Gua tahu nggak enaknya nggak diacuhkan, nggak enaknya nggak punya temen, nggak enaknya nggak punya kawan buat cerita. Gue mungkin salah satu dari orang yang dulunya menjadikan sosial media sebagai ajang curhat, entah masalah sekolah gue, masalah keluarga gue atau gebetan gue. Tapi lama kelamaan anak sosmed nggak asik lagi, gue bikin status mulai dinyinyirin, bukan bikin masalah gue berkurang malah nambah beban.Dari hal itu, gue nyadar sebenernya manusia itu cuma pengin didengerin, apalagi cewek. Itu kenapa gue mutusin bikin forum bernama Randa Tapak ini. Bagi temen-temen yang mau curhat sama gue, silakan hubungi gue ya, via DM.
-Randa Tapak-
Itu tulisan yang terpampang di akun facebook yang selama setahun ini aku kelola. Berawal dari iseng, akhirnya malah banyak yang bergabung dan tertarik untuk curhat berbayar denganku.
Aku terispirasi dari SMS vulgar yang sering masuk ke ponselku.
"Mau ditemenin? Silakan hubungi aku ya... dijamin puas."
Hampir tiap minggu nomor ponselku mendapat pesan yang sama, pengin rasanya kirim balasan ke mereka tapi aku tahu itu cuma menghabiskan pulsa saja. Dari SMS laknat itulah aku akhirnya terinspirasi membuat sebuah akun Facebook yang aku beri nama Randa Tapak, tempat curhat berbayar. Kenapa berbayar? Karena tidak ada yang gratis di dunia ini kecuali buang angin dan buang upil.
Randa Tapak bukan nama asliku, nama asliku Brassavola Orchid Adinata. Keren memang, kata Eyang Putri, nyokap dulu senang banget menanam Anggrek, makanya namaku juga diambil dari nama Anggrek. Tapi menurut sahabatku, si Bocah, aku sama sekali tidak cocok disebut Anggrek, aku lebih cocok disamakan dengan Dandelion, yang hidup liar ditengah alang-alang dan rumput yang tinggi, yang benihnya bisa terbang kemana saja dibawa angin.
Aku juga tidak begitu mengerti ucapan si Bocah, tapi akhirnya aku memutuskan untuk memakai nama lain dari Dandelion untuk akun Facebook-ku. Randa Tapak... Unik menurutku dan orang-orang lebih mudah memanggilku ketimbang menggunakan nama Dandelion, tidak mungkinkan aku dipanggil Dande atau Lion?
Seperti itulah, cerita singkatnya. Aku memang merahasiakan identitasku, bahkan masalah pembayaranpun aku menggunakan rekening milik si Bocah.
Untungnya orang-orang yang curhat padaku bukan termasuk orang yang kepo, karena mereka memang hanya ingin curhat. Kadang lebih mudah bercerita dengan orang yang tidak kita kenal, daripada bercerita dengan orang yang mengenal. Ada perasaan nyaman, tidak takut dihujat dan dihakimi asal curhatnya dengan orang yang benar, seperti aku, karena pada dasarnya orang curhat itu sebenarnya hanya ingin didengarkan, ya diberikan sedikit saran tidak masalah, asal jangan menghakimi.
Aku memposting jadwal curhat di akun FB-ku. Satu hari aku melayani sekitar dua sampai tiga orang. Untuk bayaran tergantung berapa jam yang mereka habiskan untuk mencurhakan masalahnya padaku, tarifku per-jam dan dibayar di muka seperti online shop, setelah mereka transfer dan mengirimkan bukti transfer padaku, aku akan menuliskan nama mereka di list curhat Randa Tapak. Selain via transfer, pembayaranku bisa juga lewat pulsa khusus untuk anak-anak SMA yang tidak punya rekening.
Uang yang aku dapatkan lumayan untuk jajan di kampus dan membayar biaya fotokopi buku-buku kuliah. Maklum, uang bulananku terkadang habis bahkan sebelum akhir bulan, hidup di ibu kota lumayan mahal. Umurku itu sudah dua puluh empat tahun, tapi aku baru kuliah semester tiga, karena dulu sempat di DO dari kampus lama.
