali kelas enggak?"
"Yang mana, Sih? Kan Bu Ratih ngomongnya banyak."
"Ya elah. Ternyata enggak selamanya seorang Alfania Putri bisa diharepin."
Alfa hanya mampu membalas pernyataan Asih dengan ekspresi kesal. Ia paling benci diberikan ekspektasi yang tinggi namun pada kenyataannya ia tak sehebat itu. Sambil mencondongkan tubuh ke arah temannya, dengan ragu Alfa bertanya, "Emang tadi Bu Ratih ngomong apa?"
"Lah bocah, ditanya malah nyanya balik," jawab Asih sambil tertawa.
"Tau nih, biasanya kan lo paling getol sama pelajaran Bu Ratih. Sampe hal-hal spele yang beliau omongin pun lo inget," timpal Dinda.
"Mbuh lah. Laper," tukasnya.
Tak lama Lina datang diikuti Maya, anak Mang Pardi yang tiap hari membantu bapaknya berjualan. Alfa yakin usianya tak berbeda jauh dengan mereka. Ada perasaan pilu kala melihat Maya yang ingin sekolah namun mengaku tak ingin bersekolah kepada bapaknya.
Saat mereka menanyainya pun Maya sering mengelak, dengan dalih bosan bersekolah. Padahal Alfa sering kali melihat Maya yang terlihat begitu merindukan masa sekolah. Pernah sesekali ia juga melihat Maya tengah mengerjakan soal yang entah dari mana. Namun saat terpergok, dengan segera ia menyembunyikannya.
Ia bahkan sering kali merenung. Apa sekolah hanya bagi orang yang mampu? Apa sekolah hanya bagi mereka yang menginginkannya? Apakah sebenarnya sekolah itu ... penting?
...
...
...
"Ini baksonya, Ka Alfa," ujar Maya membuyarkan lamunan Alfa.
"Makasih, May," balasnya sambil tersenyum yang dibalas senyum dan anggukan Maya.
"Lagi ngomongin apa sih tadi? Seru banget kayanya," tanya Lina sambil duduk di samping Alfa.
Mereka pun menceritakan apa yang tadi dibicarakannya pada Lina. "Ooooh, itu. Iya, gue denger kok. Kata Bu Ratih besok ada anak baru," tutur Lina sesaat setelah mendengar penjelasan teman-temannya.
Sambil memakan pesanannya, pembahasan mengenai anak baru pun kian diperdebatkan. Apakah ia tampan? Cantik? Pintar? Pendiam? Kutu buku? Anak emas? Dan sederet bayangan sosok-sosok yang mereka khayalkan dari dunia Wattpad. Semua itu adalah hal spele yang entah mengapa jadi bahan gibahan paling menarik bagi mereka.
"Sumpah deh. Gue pengen kalau anak barunya kaya di novel-novel gitu. Cool, ganteng, tajir, pinter. Enggak kaya di dunia nyata. Item, buluk, bloon, jorok, iuh ... ogah banget dah," ujar Dinda.
"Songong lo. Lagian ya, jangan nilai seseorang dari fisiknya aja. Terlalu rendahan. Siapa lo? Berhak menjudge mereka? Orangnya aja belum ada, pernah ketemu aja belum, lo udah mikir yang enggak-enggak," balas Alfa pedas.
"Ya Allah, berasa dicekokin sambel level 1000," lirih Dinda tanpa merasa tersinggung, membuat yang lain tertawa. Pasalnya bukan sekali dua kali Alfa berkata pedas, justru hal itu sudah mendarah daging dalam dirinya. Mereka pun sering memaklumi perkataan Alfa, karena apa yang dia katakan adalah kebenaran, walaupun itu menyakitkan.
"Tapi menurut lo anak barunya cewek atau cowok, Lin?" tanya Asih pada Lina yang memang bagai memiliki indra keenam. Karena apa yang menjadi dugaannya sering kali menjadi kenyataan.
"Hmmm ...-"
...
...
...
"rahasia," bisiknya, membuat teman-temannya mendecak dengan kesal.
☆☆☆☆☆
Aku pengen bikin cerita yang ringan, tapi banyak hal yang bisa didapet. Apa kalian dapet sesuatu dari part 1 ini? 😥
Ya minimal ketawanya. :v
Semoga kalian menikmatinya. 🤗Oya mau dapet pahala bahagiain orang gk? 😂
Bagi vote dan komentarnya dong. 😅
Kritik ataupun saran amat sangat dibutuhkan. 😁
Sebutuh kamu akan kehadiran dia. :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Silly
Teen FictionFatah : Aku sedih kalau kamu gk suka aku. Alfania : Aku justru heran, kalau aku sampai suka sama kamu. Start 20 Januari 2020 End - (tbc)