Perahu Pisang

74 5 2
                                    

(1)

Perempuan itu bernama Asanti, bukan orang Jepang, namun Melayu sepertiku.
Gigi yang kuning kehitaman, tak mungkin seorang pelakon drama televisi. Kami bertemu saat menaiki perahu pisang, tangannya menekan perutku. Aku tidak punya waktu untuk berpaling, meski mengenal gejolak hawa nafsu yang memanas naik terkulai di pundakku. Nafasnya yang hangat mencium tengkukku dari teluk hingga ke tengah laut sebelum kami ditumpahkan ke dalam air. Setelah merapat kami membasuh badan dari asin air laut dan aku membayangkan perahu pisang kuning itu hilang tenggelam, mengubur kenangan yang kuhadiri dalam sepi.

Aku tergelincir, membuatku tampak bodoh terduduk di pantatku sendiri. Pura-pura mabuk, berteriak yang aku lupa, hal-hal bodoh. Tiga tukang pukul masuk, menarikku dari ambang jendela. Aku tidak menyerang mereka, hanya melemparkan gelas dan botol. Aku menderita demam malaria, oke? Badan meriang panas dingin bagai cuaca berubah-ubah tiba-tiba, ditambah encokku kumat. Bukan dari tulang, hanya urat. Kau tahu siapa aku? Bocah berusia lima puluh tahun. Di dalam tubuh soak ini terdapat seorang anak-anak. Terima kasih untuk pengetahuan tentang kejiwaan anak. Terima kasih Tuhan untuk psikiater anak untuk bocah besar sepertiku.

(2)

Lelaki itu bernama Armand, yang mungkin Anda duga adalah berkebangsaan Prancis, tapi bukan. Melayu seperti diriku. Giginya tidak terlalu putih, tidak mirip aktor Korea. Kami bertemu di atas sebuah perahu pisang, setelah punggungnya menekan dadaku. Aku tidak punya waktu untuk berpaling, tapi aku akan mengenali hawa nafsu yang memanas terbengkalai di payudaraku. Aku merasakan ketegangan yang kaku di pundaknya, terguncang sepanjang teluk sampai tengah laut sebelum kami dicampakkan dengan keras ke atas air. Saat membasuh diri dengan pancuran aku membayang kan perahu pisang berlayar menuju matahari, membawa hadiah persembahan dua hati yang kesepian.

Ia membuat kamar tidur yang indah di dalam van, dengan kursi dan ranjang. Karpet terbuat dari handuk kasar. Ada kompor gas berkemah untuk membuat teh dan tirai belacu sebagai partisi ruang kemudi. Baunya seperti kayu basah, cuka apel, dan jamur merang saat aku merangkak mengejarnya. Dan kemudian kamar itu terbungkus selimut biru tipis dengan penutup dada kemerah-kemerahan yang menempel di tubuhku dan joran tersampir di langit-langit, bergetar, menawarkan petualangan yang menyenangkan, menyodok keluar dari tenggorokanku.


Bandung, 27 Mei 2017

Kafe Pojok & Barista tak Bernama (telah terbit)Where stories live. Discover now