Ya, aku seliar itu dulu, dulu hobiku nongkrong di warnet dan main game. Setelah melihat teman-temanku yang lain lulus, baru ada rasa menyesal karena tidak pernah serius kuliah. Ya, penyesalan selalu datang di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran. Walau aku sih, tidak terlalu menyesal, hidup cuma sekali, pasti bosen banget kalau cuma dipakai untuk belajar.
Aku meletakkan headset di telingaku dan menyambungkannya ke ponsel flip-ku yang batrainya tahan lama, lalu menghubungi nomor klien-ku yang ada di DM Facebook.
"Halo," sapaku.
"Halo, ini Kak Randa?"
"Yups. Aku panggil kamu Mawar, Oke?"
Gadis diseberang sana tertawa, tapi mengiyakan ucapanku. Aku punya kelemahan mengingat nama orang dan lebih nyaman bercerita menggunakan nama samaran seperti ini.
"Gini Kak, aku lagi deket sama cowok tapi cowok itu udah punya pacar. Tapi dia kayaknya suka sama aku, karena dia suka ngelihatin aku."
Oke ini, anak SMA aku tahu dari gelagat dan suaranya, enak ya anak SMA yang dipikirkan hanya masalah gebetan bukan harga nasi bungkus yang naik di warung tegal.
"Terus?"
"Ya aku kan baper Kak, karena aku dilihatin terus. Lama-lama aku ngerasa deg-degan Kak, rasanya aku pengin ngelihat dia terus, kalau nggak lihat dia sehari aja rasanya ada yang kurang. Aku tuh, semangat ke sekolah ya karena dia. Tapi ya gitu Kak, aku tahu dia punya pacar dan aku nggak mau ngerusak hubungan dia sama pacarnya."
Sebagai pendengar yang baik, aku tidak boleh mendebat atau mengkritisi klienku. Mungkin kalau curhat di sosial media, si Mawar ini pasti akan langsung mendapat banyak cibiran. "Elah, lo masih anak sekolah juga. Belajar sana yang bener, kasihan orangtua lo udah bayarin sekolah lo sibuk galauin cowok, nanti hamil baru tau rasa lo." Netizen... Netizen...kayaknya mereka kena penyakit merasa paling benar sedunia.
"Menurut Kakak, aku harus gimana?" tanya Mawar setelah menceritakan semuanya.
"Menurut aku, kamu diemin aja dulu. Cuekin aja, pura-pura nggak tahu kalau dia lihat, kalau kamunya agresif dia nanti kegeeran. Lagian dia kan, udah punya pacar."
"Iya sih, Kak, aku juga nggak mau dikira pelakor."
"Makanya, cowok mah gitu Mawar, udah punya pacar aja masih suka jelalatan. Kalau dia beneran mau sama kamu, tunggu dianya putus sama pacarnya. Tapi kalau aku boleh saran sih, mending nanti dulu aja pacarannya, kamu kan, juga masih sekolah."
"Iya sih, Kak aku juga sebenernya nggak mau pacar-pacaran, mau fokus buat Ujian Nasional. Cuma karena dia suka ngelihatin, aku jadi baper, Kak."
"Muka kamu ada cemongnya kali, makanya dia ngelihatin," candaku.
Si Mawar ini tertawa. "Ihh, si Kakak bisa aja."
Selanjutnya dia mulai menceritakan tentang hal lain, tentang keluarganya dan juga teman-temannya. Sebenarnya orang-orang seperti ini itu hanya butuh tempat untuk berkeluh kesah, kadang apa yang aku sampaikan belum tentu diterapkannya di dunia nyata, hanya saja ada rasa lega saat ada seseorang yang mau mendengarkan dan menganggapi dengan bahasa yang baik, bukan terkesan memojokkan.
Melalui Randa Tapak, aku banyak melihat masalah dari sudut padang yang berbeda, sebagai Randa aku dituntut untuk menjadi orang yang objektif dalam menilai sesuatu. Randa adalah sisi lain dari seorang Brassavola.
*******
Bab satu meluncurrrr....
Apa tanggapannya teman-teman?
Hahaha udah dijawab ya masalah apa itu Randa Tapak.
Happy reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Randa Tapak
General FictionGue tahu nggak enaknya nggak diacuhkan, nggak enaknya nggak punya temen, nggak enaknya nggak punya kawan buat cerita. Gue mungkin salah satu dari orang yang dulunya menjadikan sosial media sebagai ajang curhat, entah masalah sekolah gue, masalah kel...